Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Kedua
Suara nyanyian anak-anak yang ramai dan semarak membuat seorang gadis cantik dengan rambut ekor kudanya yang lembut melambai diterpa angin ikut terbawa suasana. Beberapa kali tawa gembira lolos dari bibir tipisnya bersamaan dengan anak-anak yang bergelayut manja dikedua tangannya. Berulang kali pula mereka mengulang lirik yang sama seraya melakukan permainan ringan.
"Nah anak-anak...kita istirahat dulu ya, rapikan dulu baju kalian, kita cuci tangan lalu masuk ke kelas dengan tertib ya." perintah gadis cantik yang ternyata adalah ibu guru mereka.
" Baik bu Mitha." jawab mereka serentak lalu bergegas melakukan apa yang dikatakan sang guru dengan wajah ceria dan celotehan lucu secara bersahutan. Seorang guru senior membimbing mereka kembali belajar membaca. Selepasnya, Mitha keluar dan menuju kelas satunya. TK nol kecil.
Sekolah itu memang hanya punya empat ruangan sama besar. Dua untuk ruang belajar mengajar, satu ruang bermain indoor dan satu lagi adalah ruang guru. Selebihnya hanya toilet dan halaman bermain yang dilindungi pagar tinggi untuk menjaga keselamatan anak. Mitha juga hanya mengajar tiga kali saja selama seminggu karena waktu kuliahnya berbenturan dengan jam mengajar.
Jika tadi Mitha sibuk dengan siswa TK nol besar yang sangat bersahabat dan ramah padanya, kali ini dia akan membantu rekannya mengajar TK nol kecil yang muridnya lumayan banyak dan masih perlu bimbingan ekstra untuk beradaptasi dengan sekolah baru. Tak ayal kebanyakan dari mereka yang pasif dan pemalu akan sangat merepotkan. Saat inilah peran guru diperlukan.
Mitha mengucapkan salam dan dijawab malu-malu oleh anak-anak itu. Dua buah lingkaran sudah dibentuk untuk memudahkan guru mengajar. Seorang wanita seumuran Mitha tampak sibuk mengajari para siswa satu persatu. Senyum merekah dari bibirnya kala melihat kedatangan Mitha.
"Gimana Ge?" bisik Mitha pada sang guru muda yang ternyata Gea. Rekan kerjanya di toko roti. Gadis manis itu mengacungkan jempolnya tanda semua baik-baik saja dan memberi isyarat pada Mitha untuk mengajar dilingkaran satunya.
Sudah enam bulan Mitha bergabung dengan Gea dan bu Asri, ibunya yang kebetulan adalah guru tetap di TK Pelangi bunda atas tawaran Gea. TK mereka memang membutuhkan guru tambahan seiring bertambahnya minat siswa untuk belajar disana. Awalnya Gea ragu karena tau latar belakang Mitha yang anak orang kaya. Tapi melihat kepribadian dan sikap rendah hati Mitha, dia tidak lagi ragu untuk menawarkan pekerjaan menjadi guru TK yang gajinya memang tidak seberapa.
"Mith, kamu kost ya?" tanya Gea berbisik saat mereka duduk berdekatan sambil terus membimbing anak asuhnya yang kadang rewel atau bingung.
"Zahra yang bilang?" tanya balik Mitha.
"Aku yang maksa dia sih." sahut Gea tak enak hati. Sebenarnya bukan haknya juga mencampuri urusan keluarga sahabatnya itu.
"Iya. Lagi ada masalah." balas Mitha pendek.
"hmmm...maaf ya." kali ini Gea makin tidak enak hati saja.
"Tak apa. Nanti saja ceritanya. Atau..mau main ke kostku dan Zahra? Kamar kami sebelahan."
"Boleh nih?"
"Ya bolehlah."
"Ntar malem aja, pas kita pulang dari toko. Pas si zahra dirumahkan?"
"Iya. Dia dapat shift pagi hari ini."
Hari itu berlalu dengan ceria hingga waktu pulang sekolah tiba. Mitha dan Gea segera bangkit dan memimpin doa, tak lupa menyalami anak-anak yang berbaris rapi dan keluar satu persatu dari sana.
