Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIMPI YANG LAIN
Dalam perjalan pulang menuju kastil, Laina terlelap di sisi Azkan yang sedang mengemudi. Azkan sesekali menatapnya, memastikan Laina masih nyenyak, kemudian kembali fokus menatap jalanan yang harus mereka lalui.
Namun Azkan tak tahu kalau tidur nyenyak Laina di sisinya, telah membawanya memasuki mimpi yang lain. Kali ini, Laina bertemu dengan Azkan yang berusia dua puluh tahun. Tubuhnya sudah setinggi sekarang, tetapi otot-ototnya tak sebesar sekarang. Tubuh Azkan yang berusia dua puluh tahun, begitu bugar dan wajahnya bercahaya. Apalagi ketika Laina melihatnya, Azkan sedang berlari ke arahnya sambil menenteng segenggam rangkaian bunga warna-warni. Laina berada di bawah pohon rindang di tengah lapangan rumput yang luas, dengan sebuah buku di pangkuannya. Laina tetap duduk di tempatnya, menunggu Azkan sampai padanya, dengan nafas tersengal.
“Aku mengumpulkan semua ini sendiri. Untukmu!” suara Azkan tak serendah yang didengar Laina ketika bertemu dengannya di kastil. Aura muda Azkan, membuat Laina terpesona.
“Benarkah?” Laina meletakkan bukunya, meraih segenggam bunga yang diikat menggunakan ranting kering dari Azkan. Laina memperhatikan campuran bunga warna-warni yang begitu indah di tangannya.
“Terima kasih, Aku sangat menyukainya.” Laina tersenyum pada Azkan yang sedari tadi terus menatapnya sambil tersenyum lebar dan berusaha mengendalikan nafasnya agar tak lagi tersengal.
“Kenapa kau berlari begitu kencang? Wajahmu sampai berkeringat.” Laina mengusap bulir keringat di kening Azkan.
Azkan tertawa kecil, lalu menjawabnya, “Karena aku ingin lebih cepat bertemu denganmu.”
“Kita kan sudah berjanji untuk bertemu siang ini. Aku pasti menunggumu. Kau tidak perlu kuatir.”
“Tetap saja. Bertemu lebih cepat pasti lebih menyenangkan.” Azkan tersenyum lebar sambil meraih tangan Laina yang mengusap keringatnya.
“Aku sangat sangat mencintaimu, …” Laina mengerutkan kening, berusaha mendengar nama yang diucapkan Azkan, tapi gagal.
“Aku juga, Azkan.” kesadaran dalam mimpi Laina langsung membalas ungkapan cinta itu dengan sepenuh hati.
Azkan mengecup punggung tangan Laina, membuatnya terkikik pelan. Lalu Azkan meraih tubuh Laina ke atas pangkuannya, kemudian memeluknya erat, “Aku sangat bahagia sekarang. Tidak ada hal lain lagi yang kuinginkan.”
“Benarkah?” Laina menggoda Azkan, “Sepertinya kemarin kau berkata ingin bisa membangun rumah di pinggir pantai? Kau juga bilang ingin menyelesaikan kelas-kelas di universitas lebih cepat supaya bisa secepatnya bekerja lalu bisa menikahiku. Apa semua keinginan itu sudah tidak lagi ada?”
Azkan langsung melepas pelukannya, memegang kedua sisi tubuh Laina dengan tangannya, kemudian sambil menatap Laina lekat-lekat, Azkan berkata dengan sepenuh hati, “Tentu saja aku akan mewujudkan semua keinginan itu. Aku pasti akan segera lulus, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan menikahimu setelah membangun sebuah rumah di pinggir pantai untukmu.”
“Sepertinya akan membutuhkan waktu yang cukup lama ya?” Laina tak bisa berhenti menggoda Azkan. “Bagaimana kalau aku semakin tua dan menjadi jelek ketika kau sudah menyelesaikan semua rencanamu itu?”
“Aku akan tetap menikahimu. Aku tidak peduli bagaimana penampilanmu akan berubah nanti. Selama kau adalah Laina, maka itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku mencintaimu, Laina. Hanya kau.”
“Benarkah? Bahkan kalau aku kalah cantik dibanding para gadis muda yang mengagumimu?”
“Aku hanya memandangmu. Bagiku, di kehidupanku ini, aku hanya punya satu orang perempuan, dan itu kau.”
