Di kota kecil bernama Harapan Senja, beredar cerita tentang sosok misterius yang dikenal sebagai "Sang Brandal." Sosok ini menjadi legenda di kalangan warga kota karena selalu muncul di saat-saat genting, membantu mereka yang tertindas dengan cara-cara yang nyeleneh namun selalu berhasil. Siapa dia sebenarnya? Tidak ada yang tahu, tetapi dia berhasil memenangkan hati banyak orang dengan aksi-aksi gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Di kejauhan Zed berlari secepat yang dia bisa, napasnya terengah-engah di udara malam yang dingin. Jalanan di sekitar gudang itu penuh dengan puing-puing dan genangan air, membuat langkahnya tidak stabil. Namun, dia tahu dia tidak bisa berhenti sekarang—nyawanya sedang dipertaruhkan. Ledakan yang baru saja terjadi mungkin telah mengalihkan perhatian musuh-musuhnya, tetapi itu tidak akan lama. Dia harus menemukan tempat yang aman sebelum mereka menyadari bahwa dia telah melarikan diri.
Saat dia berbelok di tikungan, Zed melihat sosok bayangan yang bergerak cepat ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang, dan dia hampir mengangkat pipa besi yang masih digenggamnya, siap untuk bertarung. Namun, bayangan itu segera terungkap sebagai Kai, yang tampak sama terkejutnya melihat Zed.
“Zed! Lo nggak apa-apa?” tanya Kai, suaranya penuh dengan kekhawatiran.
Zed mengangguk, meskipun dia masih berusaha mengatur napas. “Gue… gue baik-baik aja. Tapi kita harus cepat pergi dari sini. Mereka ada di gudang, gue hampir ketangkep.”
Kai menatap Zed dengan intensitas yang meningkat. “Gue denger ledakan tadi. Apa yang terjadi?”
“Gue nggak tau. Mereka lagi nyari gue di dalam, tapi ledakan itu mengalihkan perhatian mereka. Kayaknya itu penyelamat gue malam ini.”
Kai mengernyit, pikirannya berputar-putar mencari penjelasan. “Gue baru balik dari ngumpulin informasi. Ada satu tempat yang harus kita datengin malam ini juga—sebuah bar di ujung Distrik Haze. Katanya, Volkov sering nongkrong di sana. Tapi kalau musuh kita udah mulai bergerak cepat, kita harus ekstra hati-hati.”
Zed menatap Kai dengan mata yang tajam. “Apa lo yakin ini nggak bakal jadi perangkap?”
Kai terdiam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan itu. “Gue nggak yakin, tapi kita nggak punya banyak pilihan. Kalau kita nggak ambil risiko ini, kita mungkin bakal kehabisan waktu sebelum bisa ngejar Volkov.”
Zed menghela napas panjang. “Baiklah, kita coba. Tapi kita harus punya rencana cadangan kalau keadaan mulai berantakan.”
Mereka berdua segera meninggalkan area sekitar gudang, menelusuri jalan-jalan yang lebih kecil dan gelap untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan. Kai memimpin jalan, mengenal setiap tikungan dan gang seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri. Zed mengikutinya dengan waspada, selalu menengok ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti.
Setelah sekitar dua puluh menit berjalan cepat, mereka tiba di depan sebuah bangunan tua dengan lampu-lampu redup yang menerangi tanda bar di atas pintu masuknya. Bar itu tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang keluar-masuk dengan langkah malas. Kai menatap pintu bar itu dengan pandangan penuh tekad.
“Kita masuk, tapi kita nggak boleh kelihatan mencurigakan,” kata Kai sambil menatap Zed. “Lo ikutin gue, dan biarin gue yang ngurusin semuanya.”
Zed mengangguk tanpa ragu. Mereka masuk ke dalam bar, dan suasana langsung berubah. Udara di dalam penuh dengan asap rokok, dan bau alkohol menyengat menusuk hidung mereka. Di sudut-sudut ruangan, beberapa orang duduk di meja dengan minuman di tangan, berbicara pelan dengan nada yang penuh rahasia. Musik jazz yang samar terdengar dari jukebox tua di ujung ruangan, menambah aura misteri yang menyelimuti tempat itu.
Kai dan Zed mengambil tempat di meja yang sedikit tersembunyi dari pandangan langsung pintu masuk. Mereka duduk di sana, berpura-pura tidak terlalu tertarik dengan lingkungan sekitar mereka, meskipun mata mereka terus mengamati setiap gerakan.
Setelah beberapa menit, seorang pelayan wanita dengan wajah lelah mendekati meja mereka. “Mau pesan apa?” tanyanya dengan suara datar.
“Dua bir,” jawab Kai singkat.
Wanita itu mengangguk tanpa bicara lagi dan berbalik menuju bar. Sementara itu, Zed mencoba untuk tidak terlihat gugup. Setiap detik yang berlalu terasa seperti seabad. Dia terus berpikir tentang kemungkinan buruk yang bisa terjadi—jika mereka tertangkap, jika Volkov tidak ada di sini, atau jika semua ini ternyata hanya jebakan.
