Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Dua
Tugas yang sesungguhnya baru dimulai, menurut Kia kali ini barulah ia bisa mengemban tugas sebagai guru tugas sekaligus mahasiswa baru dengan sungguh-sungguh.
Kalau sebelumnya waktunya banyak tersita untuk kasus Warmin, kini ia berharap benar-benar bisa fokus pada tujuan awalnya. Seperti saat ini, ia tengah menunggu teman-temannya untuk berangkat kuliah bersama.
Mobil Chery jadul sudah tak ada lagi, ustadz Subkhi menghadirkan mobil panther berwarna hijau tua sebagai penggantinya. Meski awalnya menolak sebab segan, tapi pada akhirnya mereka tetap menerima, karena memang sangat membutuhkan kendaraan itu selama berada di yayasan Uswatun Hasanah.
“Selamat pagi teman-teman, apakah kalian sudah siap dengan perjalanan kita bersama sahabat baru?” Ijan mengusap kendaraan baru mereka. Kia, Shella dan Devi tersenyum menyaksikan tingkahnya itu.
“Kita berangkat saja, nanti terlambat,” jawab Kia tanpa ekspresi. Kia sadar ada yang aneh di antara Shella dan Evan, sepanjang perjalanan keduanya tak henti berbincang. Menceritakan hal-hal random yang tak jarang membuat gadis itu tertawa terbahak-bahak, begitupun Ijan yang mengimbangi cerita mereka dengan lawakan receh yang semakin menghidupkan suasana.
Husin fokus mengemudi, sedangkan Kia berusaha menikmati perjalanan mereka meski terasa sulit, bagaimana tidak? jika Kia melihat Devi terus-terusan menatap Husin dengan senyum di bibirnya.
Tak terasa kendaraan berhenti di parkiran kampus, Ijan dan Evan berjalan lebih dulu menuju kantin. Keduanya belum sempat sarapan, masih ada waktu sekitar lima belas menit dan itu cukup bagi mereka untuk mengganjal perut yang keroncongan.
Devi berpamitan ke perpustakaan, dan seperti biasa Husin menyelinap tanpa pamit menuju mushola, meninggalkan Kia dan Shella saja yang memilih duduk di taman.
“Ki, nanti kamu makan siang bareng Rendra lagi?”
Kia diam sejenak membetulkan posisi manset tangan yang baru saja dibelinya. “Sebenarnya sih aku malas Shel, tapi bagaimana jika nanti dia kembali mengganggu Ijan?”
“Ah, biarin aja lah itu gendut. Salah siapa dia ngompol, biar dia tanggung jawab sendiri, kenapa harus kamu yang repot-repot.”
“Mana boleh begitu Shella, Ijan juga teman kita. Masa kamu tega sih sama dia, biarlah nanti aku akan coba menghindari Rendra sebisaku, tapi kalau memang takdir mengatakan kita harus makan bareng, ya mau gimana lagi,” jawab Kia pasrah.
Shella mengangguk setuju, menatap wajahnya pada cermin kecil yang sengaja ia bawa dari asrama, “bagaimana penampilanku? menor nggak sih? nggak kan?”
“Kamu kenapa sih, perasaan heboh banget dari tadi. Kamu mau tampil cantik untuk siapa Shel?”
Shella tersenyum anggun, satu tangan menutup bibir dan tangan lain meremas ujung hijab. Kia berdecak heran sebab sikap gadis itu yang terlalu terang-terangan.
“Pokoknya Kia, aku harus terlihat natural. Yang cantik tapi kayak nggak pake make up gitu loh, kamu ngerti nggak sih?” tuturnya penuh semangat, Kia hanya mengangguk menanggapinya.
Layar ponsel Shella berkedip-kedip, ia membuka satu pesan dari Febri yang mengatakan jika kelas akan segera dimulai. Keduanya pun berlari sekuat tenaga menuju kelas mereka, tak ingin mencari masalah dengan terlambat pada mata kuliah seorang dosen yang terkenal akan kekejamannya.
.
Mungkin Kia beruntung sebab tiba di kelas lima detik lebih cepat daripada Pak Willy, dosen terkejam di kampus Gading. Tapi agaknya keberuntungan tak memihaknya kali ini, sesaat setelah kelas dibubarkan Kia menyelinap di antara puluhan mahasiswa keluar dari kelas.
Maksud hati bersembunyi di mushola untuk menghindari Rendra. Namun, siapa sangka lelaki itu berhasil menemukannya. Kia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang tengah melaksanakan sholat Dhuha itu adalah Narendra, preman kampus yang selama ini mengganggunya.
Pantas saja mahasiswa lain berkerumun di sekitar mushola menyaksikannya. Awalnya Kia berkomentar dalam hati apa mereka tak pernah melihat orang sholat Dhuha, segitunya sampai berkerumun di samping mushola.
Namun, rasa heran terjawab saat lelaki di depannya berdiri menatapnya. “Wah, kamu menungguku, Tazki?”
Kia terperangah, pasalnya tampilan Rendra jauh berubah. Ia yang biasanya urakan kini jadi lebih rapi, rambutnya baru saja dipotong, dan itu meningkatkan tingkat ketampanannya di mata para gadis. Terlebih ia mendadak alim.
Rendra memang kejam, tapi mahasiswi universitas Gading tak akan ada yang mampu menolak ajakannya untuk berkencan. Meski itu hanyalah angan, Rendra selalu dingin pada setiap wanita.
“Ayo, tunggu apa lagi, kamu tak lupa kan dengan janjimu?” imbuhnya mendekati Kia.
