Wang Lu adalah juara satu perekrutan Paviliun Longtian, mengalami kerusakan pondasi internal dan berakhir sebagai murid tak berguna.
Tak ada yang mau jadi gurunya kecuali… Wang Wu.
Cantik!
Tapi tak bisa diandalkan.
“Bagaimanapun muridku lumayan tampan, sungguh disayangkan kalau sampai jatuh ke tangan gadis lain!” ~𝙒𝙖𝙣𝙜 𝙒𝙪
“Pak Tua! Tolonglah! Aku tak mau jadi muridnya!” ~𝙒𝙖𝙣𝙜 𝙇𝙪
“Tak mau jadi muridnya, lalu siapa yang mau jadi gurumu?”~
Murid tak berguna, guru tak kompeten… mungkinkah hanya akan berakhir sebagai lelucon sekte?
Ikuti kisahnya hanya di: 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗹𝘁𝗼𝗼𝗻/𝗠𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁𝗼𝗼𝗻
______________________________________________
CAUTION: KARYA INI MURNI HASIL PEMIKIRAN PRIBADI AUTHOR. BUKAN HASIL TERJEMAHAN, APALAGI HASIL PLAGIAT. HARAP BIJAK DALAM BERKOMENTAR!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jibril Ibrahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
“Masih berani kabur lagi?”
“Mmm…”
“Masih berani mencuri arakku lagi?”
“Mmmm…”
“Masih berani menipu uangku lagi?”
“Mmmmm…”
“Masih berani mengadu macam-macam pada pak tua itu lagi?”
“Mmmmmm…”
“Masih berani—”
“MMMMMMM!”
Setelah berhasil membekuknya, Wang Wu meringkus Wang Lu dengan selendang dan membungkusnya seperti kepompong. Kemudian menceburkan pemuda itu ke dalam bak mandi tanpa melepaskan lilitannya.
Sekarang wanita itu berdiri di tepi bak sembari bersedekap, membungkuk di atas kepala Wang Lu dengan sikap mengancam.
Wang Lu meronta-ronta seperti belatung.
Wang Wu tak menggubrisnya. Ia berbalik dan meninggalkan ruangan pemandian itu, dan membiarkan Wang Lu tetap begitu selama tiga hari.
Waktu sudah berlalu setengah tahun sejak ajang perekrutan murid baru di perguruan itu, dan sampai sejauh ini, yang dilakukan Wang Wu hanya merendam muridnya dalam bak mandi.
Murid lain—teman satu angkatan Wang Lu—sudah menguasai jurus-jurus dasar perguruan dan mendapatkan senjata spiritual, sebagian bahkan sudah dilepas dan dibiarkan turun gunung untuk latihan berburu monster.
Tentu saja Wang Lu juga sudah diizinkan turun gunung dan dilepas sendiri, bahkan sebelum yang lain. Tapi bukan untuk latihan misi atau berburu monster. Melainkan untuk menjual barang atau belanja bahan makanan, sesekali berjudi hingga menipu, bahkan mencuri.
Itulah yang diajarkan Wang Wu pada Wang Lu.
Metode pelatihan Wang Wu ini… memang cocok untuk orang tidak berguna seperti muridnya.
Enam bulan lagi, ujian tahunan akan dilaksanakan, tapi Wang Wu bahkan tak yakin dirinya bisa pulih kembali. Bagaimana bisa dia ikut ambil bagian?
Tapi Wang Wu tetap mendaftarkannya.
“Junior Kelima, kau… tidak sedang bercanda, kan?” Penatua Keempat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ujian tahunan itu meragukannya.
“Kau yang sedang bercanda! Apa aku terlihat sedang bercanda?” sembur Wang Wu tak sabar.
“Tapi…”
“Tapi, tapi! Apanya yang tapi?” sergah Wang Wu memotong perkataan Penatua Keempat. “Wang Lu adalah muridku satu-satunya, kalau bukan dia, lalu siapa lagi yang harus kudaftarkan? Aku?”
Penatua Keempat menyerah.
Lalu Penatua Agung turun tangan.
“Kudengar kau mendaftarkan Wang Lu dalam ujian tahunan?” Pria tua berambut putih itu mendatangi pondok Wang Wu setelah mendengar pengaduan Penatua Keempat.
“Kenapa?” seloroh Wang Wu acuh tak acuh. “Bukankah setiap murid wajib ikut ujian di tahun pertamanya? Kalau tidak, muridku akan diusir dari sekte!”
“Tapi dengan kondisi Wang Lu saat ini, aku bahkan tak yakin dia bisa melewati babak pertama!”
“Bisa melewatinya atau tidak, yang penting dia tidak diusir dari sekte,” tukas Wang Wu. “Paling-paling aku harus menikahinya!”
Penatua Agung mendesah pendek. “Tampaknya kau bersikeras mempertahankannya,” katanya. “Sebenarnya apa tujuanmu?” Penatua Agung memicingkan matanya. “Aku tak percaya kau menginginkannya untuk… menghangatkan ranjang seperti yang kau katakan!”
“Memang tak sepenuhnya,” sahut Wang Wu tanpa beban. “Tapi bagaimanapun muridku memang lumayan tampan! Bukankah sangat disayangkan kalau sampai jatuh ke pelukan gadis lain?”
“Seriuslah sedikit!” desak Penatua Agung dalam bujukan tegas yang membuat Wang Wu mendesah pendek.
“Tak peduli apa tujuanku,” ungkap Wang Wu mulai serius. “Tapi orang yang diserahkan padaku… tentu aku akan mempertanggungjawabkannya.”
“Kuharap kau tak berakhir sebagai lelucon.” Penatua Agung mengakhiri pembicaraan dan berpamitan.
