NovelToon NovelToon
Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari dari Pernikahan / Konflik etika / Selingkuh / Penyesalan Suami / Tukar Pasangan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: She Amoy

Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memastikan Kematian - 2

Aku mengumpulkan ingatan sekuat tenaga. Informasi dari Dini soal lokasi pemakaman Krisna, tidak dijelaskan secara detail. Dini hanya menyebutkan di daerah Cisaat Sukabumi. Tetapi aku bingung, sebelah mana tepatnya TPU (Tempat Pemakaman Umum) daerah Cisaat. Haruskah aku mendatangi semua pemakaman dan memeriksanya satu persatu?

Sebenarnya aku kenal teman-teman terdekat Krisna, tapi aku enggan bertanya. Kisah hubungan istimewa kami sudah tercium beberapa bulan sebelum aku mengundurkan diri dari perusahaan itu. Bahkan, dengan istrinya pun, aku sudah sempat bertatap muka. Meskipun waktu itu, istrinya tidak mencurigaiku sama sekali.

Aku sudah bertanya pada Intan yang kebetulan tinggal di kota ini. Lokasi rumah Intan memang jauh dari daerah Cisaat. Tapi Intan memberiku informasi yang berguna. Katanya ada tiga TPU (Tempat Pemakaman Umum) daerah Cisaat. Selebihnya, aku harus mencari sendiri.

Lamat-lamat ingatan itu muncul. Kota ini, pernah dikunjungi Intan dan Krisna sewaktu perusahaan mengadakan tugas pelatihan lapangan. Krisna harus memonitor gudanh-gudang logistik yang ada di Sukabumi. Ya, satu kali kami pernah bersama ke kota ini. Ah, kenapa aku sampai lupa.

Aku melanjutkan perjalanan menuju daerah Cisaat. Keluar tol Jagorawi, aku kembali mengingat jalanan ini. Sekilas aku ingat sesuatu. Sebuah adegan di masa lalu ketika Krisna memperkenalkan kota Sukabumi.

“Tuh Cin, beloknya ke situ?” sahut Krisna sambil memindahkan perseneling karena jalanan cukup macet.

“Oh masuk ke situ? Apa nama desanya?”

“Cigunung Cin, tuh lihat samping jembatan ada kolam pemancingan.”

“Loh, itu pinggir jalan, kenapa masuk ke jalan Cigunung?”

“Ya, memang masuknya lewat situ Cin. Coba aja kapan-kapan kamu ikut.” Jawab Krisna sambil sedikit gelagapan. Meskipun suaranya terdengar lantang, aku tahu bahwa Krisna berbohong kala itu. Setiap kali Krisna pamit untuk pergi memancing ke Sukabumi, dia sulit sekali dihubungi. Lagi pula, sangat membuang waktu dan tenaga, menghabiskan perjalanan dari Jakarta menuju Sukabumi, hanya untuk sebuah hobi. Kalau tidak salah, salah seorang temannya di kantor pernah bercerita, bahwa suaminya juga gemar memancing di daerah Bogor. Jadi, tempat pemancingan yang lebih dekat dari Jakarta pun ternyata ada, bahkan mungkin banyak. Tapi aku tak lagi berkomentar atau menyelidiki lebih jauh. Setelah beberapa waktu, aku baru mengetahui, kalau istrinya berasal dari Sukabumi daerah Cigunung - Cisaat.

Berarti, kalau benar Krisna sudah meninggal dan dimakamkan di Sukabumi, kemungkinan besar, pemakaman akan ditempatkan di dekat rumah keluarga istrinya. Aku segera menyalakan google map, mencari di mana lokasi Cigunung.

Akhirnya aku sampai di desa Cigunung. Kolam pemancingan ikan tampak berjajar rapi. Ada jalanan menurun ke arah kolam tersebut. beberapa mobil terparkir di samping jalan menurun itu. Jalan itu berupa tangga yang hanya bisa dilalui oleh kaki. Motor pun tak bisa melewatinya. Tetapi tempat itu cukup ramai dengan pengunjung. Beberapa rumah berjejer sepanjang jalan, kiri dan kanan. Jalanan beraspal yang sedikit rusak itu hanya cukup dilalui dua mobil kecil. Sekilas aku melihat kolam renang yang cukup besar di sebelah kiri. Dan sebuah rumah dengan warung di depannya. Ternyata ada kolam renang juga di desa ini. Kemudian aku berhenti di depan warung tersebut, pura-pura membeli sesuatu sambil bertanya pada penjaga warung.

“Permisi, Bu … !” Cukup panjang aku memanggil sang pemilik warung. Nampaknya, warung itu dibiarkan oleh pemiliknya begitu saja. Tak lama seorang ibu berbadan besar keluar. Jilbabnya berwarna hijau dan daster panjang berbunga-bunga, terlihat seperti seorang ibu rumah tangga.

“Ya Neng mau beli apa?”

