Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sandra menatapku dengan mata yang melebar, ketidakpercayaan terpancar jelas dari raut wajahnya saat kata-kataku mengejutkan telinganya.
"Asal kamu tau aku sangat mencintai Adnan," serunya lagi, suaranya meninggi penuh emosi.
"Terus?" tanyaku, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak.
"Iya kamu jujur saja Rania, sebenernya kamu siapa?" desaknya, mendekat dengan langkah yang terasa mengancam.
"Aku istri sah Adnan, kekasih kamu itu," jawabku sinis, menatap tajam ke arah matanya yang sekarang semakin menyala.
Sandra tersenyum sinis, bibirnya melengkung penuh arti. "Kalau kamu memang istrinya, kenapa mas Adnan masih berhubungan denganku?" tantangnya, suaranya penuh kepuasan seolah telah memenangkan pertarungan.
"Sejauh mana hubungan kalian?" tanyaku, suara bergetar menahan sakit yang mendalam.
"Layaknya suami istri," jawabnya tanpa ragu, seakan-akan itu adalah pukulan maut yang ditujukan langsung ke hatiku.
Sakit tak sanggup, perasaan ini benar-benar sangat menyakitkan. "Apa kalian sudah—?" kata-kataku terputus, tak sanggup melanjutkan, hatiku terasa hancur berkeping-keping mendengar pengakuan dari mulutnya langsung.
"Iya, kami sering melakukannya," ujar wanita itu. "Benarkah?" tanyaku tak percaya. "Iya, dan kamu sangat menikmatinya?" "Tentu, Rania. Adnan memberikan kebahagiaan lahir maupun batin," jawabnya bangga.
Nafasku naik turun, benar-benar tidak beraturan, mencoba untuk menahan air mataku. "Apa kamu belum percaya kalau aku istri Adnan?" tanyaku patah hati.
"Aku tidak peduli apakah Adnan sudah beristri atau belum. Yang terpenting, aku sangat mencintainya dan tidak mau kehilangan dia," seru Sandra berdiri dari duduknya, berlalu meninggalkanku.
Saat Sandra pergi, air mataku tak hentinya mengalir. Aku merasa tidak berguna di mata Adnan dan sangat bodoh dua tahun ini. "Apa yang sudah aku perbuat?" pikirku.
"Aku sungguh mencintai Adnan, tapi apakah dia layak menerima cintaku? Bagaimana mungkin dia berhubungan dengan perempuan lain dan masih bisa hidup normal bersamaku?"
Aku merasa jijik dengan diriku sendiri yang sudah menjalin hubungan suami istri dengan pria yang melakukan hal serupa dengan perempuan lain. Sungguh aku sangat sakit hati. Adnan benar-benar kurang ajar dia!
Senja menjadi saksi saat aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju mobil. Hatiku terasa berat, seiring langkahku yang semakin cepat mencapai mobil.
Aku segera melajukan mobilku, membelah jalanan ibu kota yang semakin gelap. Ponselku berbunyi; mas Adnan menelfonku, namun aku sama sekali tidak berniat untuk mengangkatnya.
"Tidak, aku tidak ingin menghadapi ini sekarang," gumamku kesal. Sakitnya perasaan ini membuatku tak sanggup menatap kenyataan.
Sesampainya di rumah, Naura dan Ibu menyambutku. Aku segera tersentak melihat Ibu menenteng tasnya, sementara Tyas tampak di balik pintu ruang tengah.
"Ibu mau kemana?" tanyaku heran, berusaha mengenyahkan kesedihan yang tak terucap.
"Mau pulang nak, kasihan Tyas jadi sendirian di rumah," seru Ibu.
"Yasudah Bu, gak papa," aku mengiyakan, berusaha menyembunyikan rasa hampa yang kembali membebani.
Wajah Naura terlihat sangat sedih. Aku tahu, di balik kesedihannya, ada rasa kesepian yang menghantuinya saat ditinggal Ibu.
"Jangan khawatir, Naura. Semuanya akan baik-baik saja," bisikku, mencoba menenangkannya.
Hatiku berkata lain; apakah aku juga bisa bertahan dan menenangkan diriku sendiri di tengah kepedihan ini?
"Tidak apa-apa, Nak, Nenek pulang dulu, besok pasti ke sini lagi," ujarku dengan penuh harap agar Naura tidak terlalu sedih.
