Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BELANJA BARENG OM ATAU ABANG
"Marsha, Alan udah tunggu kamu setengah jam di ─ya ampun kamu ngapain sih?"
Nadia mendelik melihat Marsha yang belum juga siap. Hari ini Alan menjemput Marsha untuk membeli cincin pernikahan mereka dan beberapa seserahan yang memang harus sesuai dengan selera dan ukuran Marsha. Dari ujung kepala hingga kaki.
"Dandan." jawab Marsha berbohong, padahal setelah berganti pakaian dan berdandan tipis ia hanya berdiam diri saja didepan meja riasnya.
"Nggak ada yang berubah, kamu kayak nggak dandan."
"Masa?" Marsha pura-pura kaget. "Ya udah deh, dandan dulu lagi," Marsha membuka kotak blush on, bergaya seolah-olah ingin memoles wajahnya lagi.
"Nggak ada! Kebawah sekarang, Mama nggak enak sama Alan kelamaan tunggu kamu." Nadia mengambil kotak blush on ditangan Marsha dan setengah memaksa mendorong Marsha keluar kamar.
Marsha tertegun begitu melihat Alan dengan tampilan kasualnya namun tetap terlihat berkelas, dan tak dipungkiri wajahnya memang terlihat tampan dan lebih muda dari umurnya, tapi tetap terlihat lebih tua jika disandingkan dengan Marsha. Alan menatap datar pada Marsha, ia memakai kemeja flannel, celana jeans dengan sepatu kets. Rambutnya ia ikat tinggi bagai ekor kuda.
"Maaf ya Alan Marsha lama." Nadia bersuara.
Marsha hanya diam acuh tak acuh, Alan pun hanya diam dengan cueknya karena Nadia sudah beranjak dari sana sebelum ia menjawab. Tidak lama Nadia kembali, setelah berpamitan dengan Nadia, Alan berjalan membukakan pintu penumpang didepan untuk Marsha, Marsha cukup kaget dengan perlakuan manisnya.
"Pasang seat belt nya, saya nggak mau sampai kena tilang gara-gara kamu."
Marsha mengerucutkan mulutnya, matanya memicing sinis karena kesal mendengar ucapan Alan yang sama sekali tidak ada lemah lembutnya. Bersikap manis sesaat berubah menyebalkan seketika. Ia pun memasang seat belt nya dengan kesal. 'Lagian siapa yang butuh perlakuan manisnya.'
Sepanjang perjalan hanya hening, hening sunyi senyap. Tidak ada obrolan, tidak ada musik. Ketika sampai ditujuan dan Alan sudah memarkirkan mobilnya, Marsha langsung mengeluarkan topi dan maskernya membuat Alan melirik aneh padanya.
"Kenapa kamu pakai masker? Sakit?" tanya Alan heran,
"Enggak,"
"Kamu malu jalan sama saya?"
"Ya iyalah, siapa yang mau jalan sama Om-om. Saya ogah terlihat bagai sugar baby." Marsha menatap tajam Alan.
Alan mengernyit memandangi Marsha. Om? Anak ini serius memanggilnya dengan sebutan Om. Alan memijit pelipisnya, lalu turun dari mobil. Marsha yang menunggu pintunya dibukakan tersentak kaget mendengar ketukan kaca mobil, ia menoleh dan melihat Alan sudah berdiri disana dan memintanya untuk turun. Ia pun turun dengan wajah cemberut.
"Perasaan tadi pas berangkat dibukain pintu." sindirnya.
"Saya bukan supir kamu, punya tangan kan ya buka sendiri lah!" Alan menatap sinis Marsha. "Perlu kamu tahu, saya terpaksa menikah sama kamu. Perlakuan seperti tadi hanya akan ada didepan orang-orang tertentu, jadi jangan berharap lebih." Alan mengingatkan.
Marsha sakit hati mendengarnya, ia juga terpaksa tapi tidak sampai mengatakannya. Pernyataan Alan barusan menambah rasa tidak suka Marsha padanya. Kalau dia berani terbuka dengan keterpaksaannya Marsha hanya perlu membalasnya kan.
