"Kak Akesh, bisa nggak pura-pura aja nggak tahu? Biar kita bisa bersikap kaya biasanya."
"Nggak bisa. Gua jijik sama lo. Ngejauh lo, dasar kelainan!" Aku didorong hingga tersungkur ke tanah.
Duniaku, Nalaya seakan runtuh. Orang yang begitu aku cintai, yang selama ini menjadi tempat ‘terangku’ dari gelapnya dunia, kini menjauh. Mungkin menghilang.
Akesh Pranadipa, kenapa mencintaimu begitu sakit? Apakah karena kita kakak adik meski tak ada ikatan darah? Aku tak bisa menjauh.
Bagaimana bisa ada luka yang semakin membuatmu sakit malah membuatmu mabuk? Kak Akesh, mulai sekarang aku akan menimpa luka dengan luka lainnya. Aku pun ingin tahu sampai mana batasku. Siapa tahu dalam proses perjalanan ini, hatimu goyah. Ya, siapa tahu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mooty moo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Haruskah menjadi Antagonis?
Rupanya hujan tidak kunjung mereda. Akhirnya mau tidak mau Bina menginap di sana. Agas tidur sekamar dengan Richard, sementara perempuan itu tidur di kamar lainnya. Apartemen dosen itu memang memiliki dua kamar tidur.
Saking kelelahannya, Bina pun telat bangun. Sampai Agas harus mengetuk beberapa kali pintu kamarnya baru dia bisa bangun. Dengan gontai, ia pun berjalan ke arah pintu untuk membuka dan melihat siapa bajingan yang berani mengganggu waktu tidur berharganya itu. Kepalanya sedikit pusing.
“Selamat pagi, tidurnya nyenyak?”
Bina terhenyak. Wajah yang ia lihat sungguh tidak terduga. Tidak, ia tidak mengharapkan itu. Tanpa basa-basi, si lelaki menyerahkan handuk bersih dan perlengkapan mandi baru seperti pasta gigi, sikat gigi, dan sabun. Ia benar-benar merawat calon wanitanya.
“Makasih,” ujar Bina singkat sambil mengambil semua barang itu. Setelahnya ia menutup pintu dengan pelan. Ia pergi mandi.
Usai ritual pagi, gadis itu pun keluar dari kamar. Ia langsung dapat melihat pemandangan kompak paman dan keponakan yang sedang menyiapkan sarapan.
"Pak saya bantu masak ya? Saya bisa bantu apa?"
Richard memakai celemek monokrom, sedang menggoreng nasi.
"Nggak perlu, Binn. Ini udah hampir selesai. Kamu duduk aja."
Di dapur kecil itu ada meja makan kecil yang cukup untuk tiga orang. Agas sudah selesai menyiapkan peralatan makan dan duduk di sana. Lelaki itu pun melambaikan tangan, menyuruh Bina untuk duduk juga.
Tak lama kemudian, Richard sudah menyajikan nasi goreng di atas meja. Sementara Bina membantu menuangkan jus jambu ke tiga gelas.
"Masakan Pak Richard nggak kalah sama bikinan ibu saya, enak banget."
"Bagus kalau rasanya cocok di lidah kamu. Saya nggak merasa jago masak. Masak bagi saya hanya skil dasar untuk bertahan hidup."
"Tapi masakan om selama ini emang nggak pernah gagal. Pasangan om kelak pasti bersyukur banget punya suami yang multitalenta."
Agas mengoceh sambil menguyah nasi goreng telur itu. Richard tahu arah obrolan ini. Tapi sama seperti Agas, ia tak pernah bosan membahas jika dirinya jomblo karena pilihannya sendiri.
"Saya nggak mau pacaran atau nikah karena tak bisa meluangkan waktu untuk itu atau mungkin belum."
Biasanya, Agas akan menanggapi jawaban yang seperti template itu, karena selalu sama, dengan mengeluh jika dirinya bosan dicurhati oma dan maminya gegara omnya betah ngelajang.
Tapi kali ini tidak. Ia tak ingin membuat wibawa omnya turun di depan mahasiswa. Ya, meski ia akui bahwa dirinya tadi sempat kelepasan. Agas memang biasa meledek omnya seperti itu.
Setelah menghabiskan makanan dan mengobrol ringan, Agas pamit pulang.
"Bareng gue aja Kak, gue bawa mobil."
"Nggak usah, gue dijemput pacar."
Deg... Agas sama sekali tak menyangka jika calon pacarnya sudah punya kekasih. Ia tak mengantar Bina sampai ke depan pintu. Tapi matanya bagai harimau yang sedang mengintai. Ia terus menatap sampai punggung Bina hilang di balik pintu.
"Kali ini jalanmu sepertinya nggak akan berjalan mulus, Gas."
"Emang jelas banget ya Om?"