"Lho Mith, itu Kiara kok belum dijemput ya?" Gea menunjuk anak manis berkulit putih dengan poni cantiknya yang masih duduk dibawah pohon, menunggu jemputannya.
"Biasanya siapa yang jemput?" tanya Mitha sambil melongok ke pagar. Tak ada siapapun.
"Kurang tau juga. Biasanya dia sudah dijemput sebelum kita pulangkan."
"Ya udah, kita kesana. Kasihan kalau ada apa-apa." Mitha melangkah lebih dulu menyusuri lapangan bermain diikuti Gea dibelakangnya. Sekolah memang belum sepenuhnya sepi karena TK besar masih diajar tambahan untuk satu jam kedepan. Otomatis bu Asrilah yang masih aktif di dalam kelas.
"Kiara belum dijemput ya? Tanya Mitha ramah sambil membelai pucuk kepalanya lembut. Gadis kecil itu menggeleng. Terlihat sekali dia merasa tidak nyaman. Mitha segera duduk dan mengajaknya ngobrol. Sedang Gea kembali ke kelas untuk merapikannya sebelum pulang.
" Yang jemput Kiara siapa sih?"
"Biasanya bibi yang jemput bu guru."
"Panggil bu Mitha saja ya.." usul Mitha disambut anggukan sikecil Kiara.
"Bibi itu....tantenya Kia?"
"Bukan. Bibi pengasuh Kia."
"Owhh...Mamanya Kia kerja?"
"Iya."
"Kia punya nomer ponselnya mama? biar Nanti bu Mitha hubungin mama agar menjemput Kia disekolah. Mungkin bibiknya lupa." dan secepat kilat bocah cilik yang manis itu membuka tasnya, meraih kartu nama sang mama dan menyerahkannya pada Mitha.
Belum sempat melakukan apapun, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan pagar sekolah. Mitha dan Kiara melongokkan kepalanya ingin tau saat dua orang turun bersamaan dari pintu yang berbeda dan berjalan menuju pada mereka.
Hampir saja jantung Mitha berhenti berdetak saat melihat siapa yang datang. Pria tampan lengkap dengan kaca mata hitamnya yang membuat dia menjadi sangat mempesona dan seorang wanita cantik bak seorang model dengan setelan kerja yang mewah. Elang dan Sindy.
"Selamat siang bu guru..ehh...ini bukannya...." Sindy menggantung kalimatnya, mencoba mencerna apa yang ada di depannya.
"Saya Mitha yang kemarin kak." kata Mitha kemudian seraya mengulurkan tangannya, bersalaman.
"Wow...dunia ini sempit ya, kita selalu bertemu. Jadi bu Mitha ini gurunya Kia?" tanya Sindy ramah. Mitha hanya mengangguk sopan, berusaha menghindari menatap pada Elang yang tentu saja akan melakukan hal yang sama dengannya. Elang sangat membencinya.
"Sore jadi kurir, pagi ngajar TK. Seperti gadis labil yang nggak punya keahlian." sindir Elang yang berusaha tak ditanggapi oleh Mitha dengan memilih diam.
"Jangan begitu Lang." sanggah Sindy tak enak hati. Dua kali ini dia melihat Elang bicara sadis pada adiknya itu.
"Bu guru baik kok om, tadi nemenin Mitha nungguin mama sama om datang." bela si kecil Kiara. Mendengarnya, Elang tersenyum dan mengangkat tubuh mungilnya dalam gendongan hangatnya.
"Oh ya? Baikan mana om sama bu guru?" tanyanya hangat. Kiara tertawa senang dan memeluk leher Elang erat. Interaksi yang indah, seolah mereka memang ayah dan anak dari keluarga bahagia. Tiba-tiba ada yang berdenyut nyeri di dada Mitha. Entah apa sebabnya.
"Yank, ayo!" katanya ringan sambil meraih jemari Sindy dan mengajaknya pergi.
"Ehmm...bu Mitha, terimakasih sudah menjaga Kia. Kami pamit dulu." katanya sambil melambaikan tangannya yang sama sekali tak dibalas oleh Mitha. Gadis cantik itu memilih segera membalikkan tubuhnya dan masuk ke kelasnya. Pertemuan kedua yang sakitnya kembali terasa.