"Terus OM pikir saya mau menikah dengan suka rela? Dih, jelas saya sangat TER-PAK-SA!" Marsha melengos, ia sengaja menekan setiap kata yang harusnya membuat Alan juga sakit hati mendengarnya. Marsha pun berjalan meninggalkan Alan dibelakangnya.
Alan bergeming, ia sampai bingung ingin menjawab apa. Sakit hati? Tidak, ia justru kaget mendengar pernyataan Marsha.
Marsha membuka ponselnya kembali melihat catatan apa saja yang perlu dibelinya. Ia memulai dari bawah; sepatu dan sandal. Sepanjang Marsha memilih dan mencoba, Alan hanya diam menunggu tanpa ikut kesana kemari.
Terbersit untuk mengerjai Alan dengan membeli barang-barang branded yang super mahal, tapi memang dasarnya ia bukan pelaku kejahatan sampai dengan tahap itu─pemerasan terselubung, Marsha jadi takut sendiri melakukannya. Hanya berakhir dengan membeli yang memang menjadi seleranya saja.
Sesampainya di kasir, Marsha hanya berdiri menatap Alan yang sibuk dengan ponselnya. Ia enggan dan sangat malas berjalan menghampiri Alan, memanggil itu berarti Marsha harus menaikkan suaranya beberapa oktaf, itu juga bukan kebiasaannya. Jadinya Marsha hanya berdehem beberapa kali hingga akhirnya Alan menoleh kearahnya dengan bingung.
"Kenapa?" tanyanya cuek.
Marsha memberi kode dengan mata dan kepalanya untuk segera membayar, namun Alan semakin mengerutkan alisnya tidak mengerti. Marsha mendengkus yang akhirnya menurunkan maskernya dan komat-kamit alias menggerakkan mulutnya tanpa mengeluarkan suara dan mengatakan 'Bayar Om, BA-YAR!'
Alan yang sudah mengerti beranjak dari sofa tempat ia menunggu, tanpa bertanya lagi ia mengeluarkan sebuah kartu dalam dompetnya dan memberikannya pada Mbak kasir yang terdiam terpesona dengan ketampanan Alan.
Marsha memperhatikannya dengan seksama bagaimana Mbak kasir tersenyum menggoda pada Alan, bahkan tangannya dengan sengaja 'sok tidak sengaja' menyentuh tangan Alan.
"Maaf Pak, ini kartunya." Mbak kasir kembali melakukan 'sok tidak sengaja' tapi dengan gesit Alan mengambilnya dengan ujung jari jempol dan telunjuknya hingga si Mbak kasir tidak bisa menyentuh kulit tangannya lagi. Marsha hanya tersenyum smirk melihat kekecewaan si Mbak kasir. Dasar tante genit, batinnya.
Setelah selesai, Alan memberikan kartunya pada Marsha. Marsha yang kaget tidak mengambilnya hanya menatap heran pada kartu yang masih melayang ditangan Alan.
"Maksudnya apa?"
"Ambil dan pergi cari barang-barang kebutuhan seserahannya sendiri. Saya tunggu di restoran sana." Alan mengambil tangan Marsha dan meletakkan kartunya dalam genggaman Marsha. "Ingat, nggak pakai lama."
"Hah!?" Marsha masih bingung, "Emang ini nggak perlu pin?"
"Nggak." Alan pun pergi meninggalkan Marsha yang masih terdiam mencoba mencerna maksud dari Alan.
Marsha membolak-balik kartu ditangannya, ia tidak pernah punya kartu kredit atau sejenisnya yang seperti ia pegang sekarang, tanpa pin. Selama ini ia hanya difasilitasi kartu debit yang isinya pun dibatasi.
