Jihan Lekisha, seorang gadis cantik yang mempunyai rasa sosial tinggi terhadap anak-anak. Ia selalu membantu anak korban kekerasan dan membantu anak jalanan. Karena kesibukannya dirinya sebagai aktivis sosial , pekerja paruh waktu dan seorang mahasiswa ia tidak tahu kalau kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya. Hingga suatu hari ia melihat sang kekasih tidur dengan sahabatnya. Karena hal itu ia sampai jatuh sakit, lalu dirawat ibu bos tempatnya kerja. Tetapi ujian hidup tidak sampai disana. Siapa sangka anak bosnya maalah merusak kehormatannya dan lari dari tanggung jawab. Tidak ingin nama baik keluarganya jelek di mata tetangga, Rafan Yaslan sang kakak menggantikan adiknya menika dengan Jihan.
Mampukah Jihan bertahan dengan sikap dingin Rafan, lelaki yang menikahinya karena kesalahan adiknya?
Lalu apakah Jihan mau menerima bantuan Hary, lelaki yang menghamilinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Omahnya
Sementara Dila menelepon Rafan dan Hary meminta mereka berdua pulang. Tiba di rumah, ia menghampiri Rafan yang sedang duduk di depan rumah.
“Apa benar kamu ingin dia mengugurkan kandungannya? Apa sejahat itu . Lalu untuk apa Mas menikahinya!” Dila marah dan melemparkan kertas yang bertanda tangan.
“Aku tidak tau.”
“Pak Rafan Aslan, Pak polisi terhormat! Jelas-jelas itu tanda tangan dan persetujuan dari Anda. Walau dia bukan benih darimu tapi anak itu anak adikmu.”
“Aku bilang aku tidak tau!” Rafan balik marah. Sementara Hary hanya dudu dengan diam tidak mengatakan apa-apa.
Mendengar pertengkaran anak-anaknya kedua orang tuanya keluar dari dalam rumah. Tidak biasa mereka bertengkar. Dila wanita yang sangat baik ia tidak akan semarah itu kalau tidak ada hal yang besar.
“Ada apa? Anak siapa?” tanya Pak Wilson.
“Jelaskan sendiri sama Ayah.” suruh Dila masih dengan sikap marahnya. Bukannya menjelaskan Rafan dan Hary sama-sama diam.
“Ada apa?” sang Kakek baru tiba dari luar kota. Melihat lelaki tua itu semua orang panik dan bersikap waspada. “Anak siapa maksudnya?” tanya lelaki yang sudah beruban itu lalu duduk dan memungut kertas yang dilemparkan Dila tadi.
“Kek … begini.” Dila mencoba menenangkan situasi. Saat mereka bertiga gugup kedua orang tuanya malah terlihat bigung.
“Pesetujuan pengangkatan janin atas nama Jihan … apa ini?” lelaki tua itu menatap ketiga cucunya bergantian.
“Kek, Jihan hamil,” ujar Hary.
“Apa?” Ibu mereka yang bereaksi duluan.
“Lalu?” giliran ayah mereka yang bertanya.
“Bang Rafan setuju digugurkan dan itu kertas persetujuannya yang ditandatangani.”
“Apa … la-lau di mana Jihan?” Wilson menoleh kanan-kiri.
Lalu Kakek Ali menatap Rafan dengan tatapan kecewa. “Apa benar kamu melakukannya , Rafan? Apa karena anak itu bukan darimu?” tanya sang Kakek.
Rafan yang benar tidak tahu, terlihat bigung. “Aku memang tidak tahu, Kek.”
Kakek dan Ayah Rafan sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Rafan, 'percuma dia menikahi wanita itu tapi tidak bisa menerima anak yang dikandung istrinya' ucap Pak ali dalam hati.
“Lalu dimana Jihan sekarang?” Lelaki tua itu menatap mereka bergantian.
“Tadi diklinik saya mendengar dia menelepon kalau Neneknya sakit keras.”
“Kita berangkat besok ke kampung," usul sang kakek.
Disisi lain.
Jihan baru saja tiba di kampungnya setelah menempuh perjalan beberajam naik kreta. Beruntung hari itu ia bisa dapat jadwal kreta cepat ke kampung sang nenek. Tiba di sana ia kembali mendapat ujian berat. Nenek yang ia cintai dan merawatnya selama ini terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
“Oma … Jihan datang,” ucap Jihan memeluk tubuh neneknya dan menangis , ia meluapkan semua kegundahan hatinya diatas dada neneknya yang terbaring.
“Ji, jangan menangis. Oma sudah tua, keinginanku sudah terkabul. Melihatmu menikah dengan keluarga baik-baik hati Oma sudah tenang.”
“Oma! Oma!” Jihan tidak mampu mengatakn apa-apa, ia hanya menangis dan terus menangis diatas dada wanita tua yang sudah merawatnya.
“Aku sangat bahagia bisa melihatmu menikah itu hal luar biasa bagiku.”
“Oma harus kuat dan tinggallah lebih lama bersama Jihan, aku tidak punya siapa-siapa selain kamu Oma.”
“Kamu punya suami dan keluarganya.”
Jihan menggeleng dan menatap Omanga dengan tangisan. “Maafkan aku Oma, aku tidak bisa.”
Melihat Jihan menangis seperti itu, wanita tua itu tau kalau Jihan ada masalah. Ia mengusap ujung kepala Jihan dengan lembut. Meminta Jihan membawanya pulang ke rumah mereka. Ia ingin menghabiskan sisa waktunya dengan Jihan. Awalnya dokter menolak, tapi setelah mengetahui alasannya mereka menginjinkan ia dibawa pulang. Saat menjelang sore ia meminta Jihan membawanya ke tepi sawah di belakang rumah, kedua wanita itu duduk. Saat mencium aroma obat Jihan mual. Akhirnya Omanya tau kalau Jihan hamil.