"Dari awal kamu nggak berniat nutupin tuh?"
Agas hanya tersenyum, tak menanggapi.
"Saran Om kalau kamu nggak serius, jangan dilanjutin. Bina bukan orang yang suka main-main."
"Aku nggak lagi coba-coba, Om."
"Jadi kamu beneran suka? Atau sekadar obsesi? Biasanya kamu nggak pernah serius dalam hubungan semacam ini."
"Entahlah, sepertinya keduanya."
***
Sementara itu di sebuah kamar asrama, dua sejoli tengah bangun tidur. Orang yang lebih muda hendak turun dari kasur, tapi dicegah oleh tangan orang yang lebih tua.
"Mau ke mana? Di sini aja dulu."
Akesh memeluk Nalaya dari belakang. Nalaya duduk di tepi ranjang, kakinya sudah menapak di lantai. Sementara Akesh melingkarkan tangannya ke perut Nalaya. Ia menempelkan kepalanya di atas punggung Nalaya.
Nalaya masih tak terbiasa dengan situasi ini. Ia hanya bisa tersenyum karena tenggorokannya tercekat. Apalagi saat jemari Akesh menelusuri perut dan dada Nalaya. Ia bisa merasakan dada orang yang ia sentuh berdegup kencang.
"Lucu banget sih lo."
Akesh tertawa renyah, kemudian mengecup pundak sebelah kanan Nalaya. Diperlakukan seperti ini, wajah Nalaya memanas.
Tak lama kemudian, ponsel Nalaya berdering. Agas yang meneleponnya. Setelah diangkat, bukannya mengucap salam, sahabatnya itu langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
"Nala, lo tau siapa pacar Kak Bina nggak?!"
"Hah pacar siapa?"
"Kak Bina, satu tongkrongan lo."
Ia pun menoleh ke belakang, namun Akesh menggelengkan kepala. Ia juga tidak tahu siapa pacar sahabatnya itu.
"Nggak tau gue, dia jarang cerita urusan pribadi. Tapi setahu gue sih doi jomblo."
"Oh gitu. Kalau gitu bantu gue tanya sama Kak Akesh deh, doi kan sohibnya."
"Tunggu, tunggu. Lo ada urusan apa deh segala nanya pacar Kak Bina segala."
"Ah ada deh. Lo nggak perlu tahu untuk saat ini."
"Ya udah lo juga saat ini nggak perlu tahu info itu."
"Nalaya, emang temen jahat lo."
Nalaya merasa senang karena berhasil menggoda sahabatnya.
"Tapi seriusan deh. Kalo lo bantu gue nanyain ini ke Kak Akesh, gue traktir deh lo."
"Seminggu ya?"
"Nalaya lo bener-bener... Oke, deal."
Nalaya tak menanggapi. Pasalnya, orang yang memeluknya kini mengecupi telinga yang ia tempeli ponsel.
"Eh, suara apa itu La? Kok kaya..."
"Bukan apa-apa, udah dulu, gue sibuk!"
"Mencurigakan," gumam Agas.
Telepon dimatikan. Nalaya menoleh ke belakang dan memelototi Akesh, pura-pura marah.
"Kak sana mandi, bau ih," Nalaya mencupit hidungnya sendiri.
"Bareng," Akesh mengedipkan matanya.
"Ogah," Nalaya menyikut pelan perut Akesh.
Lantas ia bergegas bangkit dari duduknya, takut tak bisa lepas dari kungkungan Akesh. Bagaimana pun ia harus menyelamatkan jantungnya agar tak meledak.
Meski pura-pura kecewa, toh akhirnya Akesh masuk ke kamar mandi. Sembari menunggu Akesh selesai mandi, Nalaya menyiapkan pakaian ganti. Mereka memang terbiasa saling meminjam baju, terutama saat menginap. Apalagi wanita itu tomboy dan bajunya kebanyakan gombrong sehingga muat dipakai Akesh. Nala nyaris tidak pernah memakai baju perempuan semenjak SMP.
Nalaya menimbang warna apa yang akan mereka kenakan, ia berencana mengenakan baju dengan warna sama.
Masih belum menemukan yang cocok, tiba-tiba ponsel Akesh berbunyi. Saat Nalaya mengeceknya, ternyata Rachel yang menelepon.
Nalaya bimbang apakah ia harus mengangkat telepon itu atau tidak. Ia masih tak menyentuh ponsel itu, sampai
nada dering berhenti.
Beberapa saat kemudian, sebuah pesan masuk. Nalaya dapat melihat isi pesan yang nampak di layar.
Sayang ke mana? Kok nggak ada di apartemen aku sih? Aku kangen, mau ngajak kamu sarapan.
Di novel-novel, biasanya pesan seperti ini akan dihapus oleh tokoh antagonis. Harus kah ia menjadi antagonis?