Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerbang kerajaan
Hiroshi dan penyihir itu melesat menuju gerobak, meninggalkan kegelapan malam dan kerumunan bandit yang masih berusaha mengumpulkan keberanian mereka.
Sementara langkah kaki mereka menapaki jalan berbatu, suara napas terengah-engah dan gemuruh jantung menambah ketegangan di udara.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya penyihir itu, menoleh ke Hiroshi dengan ekspresi khawatir.
Hiroshi mengangguk, meski hatinya bergetar. Dia menyesuaikan posisi kar98k-nya di punggung dan mengawasi sekeliling,
“Ya, aku baik. Hanya perlu memastikan kita tidak diikuti.” Dia mengamati gerakan bayangan di antara pepohonan. Sejak ledakan bom, ia tahu bandit mungkin tidak akan menyerah begitu saja.
Penyihir itu mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan tenaganya. “Aegis Veritas!” Ia mengucapkan mantra yang mengeluarkan cahaya lembut dari tongkatnya, menciptakan aura perlindungan di sekitar mereka.
Hiroshi melihat sekeliling, terpesona oleh kekuatan magis yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Sihir yang kuat,” gumamnya, meski dia tahu bahwa mereka masih terjebak dalam situasi berbahaya. “Tetapi kita harus lebih cepat. Jika mereka berhasil mengatur serangan lagi, kita tidak akan punya waktu untuk bersiap.”
“Hati-hati!” teriak penyihir itu, saat mereka hampir tiba di gerobak. Seketika, suara langkah berat terdengar mendekat dari belakang.
Hiroshi berbalik dengan cepat. “Kita tidak punya banyak waktu!”
Tiba-tiba, sekelompok bandit muncul dari balik semak-semak, pedang terangkat tinggi. “Kalian tidak akan pergi begitu saja!” teriak salah satu dari mereka dengan suara parau, matanya berkilat penuh amarah.
Dalam detik-detik berharga itu, Hiroshi tidak ragu. Dengan sigap, dia mengangkat senjata laras panjangnya, mengarahkan bidikan ke arah bandit yang paling mendekat. “Rasakan ini!” teriaknya, saat ia menekan pelatuk.
Suara ledakan dari laras senjata memecah keheningan malam. Peluru meluncur dengan cepat, menghantam bandit yang berani itu tepat di dada. Ia jatuh terjerembab, tergeletak di tanah tanpa gerakan.
Para bandit yang tersisa terkejut, ketakutan menyelimuti mereka. Penyihir itu mengambil kesempatan. “Fulgur Lucis!” Ia mengangkat tongkatnya, memanggil kilatan cahaya yang menyilaukan, menambah ketegangan di antara mereka.
“Siapa dia sebenarnya?” pikirnya sambil melihat Hiroshi. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan penumpang misterius ini, tetapi tidak ada waktu untuk bertanya lebih jauh.
Hiroshi tidak berhenti. “Ayo, masuk ke gerobak!” serunya, menyadari bahwa waktu mereka semakin sedikit. Dia sudah siap dengan senjatanya, memindai area sekitar.
Penyihir itu melangkah cepat, menolong penumpang yang tersisa untuk masuk ke dalam gerobak. “Ayo, kita bisa melakukannya!” serunya, merangkul keberanian yang tersisa dalam dirinya. “Kita harus keluar dari sini sebelum mereka berkumpul kembali!”
Dalam perjalanan menuju gerobak, beberapa bandit yang tersisa mengumpulkan keberanian mereka, mencoba menyerang dengan panah dan senjata. Namun, penyihir itu dengan sigap membalas serangan mereka.
“Aeris Fractum!” Dia memanggil angin kencang yang menghantam bandit, membuat mereka terjangan dan terjatuh.
Hiroshi melirik ke belakang, terkesima melihat kekuatan yang dimiliki penyihir itu. “Kau benar-benar hebat!” ujarnya walaupun bahasa nya tdk di mengerti, tanpa menyadari bahwa dia sudah terlibat dalam pertarungan ini..
Saat mereka akhirnya berhasil menaiki gerobak, Hiroshi menembakkan peluru terakhirnya, menargetkan bandit yang mencoba mendekat.
“Kita sudah hampir aman,” ucapnya, meski ia tahu bahaya masih mengintai.
Dengan satu dorongan, gerobak mulai melaju, membawa mereka menjauh dari kegelapan malam. Namun, dalam perjalanan menuju kerajaan tetangga, semua orang di dalamnya tahu bahwa petualangan ini baru saja dimulai.
Setelah melarikan diri dari bandit, gerobak itu melaju kencang melewati hutan yang gelap. Setiap getaran jalan berbatu membuat tubuh Hiroshi dan penyihir itu terasa lelah. Suasana tegang perlahan-lahan mereda, namun rasa lelah yang mendalam menggantikan kepanikan yang sebelumnya melanda.