“MMMMMMM!” Wang Lu memekik di ruang pemandian.
Wang Wu mengerang dan menghampirinya. Kemudian melepaskannya.
Dan kalimat pertama yang diucapkan pemuda itu saat mulutnya terbebas adalah, “Shifu! Kau serius ingin mengikutsertakan aku dalam ujian tahunan?”
Rupanya ia mendengar pembicaraan gurunya tadi.
“Memangnya kapan aku pernah serius?” sahut Wang Wu tak peduli.
Wang Lu langsung terdiam. Diam-diam mengerang sembari memutar-mutar bola matanya.
“Kembali ke pondokmu dan ganti pakaian!” titah Wang Wu sembari berlalu.
Wang Lu kembali ke pondoknya.
Tak lama berselang, Wang Wu datang ke pondoknya membawa nampan berisi larutan madu dan buah-buahan. “Sudah tiga hari kau tidak makan,” katanya. “Sebaiknya hindari dulu makanan berminyak.”
“Ini—” Wang Lu menunjuk keranjang buah sambil mengernyit.
“Tidak mau?” sergah Wang Wu bernada menantang.
“A—aku mau! Aku mau!” Wang Lu merenggut keranjang buah itu cepat-cepat. Ia tahu persis perangai gurunya yang maha kejam. Wanita itu bisa menarik kembali semua niat baiknya hanya karena alasan sepele. Serius dan bercanda baginya tidak ada bedanya.
Lebih baik makan buah daripada tidak makan sama sekali, pikir Wang Lu.
“Setelah selesai, pergilah ke Balai Leluhur. Temui Penatua Ketujuh, dan minta dia mencarikanmu senjata yang cocok,” pesan Wang Wu sebelum pergi. Kemudian melemparkan Plakat Otoritas pada Wang Lu.
“Senjata?” Wang Lu spontan merongos. “Kau belum mengajariku apa pun,” protesnya. “Kau bahkan melarangku menggunakan kekuatan spiritual! Senjata apanya? Kau sedang mencoba mempermalukanku?”
Wang Wu berhenti di ambang pintu, lalu mengerling melewati bahunya. “Jadi muridku tak perlu punya malu,” katanya tanpa beban. "Gurumu tak tahu malu!"
Wang Lu mengerang tak berdaya.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu sudah berada di Balai Leluhur.
Balai Leluhur adalah pusat warisan dan senjata spiritual. Di dalamnya terdapat banyak kitab dan artefak kuno di samping senjata spiritual. Semuanya adalah peninggalan leluhur klan Long. Itulah sebabnya tempat itu disebut Balai Leluhur.
“Senjata warisan biasanya akan memilih sendiri pewarisnya,” jelas Penatua Ketujuh. “Semua senjata di sini adalah senjata warisan,” katanya. “Tapi… kenapa tidak satu pun bereaksi?”
“Bukankah sudah jelas?” gumam Wang Lu seraya tersenyum pahit. “Tak ada yang bereaksi, artinya tak ada yang memilihku. Bukan begitu?”
Penatua Ketujuh mendesah dan memaksakan senyum. “Tak perlu berkecil hati,” katanya menyemangati. “Tidak terpilih, bukan berarti tak punya pilihan.”
Wang Lu mengangkat wajahnya, memberanikan dirinya untuk menatap ke dalam mata Penatua Ketujuh. “Maksud Penatua Ketujuh…”
“Di ruang pertama tadi, adalah koleksi senjata yang didapat dari berbagai tempat, dibawa oleh para murid yang menjalankan misi.” Penatua Ketujuh memberitahu. “Karena kau murid pewaris, kau boleh memilih sendiri senjata yang cocok!”
“Benarkah?” Semangat Wang Lu bangkit kembali.
“Ayo!” Penatua Ketujuh memandunya kembali ke ruang depan, di mana sejumlah senjata dipajang sebagai penghias ruangan.
Wang Lu tertegun di depan deretan rak senjata itu, tiba-tiba kembali menjadi ragu.
“Kenapa?” tanya Penatua Ketujuh dengan nada lembut. Di antara sembilan penatua, Penatua Ketujuh adalah yang paling ramah.
Anehnya Wang Lu justru paling segan padanya!
“Aku belum tahu bakatku.” Wang Lu mengaku.
Penatua Ketujuh tersenyum maklum. “Gurumu belum menurunkan bakat?”
“Ya!” jawab Wang Lu sambil tertunduk muram.
“Tak perlu terburu-buru!” Penatua Ketujuh menasihati. “Senior Kelima pasti punya pertimbangan sendiri. Kau tahu? Meski gurumu biasanya terlihat tak acuh, sebenarnya dia telah melakukan banyak hal untukmu.”
Wang Lu mengangkat wajahnya lagi, menatap Penatua Ketujuh sekali lagi.
“Apa kau tahu berapa banyak sumber daya yang sudah dihabiskannya untuk pembaptisanmu?” tanya Penatua Ketujuh.
“Pembaptisan?” Wang Lu mengerutkan keningnya.
“Ya!” Penatua Ketujuh menatap Wang Lu dengan seringai penuh arti. “Pemandian yang kau anggap lelucon itu!”
Wang Lu menelan ludah. Seketika ia teringat pembicaraan gurunya dengan Penatua Agung.
“Tak peduli apa tujuanku. Tapi orang yang diserahkan padaku, tentu aku akan mempertanggungjawabkannya!”
“Gurumu telah menghabiskan semua yang dimilikinya demi pemulihanmu!” Penatua Ketujuh memberitahu. “Jangan mengecewakannya!”
Wang Lu langsung terdiam.
😅😅😅
Dia yang bikin ulah, dia juga yang kewalahan 😆