Cahaya dipaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga meninggal. Namun, siapa sangka jika pria itu memiliki seorang istri yang amat dicintainya yang saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya. Sehari setelah pernikahan paksa itu dilakukan, pertemuan tak sengaja antara Cahaya dan istri pertama suaminya terjadi.
Akankah Cahaya diakui statusnya di hadapan keluarga suaminya? Atau malah Cahaya tetap disembunyikan? Dipaksa padam seolah tak pernah ada dalam kehidupan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Dituduh Pelakor
"Kenapa jadi melebar ke mana-mana, sih, Ra? Kamu tau gak, apa yang sedang kamu omongin ini?"
Zahra terdiam lalu perlahan-lahan menundukkan kepalanya. "Aku cuma takut, Bang. Aku takut kekuranganku ini akan membuat Abang berpaling."
"Sudahlah. Abang gak akan meninggalkan kamu hanya karena itu. Kita udah pernah hidup bertahun-tahun tanpa anak. Dan, kita juga bahagia, 'kan?"
Akhirnya, Zahra hanya bisa menganggukkan kepala dengan pasrah.
Beberapa menit setelah Arif berlalu, Zahra lantas bersiap-siap untuk pergi.
Zahra bukannya hendak bertemu teman seperti yang ia katakan di awal. Akan tetapi, Zahra berniat ingin mengunjungi rumah Cahaya. Ada hal penting yang harus ia lakukan di sana.
Sesampainya ia di tempat tersebut, Zahra menemukan Cahaya tengah sibuk membeli sayuran pada seorang penjual sayur keliling. Senyum di bibirnya merekah terang.
"Ini akan lebih mudah," ucapnya sambil berjalan ke arah Cahaya dan juga beberapa orang ibu yang ikut berbelanja bersamanya.
"Hei, Cahaya. Masih bisa, ya, kamu hidup enak setelah kamu merebut suamiku?"
Gerakan tangan Cahaya terhenti. Kepalanya berpaling dan menatap Zahra dengan tatapan tak percaya. "Kak Zahra, apa yang Kakak katakan? Aku gak pernah merebut suami Kakak."
"Alah, mana ada maling yang mau ngaku," balas Zahra tak tenang. "Eh, Ibu-Ibu di sini mending hati-hati banget, ya. Dijagain suaminya jangan sampai direbut kayak suami saya."
"Oalah, pantesan, ya, Cahaya hamil. Padahal kalau dilihat-lihat, di rumah, kan, sendirian mulu. Ternyata jadi istri simpanan, toh," ucap seorang Ibu yang mulai termakan fitnah Zahra.
"Kok, jahat banget, sih, Dek? Padahal kamu masih muda, cantik. Masa kelakuannya begitu? Apa enaknya, sih, jadi istri simpanan?"
"Enggak, Bu, enggak. Sumpah demi Allah saya gak pernah merebut suami Kak Zahra."
"Dih, gak mau ngaku lagi. Berarti pas waktu itu kamu hamil, itu juga anak dari suami Mbak ini?"
"Iya, Bu. Bisa Ibu bayangkan gimana perasaan saya? Saya bahkan pernah mengorbankan nyawa saya demi menyelamatkan hidupnya Cahaya. Tapi, apa balasan yang saya terima? Dia malah merebut suami saya."
"Dasar gak tau diri. Gak tau balas budi!" umpat Ibu yang pertama kali membuka suara.
"Iya, nih. Udah ditolongin, malah ngelunjak," sahut Ibu yang satunya lagi.
"Saya pikir, Cahaya ini anak baik-baik. Ternyata gak lebih dari sekedar pelakor. Kalau begini, kita harus ekstra hati-hati, Bu. Jangan sampai suami kita juga direbut sama dia."
Air mata Cahaya menetes. Berbagai umpatan dan hinaan memaksa matanya menatap Zahra tak percaya. Cahaya tidak buta. Pada sudut bibir Zahra, dia menemukan seulas senyum kemenangan di sana.
"Mending diusir aja, deh, dia dari kompleks kita. Biar kita semua terhindar dari bala!"
Seruan itu perlahan-lahan menjadi heboh. Satu per satu pembeli di sana, mulai melempari Cahaya dengan berbagai sayuran dan juga telur ayam. Berbagai teriakan dan umpatan pun akhirnya terdengar.
Penjual sayuran sudah berusaha melerai. Namun, ia kalah jumlah.
Sementara itu, Zahra diam-diam mundur dari keramaian. Tawa senang menguar dari bibirnya. Rencananya berhasil dan berjalan seperti yang ia harapkan.
Cahaya yang menangis hanya bisa berusaha melindungi diri. Dalam hati ia berharap, semoga semuanya cepat mereda sebagaimana mestinya.
Masih sambil memejamkan mata dengan berbagai lemparan yang tertuju ke arahnya, detik itu pula Cahaya menerima perlindungan yang nyata. Tubuh ringkihnya dipeluk oleh seseorang.
