Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kartu Iblis
Percakapan Nara dan gurunya tak berlangsung sebentar. Semua orang juga tahu kalau wanita tidak bisa mengakhiri obrolannya dalam waktu singkat itu sudah rahasia umum.
Sudah hampir tiga jam Nara menghabiskan waktu di rumah wanita itu. Nara sengaja mematikan sata selulernya untuk mencegah notifikasi masuk. Ia tak ingin diganggu oleh siapa pun pada saat ini.
Banyak hal yang mereka bicarakan. Tapi yang menjadi sorotan utamanya adalah pria dukun yang tak lain dan tak bukan adalah Baron. Sepertinya ia juga menyadari jika dirinya sedang diperbincangkan oleh para ahli tarot.
"Bisakah kau bacakan peruntungan untukku?" tanya Nara.
"Kenapa kau tidak membaca peruntunganmu sendiri, padahal kau bisa melakukannya," balas Hana.
Sudah lebih dari satu tahun lalu sejak Nara pertama kali belajar tarot bersamanya. Nara bukan gadis yang bodoh. Ia termasuk cepat dalam belajar. Hana tahu setiap perkembangannya, ia cukup mampu untuk melakukan semuanya sendiri.
"Aku takut hasilnya tak akurat," ungkap Nara.
Kini mau tak mau Hana harus membacakannya. Ia tak pernah mampu menolak permintaan Nara sejak dulu. Entah tipuan atau daya tarik macam apa yang ada di dirinya, sehingga Hana tak mampu mengelak. Ia sudah menganggap muridnya yang satu ini seperti adiknya sendiri.
"Baiklah, apa yang ingin kau ketahui?" tanya Hana sambil mengeluarkan kartu tarotnya.
"Apa pun yang akan terjadi di hidupku dalam waktu dekat," pinta Nara.
"Cukup banyak ya," protes Hana.
"Hehe…" balas gadis itu.
Hana hanya menaikkan salah satu sudut bibirnya. Kemudian menghela napas.
Ia mengacak kartu-kartu tarot miliknya, sehingga susunannya tak berurut. Berantakan. Hana bahkan tak tahu seperti apa susunannya sekarang.
"Ambil dua kartu!" perintah Hana.
Tanpa perlu banyak pertimbangan, Nara langsung mengambil dua kartu yang menjadi pilihannya hari itu. Ia hanya mengikuti kata hatinya. Logikanya tak lagi bekerja pada saat itu. Lagi pula ia tak perlu logika dalam memilih kartu. Satu-satunya hal yang ia butuhkan hanyalah intuisi yang kuat.
"Sepertinya kau harus berhati-hati selama beberapa hari ke depan. Mungkin lima sampai satu pekan ke depan." ungkap Hana sambil memandangi kartu tersebut.
Sementara itu di sisi lain Nara hanya diam membisu. Tak bergeming sedikit pun. Ia merasa penasaran memangnya kartu seperti apa yang ia dapatkan, sehingga Hana sampai memperingatinya seperti itu.
"Memangnya ada apa?"
Nara memutuskan untuk bertanya demi mengakhiri rasa penasarannya.
"Lihat apa yang kau dapatkan," ucap Hana lalu menyodorkan dua kartu tersebut.
Kartu pengkhianatan dan kartu sang iblis. Keduanya pertanda buruk.
"Kartu iblis tak pernah membawa hal baik," perjelas Hana.
Lawan bicaranya masih tak bersuara sedikit pun. Sepertinya ia masih merasa terkejut. Tak menyangka jika akan mendapatkan kartu pertanda buruk dalan waktu yang bersamaan seperti itu.
"Jadi seseorang akan berkhianat padaku dalam waktu dekat ini?" tanya Nara untuk memastikan.
"Ya, sepertinya begitu," jawab Hana dengan sederhana.
"Aku tak tahu persis siapa orangnya, tapi aku yakin kau sudah tau siapa dia. Orang yang berpotensi mengkhianatimu," jelas gadis itu kemudian.
Suasana hati Nara yang tadinya sudah mulai membaik, kini kembali buruk. Semuanya karena kartu yang ia dapatkan.
"Intinya kau harus berhati-hati," ucap Hana.