“Hmm? ah, o-oke.” Kia berjalan mengekor, tak mampu menolak. Semua mata tertuju padanya, bahkan para mahasiswi tampak iri. Tapi aneh, Kia sama sekali tak bangga akan hal itu. Kalau saja bisa kabur, ia ingin melakukan hal itu kini.
“Bagaimana penampilanku Tazki? apa kamu suka?”
“Hmm, lebih baik daripada sebelumnya.”
“Tapi kamu suka kan?”
Kening Kia berkerut, pertanyaan Rendra terdengar aneh. Kenapa ia menjadi patokan dari perubahan style lelaki itu? Kia memutuskan diam tak menjawab, Rendra tertawa lirih menarik tangannya masuk ke dalam kedai.
“Pesanlah apa yang kamu mau, kali ini aku yang akan traktir.”
“Kenapa begitu? biar aku saja Ren, aku tak mau punya hutang dan janji makan bersama ini tak kunjung selesai.” Kia menjawab tanpa jeda, bahkan tak sadar bila ucapannya membuat Rendra terdiam.
“Kamu tak suka makan denganku?”
“Ah, bu-bukan begitu maksudku Ren, hanya… hanya saja aku selalu kepikiran jika punya janji atau hutang pada orang lain, makanya aku ingin semua cepat diselesaikan, yah begitu.” Tawa sumbang menggema dalam ruangan berukuran kecil itu, kali ini memang bukan rumah makan padang tujuan mereka, melainkan kedai pangsit.
“Wah, kalian serasi sekali, ini pacarnya ya Neng?” tanya seorang kakek tua mengenakan celemek, sepertinya ia koki kedai pangsit itu.
“Ah…bu..”
“Iya Kek, dari mana kakek tahu? wah, mata kakek jeli sekali meski sudah sepuh ya. Kami memang pasangan, mohon doanya ya Kek agar hubungan kami langgeng sampai ke pelaminan.”
Rendra memotong ucapan Kia dengan jawaban yang benar-benar mengejutkan. Kia dibikin melongo atas sikapnya itu.
Bahkan kini Rendra menarik kursi, dan membimbing Kia untuk duduk di kursi yang telah disediakannya.
“Astaga, kalian berdua mengingatkanku pada almarhumah istriku, dulu kami juga sangat romantis. Baiklah, kakek akan memberi kalian mie pangsit spesial. Gratis khusus untuk kalian berdua. Tunggu sebentar ya.” Kakek tua berjalan cepat menuju dapur.
"Terima kasih Kek, kami sangat menghargainya," teriak Rendra.
“Rendra, apa yang kamu lakukan? kenapa kamu berbohong demi mendapat pangsit gratis?”
“Aku nggak berbohong Ki, itu harapanku,” ujarnya enteng. Kia jadi salah tingkah mendengar penuturan lelaki itu.
***
“Misi kamu gagal ya Ki hari ini?” tanya Shella saat keduanya baru memasuki gerbang yayasan, seorang satpam berkepala botak menyapa mereka. Shella dan Kia hanya tersenyum mengangguk.
“Entahlah, makin kesini Rendra makin stress. Itu membuatku turut stress, aku bisa gila kalau terus begini Shel,” rengeknya.
“Maksudmu apa Kia?”
“Tazkia! putri ayah!”
Keduanya menengok ke arah masjid, seorang lelaki berperut tambun mengenakan kemeja berwarna biru laut dan celana hitam melambai ke arah mereka.
“Ayah!”
“Itu ayahmu Ki?” Shella melongo tak percaya, pasalnya lelaki yang tak begitu tinggi itu melompat-lompat bagai anak kecil. Dan saat Kia berhasil mendekatinya, ia pun melakukan hal sama. Berpegangan tangan dan berputar bagai teletubbies.
“Astaga, kenapa bisa seperti ini?” guman Shella lirih, berjalan mendekati anak dan ayah yang saling melepas rindu.
“Ayah kok nggak bilang sih kalau mau kesini? oh iya ayah, perkenalkan ini Shella sahabat Kia.”
“Oh jadi ini yang namanya Shella, cantik ya. Kia sering menceritakanmu Nak, mohon bantuannya ya, dan jangan lelah meski Kia mungkin selalu merepotkanmu.”
“Ah, tidak apa-apa Om, itu wajar dalam persahabatan. Ya kan Ki?”
Kia mengangguk cepat. Anak dan ayah itu pun duduk bersantai di serambi masjid, sedangkan Shella berpamitan kembali ke asrama. Ia menolak ajakan Kia dan sang ayah untuk tetap tinggal, merasa perlu memberi kesempatan pada mereka untuk melepas rindu.
Cukup lama mereka berbincang hingga tiba saatnya Kia menanyakan satu hal yang selama ini sangat mengganggunya.
“Jadi, satu orang ini kamu tak bisa melihat masa lalunya begitu Kia?”
“Iya Ayah, bukankah itu aneh? bahkan kalau mau aku bisa melihat masa lalu Ayah sekarang juga."
“Jangan macam-macam kamu, nggak sopan!”
Kia terkekeh pelan, ia menunjukkan manset tangan yang menutupi sebagian besar telapak tangannya. Sang ayah mengerti maksud dari putrinya ini.
“Apa mungkin dia jodohmu, putriku.”
“Ah, masa sih Ayah?” Kia merasa tak yakin, sang ayah terlihat ragu-ragu menandakan jika lelaki itu juga tak tahu banyak tentang masalah yang menimpanya.
“Kalau ayah boleh tau, siapakah calon menantu Ayah itu?”
Kia memukul keras pundak sang ayah, membuat lelaki itu terkejut dan mengaduh. “Apa sih, menantu-menantu. Orang belum jelas juga,” ucapnya dengan wajah memerah.
🏃🏃🏃🏃🏃