“Bagaimana kalau ada pria lain yang datang melamarku lebih dulu?”
“Apa kau akan menerimanya?” kening Azkan mengerut.
“Tidak.” gelengan kepala Laina mempertegas perasaannya.
“Kalau begitu, aku akan mempertahankanmu dan meminta pria itu untuk menyerah. Dia harus segera pergi dari hidupmu kalau tidak mau berurusan denganku.” Azkan tertawa dan kembali memeluk Laina.
“Memangnya apa yang akan kau lakukan kalau pria itu tidak mau pergi?”
“Aku akan menghajarnya. Kau lihat kan tubuhku ini dipenuhi otot yang kuat. Aku yakin pasti bisa mengalahkannya.”
“Bagaimana kalau aku yang pergi?” pertanyaan Laina membuat Azkan terdiam.
“Azkan?” Laina mendongakkan kepalanya, berusaha melihat ekspresi wajah Azkan sekarang.
“Sejujurnya, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Tapi kalau kau pergi untuk kebahagiaanmu, maka aku akan membiarkanmu pergi.”
“Benarkah?”
“Tapi kumohon, kalau bisa, jangan pernah pergi meninggalkanku.” Azkan membelai wajah Laina. “Kalau kau ingin pergi kemanapun, katakan saja padaku. Aku akan menemanimu. Aku akan berada di sisimu, mendukung semua hal yang ingin kau lakukan.”
“Kenapa kau baik sekali padaku, Azkan? Tidak seperti orang lain yang menuntutku melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu. Kau selalu membiarkanku melakukan apa pun yang kuinginkan. Kau menerimaku tanpa menuntut apa pun dariku.”
“Karena aku mencintaimu sepenuhnya, …”
Laina tak bisa mendengar nama yang disebutkan Azkan. Namun kesadarannya di dalam mimpi, merasakan kepiluan mendalam setelah mendengar ucapan Azkan. Rasanya seperti ada sebuah tali berduri yang mengikat hatinya erat-erat. Air mata Laina menetes. Azkan mengusapnya, lalu memberinya sebuah ciuman hangat.
“Sayang?!” suara Azkan mengembalikan Laina pada keberadaan tubuhnya.
“Az?” Laina mengerjapkan mata, berusaha mengembalikan semua kesadarannya.
“Kau bermimpi apa sampai menangis dan tidak mendengarku memanggilku berkali-kali?” Azkan terlihat khawatir.
“Ah, mimpi yang indah, tapi rasanya menyedihkan.”
“Hm?”
Tatapan penuh tanya Azkan tak mendapatkan jawaban dari Laina. Daripada menjawab atau menceritakan isi mimpinya, Laina memilih untuk mengalihkan topik.
“Kita sudah sampai?”
“Iya. Aku sudah membangungkanmu daritadi, tapi kau tak mau bangun.”
“Maaf. Sepertinya tidurku terlalu lelap ya?” Laina berusaha tersenyum, meski hatinya masih terasa sakit.
“Kau tidak mau menceritakan mimpimu padaku?” Azkan memastikan.
“Maaf, mungkin nanti?”
“Baiklah, kalau begitu. Ayo, kita masuk.” Azkan turun lebih dulu dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Laina. Dia berusaha menutupi kekhawatirannya dan menahan rasa ingin tahunya. Azkan memeluk pinggang Laina di sepanjang jalan sampai ke depan kamar tidurnya.
“Beristirahatlah. Hari ini pasti melelahkan bagimu.” Azkan mengucapkan perpisahan di ambang pintu kamar Laina.
“Iya. Kau juga.” Laina tak menolak perpisahan itu. Dia segera masuk ke dalam kamar, membiarkan Azkan berdiri di ambang pintu dalam kebimbangan. Pikirnya, Azkan akan segera pergi ke kamarnya setelah melihatnya masuk.
Tiba-tiba, langkah kaki Azkan terdengar mendekat dan tubuh Laina direngkuh ke dalam sebuah pelukan dari belakang.
“Az?”
“Aku tidak tahu apa yang kau lihat di dalam mimpimu, tapi apa pun itu, kalau hal itu mengganggumu, jangan dipikirkan. Itu hanyalah mimpi. Bukan kenyataan. Sekarang, yang nyata adalah kau ada di sini, bersamaku. Aku akan melindungimu dan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.”