“Ada air mineral Bu?” tanyaku sambil melemparkan senyum.

“Ini Neng, mau berapa botol?”

“Satu aja Bu!” jawabku lagi sambil membayar air tersebut.

Aku membuka botol air mineral dan meminumnya di tempat. Warung itu tidak terlalu besar, tetapi penuh dengan berbagai makanan ringan yang digantung, roti, kopi, dan bahan-bahan pokok lainnya. Yang mengganggu adalah lampu. Warna lampu itu redup, remang-remang, dan kemerahan. Seperti menunjukkan kalau si pemilik sedang benar-benar berhemat. Karena tidak ada alasan untuk tidak menggantinya dengan lampu baru. Warung sang Ibu sendiri, terlihat menjual beberapa lampu.

Ibu itu masih duduk di warungnya menunggu Lela kalau-kalau ingin membeli sesuatu yang lain. Sambil menghitung uang receh di laci, tak lama ia bertanya,

“Neng mau ke mana?”

“Ah iya Bu. Baru aja saya mau tanya. Kalau TPU (Tempat Pemakaman Umum) desa ini, sebelah mana ya Bu?” Aku bertanya sambil sedikit maju menghampiri ibu warung tersebut.

“Oh, kuburan?” sedikit mengernyitkan dahi, Ibu itu kembali bertanya.

“Iya Bu, kuburan!”

“Lurus aja Neng dari sini, jalanannya rada nanjak , jadi kade weh!” (jalanan naik jadi hati-hati)

“Oh gitu ya Bu, makasih Bu!”

Aku melangkahkan kaki menuju mobil dan tidak melanjutkan pertanyaan meskipun keterangan tadi kurang jelas. Pemilik warung menggunakan bahasa campuran Indonesia dan bahasa Sunda. Tetapi aku cukup paham dengan bahasa tersebut. Toh, ia juga dilahirkan di tanah Sunda.

Matahari mulai tinggi. Dengan sengaja, aku membuka kaca mobil, menikmati angin yang masuk perlahan seiring roda kendaraan yang berputar secara pelan pula. Jalan menuju kuburan semakin sempit dan naik. Dari arah atas, beberapa motor dan sepeda melintas. Pohon-pohon bambu sepanjang jalan terlalu mendominasi desa itu. Hanya beberapa rumah yang terlihat berdiri dengan kokoh. Tak lama, aku menemukan pemakaman umum di sebelah kiri dan kanan. Aku pun menepikan mobil di sebelah kiri. Untung saja ada sebuah warung kopi yang memiliki sedikit halaman.

“Neng! Milarian saha?” Seorang lelaki paruh baya menghampiriku yang baru saja keluar dari mobil. Ia bertanya sedang mencari siapa.

“Oh muhun Pak! Ini saya mau nyekar. Nyekar berarti ziarah. Sering digunakan oleh orang Sunda.

“Oh kitu, manga atuh!” Bapak itu mempersilakanku ke arah pemakaman sebelah kanan. Sepertinya Bapak itu adalah pemilik warung kopi. Sebetulnya aku juga bingung, apa yang dijual di warung tersebut. aku hanya melihat kopi-kopi instan bergantungan dan beberapa botol air mineral yang dijajarkan di meja warung. Warung yang terbuat dari papan. Lantainya hanya berupa semen yang sudah tidak mulus lagi. Ada dua buah bangku panjang di depan warung tersebut. Tetapi tidak ada orang lain selain Bapak tersebut.

“Hatur nuhun Pak, oh iya Pak, saya izin parkir di sini boleh?” Tanyaku sambil tersenyum.

Bapak tua itu mengganggukan kepalanya sambil berlalu masuk ke dalam warung. Aku berlalu menuju tempat pemakaman. Kususuri jalan setapak dan membaca nisan satu persatu. Matahari berada di puncaknya saat itu. Semilir angin membelai wajahku yang mulai terasa panas.

Nama Krisna belum juga kutemukan. Batu nisan yang mengerumuninya, belum juga memberikan petunjuk di mana kuburan Krisna berada. Tempat ini cukup luas. Aku baru menelusuri sebelah kanan. Kuputuskan untuk menuju pemakaman sebelah kiri.

Sambil berzikir, aku menikmati airmata yang menetes satu demi satu. Tangis itu masih gerimis. Aku kesal dan marah karena belum juga menemukan nama Krisna, atau justru aku sebenarnya berharap bahwa nama Krisna tidak pernah ada di sana. Krisna yang aku cintai, mungkin sampai saat ini, seharusnya masih hidup. Sejujurnya berita kematian itu tidak pernah kuyakini. Meskipun aku juga berpikir untuk apa Dini berbohong. Untuk itulah aku rela pergi ke sukabumi agar ia dapat memastikan kematiannya, memastikan pikirannya. Tiba-tiba telepon berdering.

Aku kembali berjalan sambil membaca batu nisan pelan-pelan. Tiba-tiba azan berkumandang. Eva melirik jam di tangan kirinya. “Astagfirullah, aku belum solat zuhur."

