Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Setelah sempat berdebat dengan Naira, Quin menggerutu kesal. Ia pun membereskan peralatan kerjanya kemudian kembali ke kamar.
Sejenak ia berpikir untuk mencari angin segar sekaligus membeli jajanan kaki lima. Awalnya gadis itu ingin mengajak Damar. Namun, mengurungkan niatnya. Pikirnya, mana mungkin pria brewok itu satu selera dengannya.
"Sebaiknya meminta izin darinya," gumam Quin.
Karena sudah malas mengganti piyama, Quin menutupinya dengan jaket.
"Ke mana si Mr. brewok itu," gumam Quin lagi sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Damar.
Setelah mendapati sosok yang dicarinya sedang menjalani terapi bersama Naira, Quin langsung menyapa.
"Damar, Naira, maaf, apa aku mengganggu?"
Damar dan Naira sama-sama mengarahkan pandangan ke arah Quin. "Nggak, ada apa, Quin?"
"Mr. Brewok, aku izin keluar sebentar, ya," izin Quin penuh harap. Akan tetapi tak ada jawaban dari Damar sehingga membuat sang asisten mende*sah kecewa.
"I'ts oke jika kamu nggak mengizinkan. Aku kembali ke kamar saja," cetus Quin seraya berlalu meninggalkan tempat itu.
Sesaat setelah masuk ke kamar, Quin melepas jaket lalu melemparnya ke atas ranjang. Setelah itu, ia memilih turun ke lantai satu lalu menuju dapur. Kebetulan di tempat itu, ada Bik Yuni yang sedang menata makanan.
"Bik, apa di sini ada mie instan?" tanya Quin.
"Nggak ada! Lagian Den Damar tidak menyukai makanan seperti itu!" jawab Bik Yuni dengan ketus.
Quin mencebikkan bibir merasa geram 'Nyebelin banget! Ditanya baik-baik malah jawabnya ketus, dasar nenek peyot!'
Ia membuka kulkas. Mengambil air putih kemudian meneguknya. Setelah itu, Quin berlalu meninggalkan tempat itu. Memesan makanan kemudian menuju ke kolam renang.
Beberapa menit kemudian Damar bersama Naira menghampiri Bik Yuni yang masih berada di dapur.
Wanita paruh baya itu tersenyum memandangi Damar yang kini menggunakan kruk sebagai alat bantu jalan. Pikirnya, ide itu pasti dari Naira.
"Bik, apa Bibik melihat Quin?" tanya Damar.
"Sepertinya dia ke kolam renang," jawab Bik Yuni.
Damar perlahan memutar badan. Meski Naira ingin membantu, ia tetap menolak. Dengan susah payah pria brewok itu berusaha sampai ke area kolam renang.
Begitu ia berhasil sampai di area itu, Damar menarik nafas dalam-dalam. "Quin," tegurnya.
Quin menoleh. Dengan cepat ia beranjak lalu menghampiri Damar. Menyeka keringat pria brewok itu lalu tertawa.
"Oh My God, kamu seperti habis berlari ribuan kilometer saja," kelakar Quin. "Nah, begini lebih bagus. Sudah selesai terapinya?"
"Ya."
"Good job! Besok sebelum ke kantor kamu harus terapi lagi. Jika kamu rajin terapi juga berlatih menggunakan kruk ini, aku yakin kamu akan segera pulih," tutur Quin.
"Aku juga berharap seperti itu," timpal Damar. Sejenak ia menatap lekat wajah Quin. "Quin ayo kita masuk ke dalam. Kita makan malam bersama."
"Kamu saja lagian aku nggak berselera. Aku sudah memesan makanan dari luar. Mungkin sebentar lagi akan diantar."
Damar bergeming sekaligus merasa bersalah. Pikirnya apakah ia egois karena tak mengizinkan asisten pribadinya itu keluar?
"Ya sudah, aku ke dalam dulu, ya. Beneran nggak mau dinner bareng aku?" kelakar Damar lalu tertawa.
"Ck, kamu ini. Aku akan dinner denganmu tapi setelah kamu sembuh. Aku ingin dinner romantis diiringi musik kemudian kita berdansa, hahaha." Quin langsung tertawa nyaring seusai bertutur karena merasa narsis.
"Really?" Senyum seketika terukir manis di wajah Damar.
"No, lupakan, aku hanya bercanda," balas Quin.
'Akan aku kabulkan, segera setelah kakiku pulih total,' batin Damar seraya berlalu meninggalkan Quin.
Sepeninggal Damar, Quin kembali ke kursi santai. Berbaring menatap langit lalu meletakkan satu tangannya di kening. Sedangkan ponselnya ia letakkan di dada.
Sejenak sang designer memejamkan mata merasakan hembusan angin sepoi-sepoi. Sehingga beberapa detik kemudian ia malah tertidur.
Tiga puluh menit berlalu ....
Makanan pesanannya sejak tadi telah diantar oleh bang kurir bahkan sudah dibayar oleh Damar.
Karena tak kunjung masuk ke dalam rumah, Naira yang merasa geram mendatanginya. Ia langsung menoyor kepala Quin dengan kasar.
Perbuatan tak terpuji sang perawat sontak membuat Quin terkejut. Sehingga ponsel gadis itu terjatuh ke lantai.
"Damn! What the hell!" bentak Quin seraya berdiri. Menatap tajam ke arah Naira. "Seperti inikah etikamu sebagai seorang perawat? Sungguh sangat memalukan!"
Bentakkan dari Quin barusan, seketika membuat nyali Naira menciut. Ia bergeming dengan wajah tertunduk.
Sedangkan Quin, berlalu begitu saja meninggalkan gadis itu dengan perasaan dongkol.
"Quin," tegur Damar sesaat ketika asisten pribadinya itu akan menapaki anak tangga. "Orderanmu sudah aku bayar. Makanannya ada di atas meja."
Quin berbalik kemudian menghampiri Damar. "Terima kasih. Tapi, aku sudah nggak berselera," kata Quin. Sedetik kemudian, ia kembali mengayunkan langkah sekaligus meninggalkan Damar di ruang tamu.
"Damn! Harusnya aku menamparnya tadi!"umpat Quin sesaat setelah berada di dalam kamar.
.
.
.
Keesokan harinya ....
"Good morning Mr. Brewok," ucap Quin sesaat setelah membuka pintu disertai senyum manis.
Gadis cantik nan manis itu seakan lupa akan kejadian semalam yang sempat membuatnya kesal.
"Morning too, Quin," balas Damar lalu mengambil kruknya di samping ranjang. Quin, maafkan tentang semalam karena tak mengizinkanmu keluar."
"Nggak apa-apa."
"Mendekatlah," pinta Damar dan Quin hanya menurut. Karena tak bisa lagi menahan keinginannya, ia langsung memeluk Quin.
Alhasil, Quin yang belum siap, tak bisa menahan tubuh besar Damar sehingga membuat keduanya ambruk ke atas ranjang.
"Damar." Quin tertawa nyaring. "Mr. Brewok, kamu berat banget. Tulangku bisa remuk jika kamu terus berada di atas tubuhku," bisik Quin.
"Maaf." Damar malah menatap wajah Quin.
Baru saja Quin ingin merubah posisi Damar ke samping, Keduanya sama-sama terkejut takala mendengar suara seorang wanita menegur dengan nada tinggi.
"Damar!! Sedang apa kalian, hah!!"
...----------------...