Beberapa menit kemudian, pelayan itu kembali dengan dua botol bir, meletakkannya di atas meja. “Selamat menikmati,” katanya sebelum beranjak pergi.
Kai membuka botol birnya dan menyesapnya sedikit, matanya terus bergerak mencari tanda-tanda keberadaan Volkov. Zed mengikuti, meskipun pikirannya tidak sepenuhnya pada minuman di depannya. Dia tahu mereka berada di tempat yang sangat berbahaya.
Saat mereka menunggu, Kai tiba-tiba melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Seorang pria berjas hitam dengan penampilan mencolok baru saja masuk ke dalam bar. Pria itu berjalan dengan penuh percaya diri ke arah meja di sudut ruangan yang lain, tempat dua orang pria berpenampilan serupa sudah menunggunya.
“Kita dapet jackpot,” bisik Kai pada Zed. “Itu Volkov.”
Zed menatap pria itu dengan penuh perhatian. Penampilannya sesuai dengan deskripsi dalam dokumen yang mereka terima dari Liora. Wajahnya keras, dengan bekas luka yang membuatnya tampak lebih menakutkan. Pria itu duduk dan mulai berbicara dengan orang-orang di mejanya, suaranya rendah dan penuh otoritas.
“Sekarang apa?” tanya Zed, suaranya nyaris tak terdengar.
“Kita harus dengar apa yang dia bicarakan,” jawab Kai, suaranya tegang. “Kalau kita bisa dapet informasi tentang rencana mereka, kita bisa balik menyerang sebelum mereka nyerang kita.”
Zed mengangguk, dan mereka berdua mencoba mendekati meja Volkov tanpa menarik perhatian. Mereka memilih tempat duduk yang lebih dekat, dan mencoba mendengarkan percakapan yang sedang berlangsung.
Volkov berbicara dengan tenang, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa penuh ancaman. “Kita harus bergerak cepat,” katanya kepada kedua pria di mejanya. “Ada bocoran bahwa dua orang yang lolos dari operasi terakhir kita sekarang sedang mengumpulkan informasi. Kita nggak bisa biarin mereka terus ngacak-ngacak rencana kita.”
Zed merasakan darahnya berdesir. Dia tahu orang yang dimaksud adalah mereka berdua.
“Saya sudah menyebarkan orang-orang saya di seluruh kota,” lanjut Volkov. “Kalau mereka nggak segera keluar dari tempat persembunyian mereka, mereka bakal ketangkep, dan kita bisa mengakhiri masalah ini untuk selamanya.”
Zed meremas tangan Kai di bawah meja, memberikan isyarat bahwa mereka harus segera pergi. Mereka sudah mendengar cukup banyak, dan semakin lama mereka tinggal di sini, semakin besar risiko mereka tertangkap.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, salah satu pria di meja Volkov menoleh dan melihat ke arah mereka. Matanya menyipit, dan dia tampak curiga. “Bos, kayaknya gue pernah liat orang-orang itu sebelumnya,” katanya, suaranya rendah namun penuh dengan niat jahat.
Volkov segera menoleh, dan matanya bertemu dengan pandangan Zed. Dalam sekejap, ketegangan di ruangan itu meningkat. Volkov tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ancaman daripada keramahan.
“Sepertinya malam ini kita dapat tamu tak diundang,” kata Volkov dengan nada mengejek. Dia berdiri perlahan, diikuti oleh kedua anak buahnya. “Kalian berdua, jangan pernah berpikir untuk melarikan diri. Karena begitu kalian melangkah keluar dari sini, kalian akan langsung jatuh ke tangan kami.”
Kai dan Zed tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka berdua segera berdiri dan berlari menuju pintu keluar. Tapi Volkov dan anak buahnya lebih cepat. Mereka mengejar Kai dan Zed, membuat keributan di bar yang sebelumnya sunyi itu. Orang-orang lain di bar langsung bereaksi, beberapa dari mereka bangkit dari tempat duduknya dan ikut terlibat dalam pengejaran.
Kai dan Zed berhasil keluar dari bar dan segera berlari menyusuri jalanan Distrik Haze yang gelap. Mereka tahu mereka harus segera menemukan tempat bersembunyi, atau setidaknya, cara untuk membuat para pengejar mereka kehilangan jejak.
Namun, Volkov dan anak buahnya tidak mudah menyerah. Mereka terus mengejar Kai dan Zed, berlari melewati gang-gang sempit dan melompati puing-puing yang berserakan di jalan. Setiap langkah yang diambil oleh Zed dan Kai terasa seperti perlombaan dengan maut.
“Kita nggak bisa terus lari kayak gini!” kata Zed di tengah-tengah nafasnya yang terengah-engah.
Kai setuju. “Kita harus berpikir cepat. Kalau nggak, mereka akan menyusul kita dalam waktu singkat.”
Mereka melihat sebuah gang kecil di depan, tampak seperti jalan buntu dari kejauhan. Tapi Kai tahu jalan itu, dan dia memimpin Zed masuk ke dalamnya. Gang itu ternyata memiliki pintu kecil di salah satu dinding, pintu besi yang hampir tidak terlihat karena tertutup oleh bayangan bangunan yang tinggi di sekitar nya.