"Eh?" Marsha tersadar berarti ia disuruh melakukan semua sendiri? Sendiri katanya tadi!? Ingin menghujat tapi orang yang ingin ia hujat sudah jauh berjalan ke restoran yang di maksud. Marsha mendengkus kesal, ia pun pergi membeli semua di catatannya kecuali cincin pernikahannya. Begitu kembali dan sampai didepan Alan ia meletakkan semua bawaan belanjaannya dengan raut tidak senang.
"Tega! Sebanyak ini aku mana bisa bawa semua OM." keluh Marsha, ia berbisik ketika mengatakan 'Om' karena bagaimanapun ia akan tetap malu jika orang mendengarnya dan berpikir ia benar-benar sugar baby.
"Terus?"
"Dibantu lah, dibawain sebagian Om," Marsha mendelik kearah Alan yang masih terlihat acuh tak acuh.
"Kan barang-barang kamu, bisa cicil bawa ke mobil."
Dengan cepat Marsha memutar kepalanya menatap nanar pada Alan. "Om mau saya bolak-balik bawa barang-barang ini?" ia tidak habis pikir pria dihadapannya sekarang adalah calon suaminya, pria yang tidak bersimpati padanya sama sekali dengan melihat begitu banyaknya bawaannya.
"Memang kenapa?" Alan bertanya seolah-olah itu bukan suatu masalah.
Marsha menghentakkan kakinya pelan, kemudian menghela napas panjang, dengan berat hati ia berkata, "Please," ucapnya lirih kemudian.
Mendengarnya Alan mengangkat sudut bibirnya puas, tanpa bantahan lagi ia pun langsung bergerak membawa semua belanjaan Marsha. 'Dasar bocah harus di kerasin dulu baru ada ngerti etika.' batin Alan.
"Kita makan dulu, baru saya antar pulang." ucapan Alan lebih seperti informasi dibandingkan permintaan yang perlu persetujuan, karena ia ingin makan di restoran favoritnya yang sudah lama tidak ia datangi.
"Hmmm..." Marsha mengigit bibir bawahnya, dengan ragu menatap Alan.
"Kenapa lagi?" Alan menatapnya dingin, stres juga lama-lama ia menghadapi Marsha.
"Itu...hmm cincinnya belum dibeli." Marsha berkata lirih nyaris tidak terdengar. Tangan Alan yang sudah siap di stir untuk tancap gas melonggar, ia justru meremasnya menahan kesal. Yang menjadi tujuan utama yang malah tidak dibelinya.
"Tadi ada teman aku Om─"
"Stop panggil saya Om, saya bukan Om kamu!"
Marsha terdiam, 'Wajahnya memang nggak kaya Om-om banget sih, tapi umurnya kan emang udah Om-om.' batin Marsha. Ia melirik Alan ragu, lalu berkata "Oke lah Bang."
Alan mendengkus kesal, "Kamu ya," Alan menahan geram. "Balik aja deh! Tingkah kamu buat selera makan saya hilang."
Sepanjang jalan sampai rumah, mereka kembali hanya diam dan diam, bahkan suara keroncongan perut Marsha tidak dipedulikan oleh Alan. Marsha hanya bisa bersumpah serapah didalam hati menahan jengkel dan lapar.
"Saya nggak mampir, soal cincin biar jadi urusan saya, kamu tinggal kirimkan ukurannya."
Marsha langsung membuka ponselnya, mencari kontak bernama 'Gaje' beberapa saat kemudian ia sudah mengirimkan yang dipinta Alan, bukan hanya ukuran tapi juga model yang sempat ia ambil gambarnya tadi membuat Alan hanya menggeleng pelan melihatnya.
"Sudah ya," Marsha berdiri melihat semua belanjaannya sudah diturunkan dan diambil alih oleh ARTnya.
"Saya masuk dulu kalau gitu, terima kasih Om, eh Bang."
ucapan Marsha berhasil membuat mata Alan membulat menahan geram, napasnya seketika berat melihat Marsha sudah berjalan masuk meninggalkannya bersama ART yang sudah senyum-senyum melihat ulah anak majikannya yang usil pada Alan.
***