"Apa-apaan ini? Kenapa kalian semua melempari istri saya, hah?" tanya Arif dengan berang. Sebenarnya Arif sudah sampai di toko. Namun, entah mengapa ia memiliki firasat buruk terhadap Cahaya.
Lantaran takut terjadi sesuatu pada Cahaya ataupun Zaif, Arif pun memutuskan untuk menemuinya secara langsung. Dan, betapa terkejutnya ia. Dari kejauhan, ia menemukan Cahaya yang tengah dilempari sayuran.
"Oh, jadi ini suaminya? Eh, Pak, kami di sini udah tau kalau Cahaya itu adalah seorang istri simpanan," ujar seorang ibu sambil berkacak pinggang.
"Iya, Pak. Istri pertama Bapak yang cerita sendiri ke kita."
"Lagian Bapak ini gimana, sih? Kok, jahat banget jadi suami? Emang Bapak gak sayang sama istri pertama Bapak?"
"Sudah-sudah. Ini masalah rumah tangga saya. Kenapa malah kalian yang repot? Mending kalian urus masalah kalian sendiri."
"Pak, kami cuma gak mau ada pelakor di antara kita semua. Bisa-bisa, suami kita bakalan direbut juga sama dia."
Kedua tangan Arif terkepal. Emosinya membuncah dikarenakan mendengar hinaan yang ditujukan untuk Cahaya.
"Pergi gak kalian semua?! Sekali lagi saya lihat kalian mengganggu istri saya, kalian semua akan saya laporin ke polisi."
Ancaman Arif membuat ibu-ibu tersebut ketakutan. Alhasil, semua pun pulang ke rumah masing-masing.
"Dagangan saya gimana, Pak? Siapa yang mau ganti rugi?" tanya pedagang sayur tersebut sembari memperhatikan dagangannya yang terbuang.
Dan, karena merasa kasihan, akhirnya Arif memutuskan untuk membayar semuanya.
"Kamu gapapa?" tanya Arif sambil memegang kedua pipi Cahaya.
"Mana mungkin aku gak kenapa-kenapa, Pak? Bapak lihat apa terjadi tadi? Kak Zahra memfitnahku, Pak. Di depan semua orang, Kak Zahra menuduh aku merebut Bapak darinya. Padahal aku sama sekali gak pernah merebut Bapak. Pernikahan ini terjadi atas dasar kecelakaan, Pak. Aku gak bersalah, Pak. Aku gak bersalah ...."
Seketika saja Arif membawa Cahaya ke dalam dekapannya. Entah mengapa, perasaannya seolah ikut terluka saat Cahaya diperlakukan dengan sangat hina.
"Zahra, kenapa kamu bisa setega itu?" tanya Arif dalam hati. Setelah dari sini, Arif berjanji akan menanyakan hal ini kepada Zahra.
"Sudah-sudah. Jangan nangis lagi. Ayo, kita masuk ke dalam."
Sambil merangkul Cahaya, Arif memperhatikan bagaimana wanita ini berjalan dengan sebuah kruk di tangan. Arif akui, Cahaya adalah wanita kuat. Cahaya masih mampu berdiri walaupun banyak cobaan yang menghampiri.
"Zaif di mana?"
"Di kamar lagi tidur."
"Kalau Mbok Tun?"
"Malam tadi pamit pulang ke kampungnya sebentar. Salah satu kerabat Mbok Tun meninggal. Katanya besok Mbok Tun bakalan balik lagi."
"Kenapa gak bilang kalau gak ada Mbok Tun di rumah? Harusnya saya bisa ke sini buat temenin kamu."
"Gak usah, Pak. Yang ada Kak Zahra bakalan tambah marah ke aku."
Arif membuang napas. Matanya terpejam beberapa saat. "Nanti kalau Zahra berulah lagi, kasih tau saya, ya? Jangan ada yang ditutup-tutupin. Soalnya saya gak mau kamu atau Zaif sampai kenapa-kenapa."
Cahaya mengangguk. Pertama kali baginya, Arif memberikan perhatian yang lebih.
"Saya mau mandi dulu. Kayaknya baju saya juga kena lemparan sayur. Kamu juga mandi setelah ini. Lihat, tuh. Bahkan kamu lebih parah dari saya. Ck, gak nyangka saya kalau ibu-ibu di sini ternyata brutal juga."
"Em, Pak," Cahaya memanggil, membuat Arif berhenti mengomel seketika, "Soal aku yang minta pisah, aku serius, Pak."
"Ck, kenapa bahas masalah itu lagi, sih? Kamu sebegitu gak tahannya jadi istri saya?"
"Lebih cepat, lebih baik, Pak. Sebelum perasaan yang lebih hadir di antara kita."
"Gak. Saya gak mau pisah. Sampai kapanpun, saya gak akan pernah lepasin kamu."
"Tapi, kenapa, Pak? Bukannya Bapak membenci aku?Bukannya Bapak gak pernah suka sama aku? Pernikahan ini menyiksaku, Pak. Tolong, bebaskan aku ...."
Lama Arif menatap Cahaya. Dia memperhatikan bagaimana keukeuhnya Cahaya meminta padanya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Arif berlalu ke dalam kamar.