“Ji, apa kamu tahu saat kamu pertama Oma bawa ke desa ini. Kamu sangat senang dan bisa seharian bermain di pinggir sawah,” ujar wanita tua itu mengusap-usap punggung tangan Jihan.
“Aku merasa Allah tidak adil bagiku,” ujar Jihan mengusap ujung matanya.
“Sayang, Allah tidak akan menguji hambanya melebih batas kemampuanya.”
“Aku tidak mampu Oma, aku lemah.”
“Kamu kuat.”
Wanita itu memberi banyak nasihat pada Jihan, ia juga minta maaf karena tidak bisa meninggalkan harta apa-apa untuk Jihan. Mereka kembali ke dalam rumah . Ia meminta Jihan memandikannya sampai bersih dan meminta Jihan masak makan-makanan yang paling ia suka. Saaat menjelang tidur ia meminta Jihan tidur bersamanya dan memberi banyak nasihat dan petuah-petuah untuk cucunya. Jihan tidak tega menceritakan masalahnya pada Omanya, ia tidak tega melihat wanita tua itu bersedih.
“Ji, Oma sangat sayang padamu.” Ia memeluk Jihan dan mengusap perutnya dengan lembut, ia membacakan surat Yusuf dan surat Maryam sembari mengusap-usap perut Jihan. "Jika anak laki-laki akan tampan seperti Nabi Yussuf jika perempuan akan cantik seperti Siti Maryam," ucapnya lagi, Jihan tidak mengatakan apa-apa tapi wanita tua itu langsung tau.
‘Oma, maaf,maafkan aku,” ujar Jihan berninag air mata.
“Oma, aku ingin kamu tinggal bersamaku selamanya,” ujar Jihan dengan suara bergetar. Ia melihat wajah Omanya besinar dan cantik Jihan merasa kalau omanya akan meninggalkannya selamanya. Ia terus mengajak bicara dan bercerita banyak hal, seakan-akan tidak rela kalau wanita itu tutup mata dan meninggalkannya selamanya.
“Sayang, tugas Oma sudah selesai. Sekarang giliran suamimu yang menjagamu."
"Aku tidak mau sendirian , Oma," bisik Jihan dengan suara bergetar.
"Ji, kamu tidak sendirian ada dia bersamamu. Oma lelah Oma tidur duluan ya …” ujar wanita itu pamit tidur saat ia mendengar suara adzan subuh
Jihan tidak menjawab ia bahkan tidak rela Omanya meninggalkannya. Air matanya terus mengalir sembari memeluk tubuh Omanya.
Firasat Jihan benar, saat menjelang matahari terbit wanita itu benar-benar meninggalkannya selamanya.
“Oma! Oma!” panggil Jihan menatap wajah Omanya, wajah itu benar-benar tenang dan terlihat seperti orang tidur. “Baiklah Oma, kamu pasti sudah lelah menjagaku selama ini. Pergilah … aku iklas, innalillahi wa inna ilaihi raajiun," ucap Jihan.
Ia mencium kening setelah melepaskan dan mengiklaskan sang nenek, ia melapor pada tetangga dan pemuka agama setempat. Tidak lama kemudian terdengar penguman di di masjid tak jauh dari rumah Jihan yang berbunyi.
*INNALILLAHI WAINNA ILLAIHI ROJI'UN. Telah berpulang ke rahmatullah. Orang Tua dari ….*
Mendengar pengumuman itu tiba-tiba tubuh Jihan bergetar matanya terasa gelap lagi.
‘Dia telah pergi … Aku sendirian? Oma …! Oma!’ Panggil Jihan.
Tapi ia dipaksa keadaan untuk tetap tegar, ia akan mengurus pemakaman Omanya, ia tidak punya siapa-siapa yang akan diminta tolong. Hanya ada dirinya. Setelah disholatkan lalu dibawa ke pemakaman umum. Jihan masih menahan diri tidak menangis setelah tubuh omahnya dalam tanah dan orang-orang sudah pulang.
Pada akhirnya tumpah juga, ia menangis di gundukan tanah merah tempat sang nenek di makamkan.
“Jihan, Nenek kamu sudah tenang, iklaskan saja, Nak,” seorang laki-laki berpeci putih menghampirinya.
“Iya Pak De, terimakasih.”
“Kamu harus kuat walau tanpa Nenek kamu, dia sangat sayang sama. Mari pulang,” ajak pria itu saat melihat Jihan masih duduk di gundukan tanah.
“Iya Pak De, duluan saja. Jihan masih ingin di sini sebentar lagi.”
"Baiklah." Pria paru baya itu meninggalkan Jihan duduk sendirian di sana.
Tadi malam ia masih memeluk dan bercerita banyak hal dengan Neneknya tapi pagi ini, mereka sudah berbeda alam. Jihan hanya bisa bicara tanpa bisa menyentuhnya. Hidup itu begitu singkat.
“Oma beristirahatlah dengan tenang. Maaf belum bisa membalas kebaikanmu,” bisik Jihan
Bersambung
Berikan like, komen dan hadia juga ya.
tapi kenapa mereka semua gk mengizinkan jihan & hary hidup bersama.
dan jelas hary itu ayah kandung aqila.
kalo emg takdir nya sama hary,jngn muter² lg dech crita nya.