Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Nur berhenti di sebuah halte bis, dia tak membawa sepeserpun uang. Hanya ponsel miliknya yang ia punya.
Ponsel itu memang miliknya sendiri dari hasil jerih payahnya dulu, meski ketinggalan zaman, tapi Nur bersyukur masih memilikinya.
Coba saja kalau dia menuruti Pamungkas kala itu untuk mengganti ponselnya, sudah pasti ponsel itu juga di rebut olehnya.
Hati Nur gundah karena belum bertemu dengan putra bungsunya.
Harusnya saat ini Bisma sudah sampai di rumah, tapi dia tak melihat mobil yang menjemput putranya.
Nur hanya bisa menghela napas, dia tak mungkin membawa anak-anaknya saat ini karena ia yakin masa depan anaknya akan suram.
Dirinya hanya berdoa semoga Pamungkas tak mengabaikan kebutuhan anak-anaknya.
Terpaksa Nur menghubungi Zahra. Dia tak tahu siapa lagi yang bisa dia mintai tolong saat ini.
"Halo Ra, kamu di rumah?"
"Mbak Nur? Iya Zahra di rumah mbak, ada apa mbak? Mbak mau main?" jawab Zahra ceria.
Nur menggigit bibirnya cemas, dia belum sanggup bercerita saat ini.
"Mbak? Halo mbak ada apa?" karena tak mendengar suara sang kakak, di seberang sana Zahra merasa cemas.
"Iya Ra, mbak mau main ke sana, apa boleh?"
"Ah mbak ini, tentu aja boleh mbak, sekali-kali menginaplah di sini mbak!" pinta Zahra antusias.
"Ka-kalau boleh memang mbak ingin menginap di sana Ra," ucap Nur ragu-ragu.
Zahra yang mendengar jawaban sang kakak justru merasa sangat senang. Bagaimana tidak, setelah menikah, Nur tidak pernah bisa menginap di rumahnya, bahkan saat di rumah mereka dulu pun Nur tak pernah menginap, karena alasannya dia selalu sibuk merawat anak dan suaminya.
"Tapi Mas Pamungkas mengizinkan mbak?"
"Ra, boleh mbak minta tolong?" potong Nur mengelak menjawab pertanyaan adik pertamanya.
"Ah iya mbak minta tolong apa?"
"Tolong jemput mbak ya? Mbak di halte dekat perumahan mbak," jelasnya.
"Aduh mbak maaf Cici lagi demam, mas Farid juga belum pulang, emmm gimana kalau mbak pakai taksi online aja?"
"Kamu tahu hape mbak kan jadul Ra."
"Aduh gimana ya. Oh iya aku pesankan dari sini ya, mbak tenang aja. Aku pesankan dulu ya."
Percakapan keduanya terputus karena Zahra harus memesankan taksi untuk kakaknya.
Sebenarnya Zahra merasa ada yang aneh dengan sang kakak yang tak biasanya pergi tanpa di antar oleh suami atau sopir suaminya.
Namun Zahra segera menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran buruknya.
Ia yakin rumah tangga sang kakak baik-baik saja, sebab yang dia tahu hubungan mereka tampak harmonis saja.
"Siapa yang menelepon Ra?" tanya Wati— mertua Zahra.
"Ini bu, mbak Nur. Katanya mau main ke sini," jawab Zahra.
"Mbakmu yang kaya itu ya. Wah alhamdulillah, semoga saja dia bawa banyak makanan ya Ra. Jangan lupa Ra, nanti minta ajak makan di luar ya."
Mendengar permintaan ibu mertuanya, sebenarnya Zahra merasa sangat kesal, tapi dia hanya diam saja tak menanggapi.
Itulah yang dia tak suka dari ibu mertuanya. Menurut Zahra mertuanya sangat matrealistis dan selalu ikut campur dengan urusan rumah tangganya.
Tak lama kemudian, Nur sudah tiba di kediamannya. Wati menyambut kakak ipar putranya itu dengan berlebihan.
"Ya Allah Nur, tambah subur aja, aura orang kaya emang beda ya Nur," ucap Wati entah memuji atau menghina tubuh Nur yang memang sedikit gemuk.
Nur lantas menatap Zahra yang berada di belakang mertuanya.
Saat Zahra menyalaminya, Nur berbisik meminta sang adik untuk membayar uang taksinya dulu.
Meski heran Zahra tak banyak bertanya dan bergegas mendekati sang sopir dan membayar tagihannya.
Wati sendiri sibuk melihat ke arah bagasi tempat sang sopir menurunkan koper milik Nur.
"Loh bawa apa sampai di masukin koper Nur? Baju-baju mahal buat Cici ya? Wah senangnya cucu ibu bisa di beli kan baju bagus lagi sama budenya. Kalau kaya gini kan Zahra sama Farid bisa menyimpan uang mereka supaya bisa cepat beli mobil ya Nur."
Nur yang di tembak dengan ucapan mertua Zahra seperti itu hanya bisa tersenyum kaku.
Melihat wajah sang kakak yang terlihat pucat, Zahra yakin ada yang tak beres dengannya. Oleh sebab itu Zahra segera menggandeng sang kakak untuk segera masuk.
"Mbak baik-baik aja?" bisik Zahra yang tak ingin sang mertua mendengar percakapan mereka.
"Ra—"
"Nur bukalah kopernya, ibu ingin melihat hadiah yang kamu bawa," sela Wati tak sabaran.
"Maaf Bu, saya enggak bawa oleh-oleh. Ini pakaian saya semua," jawab Nur lirih.
"APA?! Pakaian kamu? Mau apa kamu bawa pakaian ke sini? Mau kasih Zahra pakaian bekasmu?" pekik Wati kecewa.
"Bu bisa tinggalkan kami dulu?" pinta Zahra lembut.
Sungguh dia kesal sekali dengan sang mertua yang masih saja ikut campur urusannya.
"Kenapa toh Ra? Ibu ini kan keluarga kamu juga. Oh atau jangan-jangan Nur di usir sama suaminya ya?"
.
.
.
Lanjut