Semua penumpang tampak kelelahan, wajah mereka menampakkan campuran ketakutan dan kelegaan. Di luar, cahaya bulan menerangi jalan, dan siluet gerbang besar kerajaan terlihat di kejauhan.
“Lihat!” seru salah satu penumpang, menunjuk ke arah cahaya yang bersinar di ujung jalan. “Gerbang kerajaan!”
Hiroshi merasakan sedikit harapan dalam hatinya. “Akhirnya kita sampai,” gumamnya, berusaha menenangkan diri meski suara letusan dan bentrokan masih terngiang di telinganya.
Begitu gerobak berhenti, para penumpang bergegas turun, tidak sabar untuk melangkah menuju keamanan gerbang. Penyihir itu, meski lelah, tetap menjaga kesan tenang. “Kita harus berhati-hati,” ucapnya, matanya meneliti sekeliling.
Hiroshi menatap ke arah gerbang yang megah, dikelilingi oleh menara tinggi dan dinding batu yang kokoh. “Jika kita bisa masuk, kita akan aman di dalam,” katanya, sambil bergerak perlahan menuju gerbang.
Namun, saat mereka semua turun, penyihir itu baru menyadari satu hal yang membuatnya bingung. Selama ini, dia hanya mendengar Hiroshi berbicara dalam bahasa yang sama sekali asing baginya. Suaranya tenang dan penuh keyakinan, tetapi kata-kata itu tidak pernah dia pahami.
“Eh?” Dia menoleh pada Hiroshi dengan ekspresi bingung. “Kau... berbicara dalam bahasa apa? Aku tidak mengerti!”
Hiroshi tertegun sejenak, merasa kebingungan yang sama. Dia mengangkat bahu, mencoba mengekspresikan perasaannya, meskipun mereka tidak saling memahami. “Hmph...,” gumamnya, menatap penyihir itu dengan tatapan penuh tanya.
Penyihir itu mengerutkan kening, menilai ekspresi Hiroshi, seolah ingin memahami apa yang ingin dia sampaikan. “Kau dari mana?” tanyanya, dengan nada bingung, mencoba menjalin percakapan meski bahasa mereka berbeda.
Hiroshi melirik gerbang di belakang mereka, kemudian menunjuk ke arah jalan dengan penuh semangat. “Ke sana!” serunya, walau dia tahu bahwa penyihir itu tidak mengerti. Dia berusaha menggambarkan maksudnya dengan gestur, menggerakkan tangan dan mengarahkan jari ke arah gerbang.
“Ah, gerbang!” jawab penyihir itu, mengangguk, meski masih tidak mengerti. “Kita harus... masuk?”
Hiroshi mengangguk cepat, merasakan sedikit kelegaan bahwa mereka setidaknya berada di halaman yang sama
. Meskipun kata-kata mereka tidak sejalan, intuisinya memberitahu bahwa mereka memiliki tujuan yang sama.
“Masuk! Masuk!” Hiroshi berusaha menyemangati semua orang dengan senyuman, meski masih merasa canggung dengan situasi tersebut. Dia melangkah maju, menyiapkan dirinya untuk menjelaskan, atau setidaknya berharap para penjaga di gerbang akan mengerti.
Di gerbang, penjaga-penjaga dengan armor berkilau memperhatikan kedatangan mereka. “Siapa kalian?” tanya salah satu penjaga dengan suara tegas, menempatkan pedangnya di depan tubuhnya.
“Kami... hanya orang-orang yang melarikan diri dari bahaya!” seru penyihir itu, berusaha meyakinkan meski masih terengah-engah. Hiroshi berdiri di sampingnya, mengangguk-angguk seolah menegaskan pernyataannya, meskipun isi kata-katanya tetap misteri bagi penyihir itu.
“Bahaya?” penjaga itu bertanya, menyipitkan mata, tidak memahami sepenuhnya situasi yang dihadapi mereka.
“Ya, bahaya! Sangat berbahaya!” Hiroshi menambahkan dengan semangat, menggerakkan tangannya seolah menggambarkan sesuatu yang menakutkan, meskipun dia tahu mereka semua masih terjebak dalam kebingungan bahasa.
Penyihir itu menatap Hiroshi, tersenyum canggung.
“Kau sangat... bersemangat!” dia mengoceh, menyadari bahwa meskipun mereka tidak mengerti satu sama lain, semangat Hiroshi seolah menjalar.
“Masuk! Perlindungan!” Hiroshi bersuara tegas lagi, berusaha meyakinkan para penjaga.
Penjaga itu saling bertukar pandang. Di tengah ketegangan, Hiroshi merasakan bahwa jalan menuju keamanan akan segera dibuka—atau ditutup selamanya.
Dengan satu tatapan penuh harapan, penyihir itu berdiri di samping Hiroshi, keduanya saling menatap meski tidak saling mengerti. Mungkin, di tengah kebingungan ini, mereka bisa menemukan cara untuk saling memahami dan melindungi satu sama lain.