"Kartu sang iblis pertanda buruk, aku bisa merasakan energi negatif yang begitu kuat darinya," jelas Hana.
"Apa itu berarti kehancuran?" kali ini giliran Nara bicara.
"Aku tak ingin menakutimu, tapi sepertinya menuju ke hal yang kau maksud barusan," jawab Hana dengan hati-hati.
Nara mengerti maksud wanita itu sekarang. Ia harus mulai meningkatkan kewaspadaannya akan segala hal mulai sekarang. Berjaga-jaga kalau saja tiba-tiba hal buruk datang, maka ia harus siap.
Pengkhianatan dan kehancuran adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Pengkhianatan adalah awak dari kehancuran.
Gadis itu sudah bisa membayangkan segalanya di dalam kepalanya. Seolah-olah tahu persis apa yang akan terjadi ke depannya. Alam bawah sadarnya sedang memutar klip singkat dari skenario semesta.
"Jika ada apa-apa kau bisa hubungi aku segera. Aku akan datang membantumu," ucap Hana penuh perhatian.
Menyadari muridnya sedang tenggelam dalam pikirannya sediri dengan suasana hati yang tak karuan, Hana lantas segera memberikan pelukan hangat yang kiranya dapat menyalurkan energi positif.
Nara sangat beruntung memiliki seorang guru yang amat perhatian padanya seperti ini.
"Sudah hampir malam," ucap Nara saat tak sengaja melihat keluar jendela.
"Kau ingin pulang?" tanya Hana.
"Biar aku antar kalau begitu," tawarnya.
"Tidak perlu, terima kasih. Aku sudah banyak merepotkanmu hari ini," kata Nara.
"Apa kau benar-benar ingin pulang?" tanya Hana sekali lagi untuk memastikan.
Namun, gadis itu sama sekali tak menjawab. Sepertinya ia ragu akan pilihannya sendiri.
"Kalau kau tak ingin pulang, kau bisa tinggal di sini untuk sementara waktu sampai suasana hatimu membaik," ujar Hana menawarkan bantuan lainnya.
"Sebenarnya aku tak ingin pulang dan bertemu dukun itu, tapi di satu sisi aku takut ibu cemas. Dan aku tak mau merepotkanmu lebih banyak lagi," jelas Nara.
"Tidak apa-apa, soal ibumu akan ku atasi. Dia tak akan cemas," balas Hana dengan tenang.
"Aku akan mengatakan jika kita ada sesi latihan khusus yang mengharuskan kau menginap di tempatku," sambungnya.
"Aku sungguh berterima kasih kepadamu. Bagaimana bisa seorang guru sepertimu memiliki hati seperti malaikat?" gumam Nara dengan sorot mata sayu.
Ia sudah sangat kelelahan sejak tadi pagi.
"Guru juga manusia," balas Hana dengan singkat.
Setelah berusaha meyakinkan Nara untuk tinggal di rumahnya sementara waktu, mereka pergi ke lantai dua. Hana menunjukkan dimana tempat gadis itu akan beristirahat nantinya. Selebihnya tak perlu ia tunjukkan. Sebab Nara sudah lumayan sering kemari, jadi ia sudah cukup familiar dengan hampir sebagian besar denah dari rumah ini.
"Istirahatlah!" perintah Hana.
"Kalau butuh apa-apa, aku ada di kamar sebelah," katanya.
"Baiklah, kalau begitu selamat malam," ucap Nara.
"Malam!" balas Hana kemudian berangsur menghilang dari balik pintu.
Kini hanya ada Nara sendiri di ruangan ini. Kata selamat malam tadi hanyalah alibi, ia sama sekali belum mengantuk dan tak memiliki minat untuk beristirahat sedikit pun. Namun Nara tak tahu harus apa lagi. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan di sini selain tidur.
Nara lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menghela napas. Sesekali ia melihat ke layar ponselnya yang tidak ada notifikasi sama sekali. Sebab ia sudah mematikan data selulernya sejak siang.
Ia bisa merasakan kehidupan yang begitu tenang tanpa ada gangguan dari orang lain. Mungkin metode ini akan membantunya untuk mencapai ketenangan dalam beberapa waktu ke depan.