Aku mencari sumber azan tersebut, kembali ke arah atas pemakaman dan melihat masjid di balik rumah yang agak besar.

Setelah selesai salat, aku duduk di pelataran masjid. Tiba-tiba seorang pria setengah baya menghampiriku sambil bertanya.

“Neng, nuju milarian saha?” Ia bertanya dalam bahasa Sunda yang artinya sedang mencari siapa.

“Eh Pak, hemm saya lagi cari makam teman. Kalau tidak salah ia dimakamkan di daerah sini.

“Oh gitu. Makam siapa Neng?” Bapak itu mengubah bahasanya. Menyesuaikan diri dengan lawan bicara yang terlihat berasal dari kota besar.

“Teman saya namanya Krisna. Tapi dari tadi belum ketemu Pak!”

“Krisna?” Bapak itu berpikir sambil mengingat-ngingat sesuatu.

“Jigana mah teu aya nu namina Krisna (sepertinya ga ada yang namanya Krisna).

Bapak hapal siapa saja yang dikuburkan di sini. Kebetulan, Bapak juga suka ngurus makam. Kalau bulan lalu mah, ada keluarga Haji Rozak yang meninggal. Tapi dikuburinnya di sana Neng, tuh sebelah rumah yang agak besar.”

Bapak itu bicara lumayan banyak, menceritakan hal-hal yang tidak kutanyakan. Aku mendengarkan sambil mengangguk-ngangguk. Lalu pamit untuk mencari kembali nama Krisna, sambil menuju arah pulang. Tapi langkahku terhenti, sebuah nisan dengan hiasan batu kerikil menarik perhatianya. Aku membaca sebuah nama yang dikenal. Krisna. Kuburan itu masih baru dan dihiasi bunga-bunga.

Aku duduk dan diam. Mengumpulkan akal sehat yang berperang dengan perasaan. Ia terdiam, membaca nama Krisna berulang-ulang. Tidak ada nama belakang, hanya Krisna.

Mataku menjadi hujan, begitu deras sederas kenangan yang mengalir di ingatan. Napas kutarik panjang-panjang. Debar jantung yang tak beraturan, mengurai segala kesedihan dan kesakitan. Bukan, itu bukan makam Krisna.

Aku ingat, Dini sempat mengirimkan foto Krisna saat ia menengok ke rumah sakit bersama teman-teman kantor yang lain. Begitu kurus dan pucat. Ia masih tersenyum meski terlihat lelah. Sehari setelah Dini mengirimkan foto itu, aku sempat mengirimkan pesan ke ponsel Krisna dengan bahasa formal.

“Pak, apa kabar?”

“Maaf, ini siapa?”

Aku tak membalas lagi. Percakapan berakhir. Dan itulah terakhir kalinya aku mengirimkan pesan. Seolah ponsel itu bukan Krisna yang pegang. Aku tidak mau membuat masalah baru. Sejak itu aku hanya menunggu.

Jarum jam berputar lebih cepat. Riko sebentar lagi pasti menelepon. Aku foto area pemakaman dan kukirimkan pada Riko. Kedua mataku masih deras. Dadaku begitu sesak dengan pertanyaan dan penyesalan. Sungguh, aku ingin menceritakan segalanya pada Krisna. Sungguh, aku ingin menumpahkan tumpukan luka yang menganga. Luka yang ia dapat sejak pernikahan bodoh ini. Luka yang sama sekali tidak pernah aku prediksi. Luka yang menjadikan aku lenyap. Ada tetapi tidak hadir. Bahagia, tetapi getir.

1
pembaca setia
bagus ih ceritanya. ayo lanjutkan Thor
Fathan
lanjut thor
Fathan
bagus banget ceritanya. relate sama kehidupan nyata dan gak lebay.
Fathan
pusing banget tuh anak
Fathan
bodoh
Fathan
tinggalin ajaaa
Fathan
rAina bodoh
Fathan
ngeselin rikooo
Fathan
menarik nih, seru
Fathan
rapi bahasanya
pembaca setia
ceritanya menarik. mengungkap sebuah kejujuran perasaan penulis. Bahasa rapi dan minim typo. rekomendid novelnya
Sunshine🤎
1 like+subscribe untuk karya mu Thor. semangat trus sering² interaksi dan tinggalkan jejak di karya author lain, dan jangan lupa promosiin karya agar popularitas meningkat/Good/
SheAmoy: makasih kakak
total 1 replies
anggita
like👍+☝iklan buat author.
SheAmoy: makasih kak
SheAmoy: makasih banyak kakak
total 2 replies
SheAmoy
thanks kak
Necesito dormir(눈‸눈)
Makin lama makin suka, top deh karya thor ini!
SheAmoy: makasih kaka
total 1 replies
Black Jack
Saya benar-benar tenggelam dalam imajinasi penulis.
pembaca setia: menarik banget nih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!