Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal dari yang baru
Fajar baru saja menyingsing ketika Dimas membuka mata. Kamar tidurnya terasa dingin dan hampa, meski sinar mentari pagi mulai merembes masuk melalui celah tirai. Dia melirik ke samping, mendapati tempat Rani kosong. Sprei di sisi itu masih kusut, menandakan malam yang gelisah bagi penghuninya.
Dimas bangkit perlahan, gerakannya kaku seperti robot yang baru diaktifkan. Wajahnya tanpa ekspresi saat dia mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam, pakaian kerjanya yang biasa. Tak ada cermin yang dia pandang, seolah enggan bertatapan dengan bayangannya sendiri.
Lantai kayu berderit pelan di bawah langkahnya saat Dimas menuruni tangga. Rumah besar itu terasa sunyi, hanya sesekali terdengar kicauan burung dari luar. Aroma kopi yang biasanya menyambut pagi absen, digantikan oleh wangi masakan yang samar-samar tercium dari arah dapur.
Saat Dimas hampir mencapai anak tangga terakhir, Bi Ijah, pembantu rumah tangga yang sudah mengabdi bertahun-tahun pada keluarganya, muncul dari balik pintu ruang makan.
"Selamat pagi, Den Dimas," sapa Bi Ijah dengan senyum hangat yang kontras dengan ekspresi dingin Dimas. "Nyonya sudah bangun dari tadi. Sedang masak di dapur."
Dimas mengernyitkan dahi, sekilas ada kebingungan di matanya yang segera tergantikan oleh tatapan datar. "Masak?" tanyanya singkat, suaranya serak.
"Iya, Den. Nyonya bilang mau bikin sarapan spesial hari ini," jawab Bi Ijah, masih dengan senyumnya.
Tanpa membalas, Dimas melangkah menuju dapur. Pikirannya berkecamuk. Istrinya, tidak pernah memasak. Bahkan untuk memasak air pun dia selalu meminta bantuan Bi Ijah. Lalu kenapa tiba-tiba...?
Dapur rumah itu luas dan modern, didominasi oleh warna putih dan silver. Biasanya tempat ini hanya menjadi wilayah kekuasaan Bi Ijah. Namun pagi ini, sosok ramping seorang wanita berdiri membelakangi Dimas, sibuk di depan kompor.
"Adinda?" panggil Dimas, nada suaranya datar meski ada sedikit keraguan terselip di sana.
Wanita itu berbalik, dan untuk sesaat Dimas merasa dunianya berputar. Itu memang istrinya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih hidup, senyumnya lebih tulus. Bahkan caranya berdiri pun terasa berbeda.
"Pagi, Dimas," sapa Rani lembut. "Duduklah, sarapan sebentar lagi siap."
Dimas tak bergerak, matanya mengamati Adinda dengan tatapan menyelidik. "Sejak kapan kau bisa memasak?" tanyanya dingin.
rani tertawa kecil, suara yang sudah lama tak Dimas dengar. "Aku belajar. Kupikir sudah waktunya aku menjadi istri yang lebih baik."
Kata-kata itu seharusnya menyenangkan Dimas, tapi justru membuat dahinya semakin berkerut. Dia duduk di meja makan tanpa berkata apa-apa lagi, matanya tak lepas dari sosok istrinya yang kembali sibuk dengan masakannya.
Beberapa menit kemudian, sepiring nasi goreng tersaji di hadapan Dimas. Aromanya menggugah selera, jauh berbeda dari masakan instan yang biasa mereka santap.
"Cobalah," Ujar Rani, duduk di seberang Dimas dengan senyum penuh harap.
Dimas menatap makanan di hadapannya dengan ragu. Perlahan, dia menyendok nasi goreng itu dan memasukkannya ke mulut. Matanya sedikit melebar saat rasa yang tak dia duga menyapa lidahnya.
"Bagaimana?" tanya Rani, masih dengan senyumnya.
"Lumayan," jawab Dimas singkat, meski dalam hati dia mengakui bahwa rasanya lebih dari sekadar lumayan.
Mereka makan dalam diam. Dimas sesekali melirik Rani, mencoba mencari tahu apa yang berbeda. Caranya makan, caranya tersenyum, bahkan caranya memandang Dimas... semua terasa asing namun anehnya familiar.
"Ada apa?" tanya Dimas akhirnya, tak tahan dengan kejanggalan yang dia rasakan.
Adinda meletakkan sendoknya, menatap Dimas dengan lembut. "Tidak ada apa-apa, Dimas. Aku hanya... ingin memulai semuanya dari awal. Kita sudah terlalu lama hidup seperti orang asing."
Dimas terdiam, matanya menyipit curiga. "Kenapa tiba-tiba?"
"Karena aku sadar, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita menikah karena perjodohan, tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia, kan?"
Kata-kata itu menohok Dimas. Dia bangkit tiba-tiba, kursinya berderit keras di lantai keramik.
"Aku harus berangkat kerja," ujarnya dingin, berbalik menuju pintu.
"Dimas," panggil Rani, suaranya sedikit bergetar. "Bisakah kita bicara sebentar?"
Dimas berhenti, tapi tidak berbalik. "Tentang apa?"
"Tentang kita. Tentang pernikahan ini. Tentang... Kayla."
Nama itu membuat tubuh Dimas menegang. Dia berbalik perlahan, matanya menatap tajam istrinya..
"Apa yang kau tahu tentang Kayla?" tanyanya, suaranya rendah dan berbahaya.
Rani menarik napas dalam. "Aku tahu semuanya, Dimas. Dan aku ingin kau tahu, aku tidak marah. Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain."
Dimas terdiam, otaknya berusaha mencerna situasi ini. Istrinya yang tiba-tiba bisa memasak, yang tiba-tiba ingin memulai semuanya dari awal, yang tiba-tiba tahu tentang Kayla...
"Siapa kau?" tanya Dimas akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
rani tersenyum kaku. "Aku istrimu, Dimas. Hanya saja, kali ini aku ingin menjadi istri yang sesungguhnya untukmu."
Dimas menggeleng keras, berjalan cepat menuju pintu. "Aku harus pergi," ujarnya, tanpa menoleh lagi.
Dia keluar dari rumah dengan pikiran berkecamuk. Matahari pagi yang cerah terasa mengejek kekacauan dalam batinnya. Dimas masuk ke mobilnya, tapi tidak langsung menyalakan mesin. Dia duduk diam, tatapannya kosong ke depan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah semua ini nyata? Atau mungkin dia masih bermimpi?
Dengan tangan gemetar, Dimas mengeluarkan ponselnya. Dia menatap layar untuk waktu yang lama, jarinya menggantung di atas nomor kontak Rani.
Haruskah dia menghubungi Kayla? Tapi dia tidak berani untuk melakukannya. Atau mungkin... ini saatnya dia menghadapi kenyataan yang selama ini dia hindari?
Dimas meletakkan kembali ponselnya, memejamkan mata erat. Untuk pertama kalinya sejak entah berapa lama, dia merasa takut. Takut pada perubahan, takut pada kemungkinan, dan yang paling menakutkan... takut pada harapan yang mulai tumbuh di sudut hatinya yang paling gelap.