“Terima kasih, sayang.” Laina mengelus tangan Azkan yang menyatu di perutnya.
“Panggil aku lagi,” bisik Azkan di telinga Laina.
“Az?”
“Bukan, panggilan yang tadi kau berikan padaku.”
“Sayang?” anggukan kepala Azkan mengacak-acak rambut Laina.
“Sekali lagi.”
“Sayang,” Laina tersenyum, merasa lucu melihat sisi Azkan yang seperti ini.
“Sayangku, Azkan.” Laina berbalik, lalu mengalungkan lengannya di leher Azkan, menatap kedua matanya, menenggelamkan seluruh perasaannya pada kedalaman mata biru Azkan, “Kekasihku. Pria yang kucintai.” Laina memiringkan wajahnya sambil tersenyum, merasakan kehangatan dari sorot mata biru Azkan. Dia tak bisa menahan diri dari keinginannya untuk menelusurkan jemarinya ke dalam rambut hitam Azkan yang lebat. Azkan memiringkan kepalanya, membiarkan Laina memainkan rambutnya. Kedua matanya terpejam, menikmati sentuhan jemari Laina di rambutnya. Seiring dengan belaian tangan Laina di dalam rambutnya, Azkan mengeratkan pelukannya di pinggang Laina. Tubuh mereka tak lagi berjarak. Ketika tangan Laina berhenti membelainya, Azkan membuka mata, lalu meraih wajah Laina hingga dia bisa memberinya ciuman.
Laina memejamkan matanya, membiarkan Azkan menuntunnya, mulai dari mengecup bibir bawahnya dengan lembut, lalu berpindah pada bibir atasnya, dan ketika irama mereka menyatu, Azkan membuka mulutnya dan mempertemukan lidah mereka. Desahan nafas Laina yang hangat dan mulai tak beraturan, membuat Azkan semakin intens memberikan ciuman panjang dan dalam. Tangannya berusaha meraih seluruh tubuh Laina, dan Laina pun meresponnya dengan memberikan sentuhan-sentuhan lembut di punggung Azkan.
Di saat nafas mereka semakin memburu, Azkan menghentikan ciumannya. Dia membenamkan kepalanya di leher Laina, berusaha menyembunyikan seluruh wajahnya di dalam buaian rambut panjang Laina sambil memeluknya, merasakan kehangatan dan debarannya.
“Aku harus berhenti sekarang.” ucapnya dalam bisikan, “kalau tidak, aku tidak akan bisa berhenti.”
Laina tak tahu harus merespon bagaimana. Dia hanya diam, membenamkan wajahnya di bahu Azkan yang sedang memeluknya. Bahkan di saat seperti ini pun, kau masih memikirkanku.
“Beristirahatlah, Lai.” Azkan mengecup leher Laina, mengejutkannya yang sedang menenangkan diri dari ciuman panjang mereka.
Azkan menjauhkan wajahnya dari Laina, berdiri dengan tegak sambil mempertahankan pelukannya, lalu menatap Laina dengan lembut, “Katakan padaku kalau kau membutuhkan sesuatu atau ada hal yang mengganggu pikiranmu.” Laina mengangguk, tersenyum ketika Azkan membelai wajahnya. “Sayang, kau selalu bisa mengandalkanku. Kau bisa bersandar padaku, meminta sesuatu dariku, atau menyuruhku melakukan hal lain. Aku, adalah pria milikmu. Kau bebas mengutarakan apa pun padaku. Mengerti?” setelah melihat Laina mengangguk dengan eskpresi wajah yang lebih tenang, Azkan memberikan sebuah kecupan lembut di keningnya.
“Aku akan memanggilmu kalau makan malam sudah siap.” Azkan melepaskan pelukannya, kali ini benar-benar meninggalkan Laina sendirian di dalam kamarnya.
Setelah pintu kamarnya tertutup dan langkah kaki Azkan terdengar menjauh, kemudian suara pintu kamar Azkan yang dibuka kembali tertutup, Laina terjatuh di atas tempat tidurnya. Air matanya mengalir tanpa suara isak. Kenapa hatiku rasanya begitu pilu? Padahal itu hanya mimpi. Kenapa rasanya terlalu nyata untuk dianggap sebuah mimpi? Aku mencintai Azkan. Aku yakin dengan perasaanku. Tapi kenapa …