"Tapi, Mah, Naura merasa kesepian," keluhnya dengan air mata yang menggantung di kelopak matanya.
Aku mencoba untuk menenangkannya, "Cucu Nenek sudah sembuh, jadi jangan sedih lagi ya. Nenek pasti akan datang ke sini lagi."
Mendengar penjelasanku, Naura berusaha untuk menerima keputusan tersebut dan memeluk tubuh Neneknya erat.
Ia menatap Aunt Tyas dan berkata, "Aunty tyas, sering-sering main ke sini ya?"
Tyas tersenyum hangat dan menjawab, "Tentu, Naura." Setelah mengucapkan salam perpisahan, Ibu dan Tyas keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil.
Aku dan Naura berdiri di depan pintu, melambaikan tangan kami sambil menahan rasa haru yang menghujam di dada. Saat mobil ibu sudah tidak terlihat lagi, aku dan Naura masuk ke dalam rumah, namun Naura masih tampak cemberut.
"Kenapa dia sedih ya? Apakah karena ibu pergi?" gumamku dalam hati.
"Bagaimana kalau nanti malam kita makan di luar?" ajakku, berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Malas, Mah," jawabnya singkat.
"Nak, jangan seperti itu dong. Kamu gak kasihan sama Mamah?" rayuku, berharap bisa menggugah empatinya.
Naura menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku. "Mamah..." seru Naura berlari, dan akhirnya memelukku erat. Air mata Naura berlinang, ia menangis sesenggukan. Melihatnya seperti itu, aku pun tidak bisa menahan air mataku lagi.
Kami berdua saling berpelukan, merasakan kehangatan dalam kesedihan yang kami alami. "Semoga nanti semuanya baik-baik saja, dan kita bisa tersenyum kembali," pikirku sambil memeluk Naura.
"Mah, Naura benar-benar membenci Papah!" ujar Naura dengan kesal.
"Loh, kenapa nak?" tanyaku, berusaha menenangkan hatinya.
"Papah sering jalan sama perempuan lain! Sungguh, Mah! Naura gak bohong, Papah selingkuh, kan, Mah? Teman-teman Naura juga bilang begitu," seru Naura, penuh emosi.
Hatiku tercekat saat itu juga. Rasa sakit yang lebih dalam dari yang pernah aku bayangkan mulai menjalar di dadaku, ketika sadar bahwa Naura sudah tahu semuanya.
"Naura, kamu..." aku tidak tahu harus berkata apa. "Mah, Naura benar-benar tidak bohong. Naura sangat benci Papah.
Demi perempuan itu, Papah jadi tidak sayang lagi sama Naura dan Mamah," ucap Naura dengan suara bergetar. Air mataku pun tak bisa dibendung lagi.
Tangisanku pecah, begitu juga dengan tangis Naura. Kami saling berpelukan dan menguatkan satu sama lain di tengah malam yang seharusnya damai ini.
Malam ini, hati kami berdua terluka, ditikam oleh pengkhianatan yang tak bisa diampuni. Namun, dalam kepedihan itu, ada semacam kekuatan bersama yang menyatukan kami, dan membuat kami saling melindungi dari luka yang belum juga berhenti menganga.
**
Pagi hari, aku terbangun dari tidurku dan segera memandang wajah cantik serta imut Naura yang terlelap di sampingku. Perasaanku terharu sekaligus merasa bersalah. Aku segera turun dari kasur, membuka pintu kamar, lalu pergi ke kamar Adnan.
Namun, setelah membuka pintu kamarnya, tidak ada tanda-tanda dia ada di sana. Aku lantas mengecek ponselku dan menemukan bahwa dia menelepon serta mengirim pesan bahwa dia tidak akan pulang malam ini.
Dalam hati, aku mulai merasa seperti tidak ada gunanya lagi dalam hidup Adnan. "Untuk apa aku bertahan?" pikirku, masih teringat akan kata-kata Sandra yang menggambarkan hubungan mereka layaknya suami istri. Semakin mengingat betapa jahatnya suamiku itu, air mataku pun mengalir lagi.
Rasa sakit ini begitu mendalam, hingga aku merasa nyaris tak mampu menahannya. "Apakah memang benar dia lebih memilih Sandra daripada aku?" pertanyaan tersebut muncul dalam pikiranku, seiring dengan kesedihan yang makin memilukan.
****