Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana
Di rumah keluarga Revan, suasana tegang terasa seperti kabut pekat yang menyelimuti. Ratna duduk di meja makan dengan wajah muram, tangan terlipat di dada, menunjukkan ketidaksabarannya.
Di seberangnya, Arjuna tampak sibuk membaca koran, meski jelas perhatiannya tersita oleh kegelisahan istrinya. Sesekali, ia melirik Ratna dengan pandangan prihatin, menyadari bahwa emosi istrinya sedang memuncak.
Ratna akhirnya memecah keheningan, suaranya tegas dan penuh kemarahan yang terpendam. "Bagaimana Revan bisa sekeras kepala itu? Apa dia benar-benar dibutakan oleh perempuan itu?" tanyanya, meski lebih seperti melampiaskan kekesalan daripada meminta jawaban.
Arjuna, yang sejak tadi hanya diam, perlahan menurunkan korannya. Ia menatap Ratna dengan sorot mata yang sama muramnya, menunjukkan bahwa kekesalannya terhadap situasi ini tidak kalah mendalam. Namun, seperti biasa, ia lebih memilih bersikap tenang.
"Kamu benar, Ratna," ucapnya akhirnya, nada suaranya pelan namun penuh tekanan. "Aku juga tidak habis pikir dengan Revan. Dia begitu keras kepala, dan seolah tidak lagi menghormati keluarganya. Kita sudah melakukan segalanya untuknya, memberikan yang terbaik, tapi apa balasannya? Dia malah memilih jalan yang jelas-jelas akan menghancurkan dirinya sendiri."
Ratna menatap suaminya tajam, tatapan yang menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan sekadar persetujuan. "Kamu lihat sendiri semalam, kan? Dia bahkan tidak peduli dengan pendapat kita. Dan perempuan itu..." Ratna menghentikan ucapannya, menghela napas panjang untuk menenangkan emosinya yang hampir meledak.
Arjuna meletakkan korannya di meja dengan perlahan, mengalihkan seluruh perhatiannya pada istrinya. "Aku sudah mencoba, Ratna," katanya, nada suaranya lelah. "Kalau dulu aku masih berharap Revan bisa sadar dan kembali pada kita, sekarang aku tidak yakin lagi. Dia terlalu jauh. Bahkan tanggung jawabnya di kantor, yang seharusnya menjadi prioritasnya, sudah dia abaikan begitu saja."
Ratna mendengus, ekspresinya penuh kekecewaan. "Kamu menyerah begitu saja, Arjuna? Apa kamu akan membiarkan anak kita menghancurkan hidupnya sendiri? Apa kamu tidak peduli dengan perusahaan yang kita bangun dengan kerja keras ini? Kita tidak bisa diam saja!"
Arjuna menggeleng perlahan. "Aku tidak bilang aku akan diam, Ratna. Tapi kita tidak bisa terus memaksanya. Revan sudah jelas menunjukkan bahwa dia tidak peduli lagi dengan apa yang kita inginkan. Kalau kita terus memaksanya, kita hanya akan semakin kehilangan dia."
"Dia tidak peduli karena dia sudah dibutakan oleh perempuan itu!" Ratna membalas dengan nada tinggi, matanya penuh dengan kemarahan.
"Sebelum dia bertemu dengan mereka, dia adalah anak yang bertanggung jawab, selalu mendengarkan kita. Perempuan itu yang membawa pengaruh buruk padanya, dan aku tidak akan tinggal diam!"
Arjuna menatap istrinya dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi.
"Ratna," katanya dengan suara lebih lembut, "aku mengerti kekhawatiranmu, tapi kita harus berhati-hati. Kalau kita terlalu keras, kita hanya akan semakin mendorongnya menjauh. Aku tidak ingin kehilangan anakku sepenuhnya."
Ratna memalingkan wajah, air matanya hampir jatuh, namun ia berusaha menahan diri.
"Kalau kamu menyerah, Arjuna, aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan duduk diam melihat Revan menghancurkan dirinya sendiri, dan keluarga kita."
Arjuna menghela napas panjang, berdiri dari kursinya, lalu merapikan jasnya.
"Aku harus ke kantor," katanya akhirnya.
"Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja, dan mungkin Revan akan datang ke sana. Kita akan lihat apa yang bisa dilakukan."
Ratna hanya memandang ke arah suaminya tanpa menjawab. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak akan membiarkan keadaan ini terus berlanjut. Setelah Arjuna pergi, ia kembali duduk di meja makan, pikirannya berputar mencari cara untuk membawa Revan kembali ke jalur yang ia anggap benar.
Setelah Arjuna meninggalkan rumah, Ratna duduk sendirian di meja makan, matanya menatap kosong ke arah piring yang tak tersentuh.
Ratna menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia menggulir daftar kontaknya dengan jari yang sedikit gemetar, berhenti pada nama yang sudah lama tidak ia hubungi. Dengan napas berat, ia menekan tombol panggil.
“Selamat pagi, Bu Ratna. Apa kabar?” suara pria paruh baya di ujung telepon terdengar sopan, namun ada nada formal yang dingin.
“Kabar saya baik, Pak Malik,” jawab Ratna dengan nada datar, meski emosinya tak terbendung. “Tapi saya butuh bantuan Anda untuk menyelesaikan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting.”
Pak Malik, seorang konsultan yang dulu pernah membantu keluarga Ratna dalam menyelesaikan berbagai urusan pribadi dengan cara-cara tak lazim, terdiam sejenak. Ia tahu jika Ratna menghubunginya, pasti ada sesuatu yang serius.
“Saya mendengarkan, Bu. Silakan,” ucap Malik dengan tenang.
Ratna menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Ada seorang wanita yang harus disingkirkan dari hidup anak saya. Namanya Mira. Saya tidak peduli bagaimana caranya, tetapi saya ingin dia pergi dari kehidupan Revan. Selamanya.”
Pak Malik terdiam sesaat, lalu berbicara hati-hati. “Bu Ratna, Anda tahu bahwa pekerjaan seperti ini membutuhkan perencanaan matang. Apa yang Anda inginkan? Tekanan sosial? Skandal? Atau... sesuatu yang lebih ekstrem?”
Ratna menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. “Saya tidak ingin melukai fisiknya, Malik. Itu terlalu berisiko. Saya hanya ingin menghancurkan reputasinya, membuatnya tidak punya pilihan selain meninggalkan Revan. Dia harus pergi, dengan cara apa pun, tanpa jejak.”
Pak Malik mengangguk pelan, meski Ratna tak bisa melihatnya. “Baik. Saya akan menyelidiki latar belakang wanita itu. Kalau ada celah, saya akan menggunakannya. Tapi ini butuh waktu, Bu. Dan biayanya tentu... tidak sedikit.”
“Berapa pun biayanya, saya akan membayar. Asal Mira keluar dari hidup Revan,” ujar Ratna tegas, suaranya dingin seperti baja.
“Baik, Bu Ratna. Saya akan segera memulai penyelidikan. Saya akan menghubungi Anda lagi dalam beberapa hari,” balas Malik.
Ratna mengakhiri panggilan, lalu meletakkan ponselnya di meja.
Ia duduk diam, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Meski hatinya sedikit lega karena merasa sudah mengambil langkah untuk menyelamatkan anaknya, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa bersalah. Namun, ia segera menepis perasaan itu.
“Ini semua demi Revan,” gumamnya pelan.
Namun, Ratna tidak tahu bahwa langkah yang diambilnya ini akan membuka pintu menuju konflik yang lebih besar, membawa konsekuensi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.