Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma Masa Lalu
Dinda berusaha melepaskan pelukan Dio, yang masih berada di bawah pengaruh minuman keras itu, yang tiba-tiba menyergapnya.
"Lepaskan!"
Namun Dio terus memeluk dengan erat, bahkan dengan cepat mengecupi bibir Dinda dengan kedua tangannya yang memegangi kepala Dinda, hingga Dinda nyaris kehilangan nafasnya.
Dengan sekuat tenaga Dinda mendorong tubuh Dio ke belakang, hingga laki-laki itu jatuh terlentang di atas tempat tidurnya.
Mulutnya meracau dengan kata-kata yang tidak jelas, sementara matanya setengah terbuka dan berwarna merah.
Dio benar-benar tidak sadar, dengan apa yang barusan dilakukannya terhadap Dinda.
"Kurang ajar kau singa brengsek! Kau sudah berani melecehkan aku! Aku ini guru! Di hormati dan di tiru! Bukan dilecehkan seperti itu!" sengit Dinda.
"Berapa harga kehormatanmu bu guru?!" tanya Dio setengah meracau, antara sadar dan tidak sadar dengan apa yang diucapkannya itu.
Plaak!!
Dinda langsung menampar pipi Dio dengan keras, sehingga laki-laki itu langsung tersadar, kemudian duduk di atas tempat tidurnya.
"Hei? Kau berani menamparku?!" tanya Dio yang kini berangsur-angsur mulai kembali sadar.
Dinda menangis, air matanya mengalir begitu saja dari pelupuk matanya.
Dengan nafas yang terengah-engah, Dinda mengusap kasar wajahnya yang basah, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi selain merutuki laki-laki itu, dan nasibnya yang merasa dilecehkan.
Dinda terus menangis, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berlari menuju ke kamar tamu tempatnya bermalam.
Dinda langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur besar itu sambil menangis, dengan wajah yang ditutupi oleh bantal.
Dinda sadar apa yang dilakukan Dio tidak sepenuhnya adalah kesalahannya, karena dia sedang mabuk, tapi Dinda merasa malu merasa rendah, merasa sangat dilecehkan, sehingga ada goresan luka di dalam hatinya.
Apalagi saat Dio menanyakan Berapa harga kehormatannya, Dinda merasa sangat sakit hati.
Seolah-olah Dio menganggap kalau Dinda adalah wanita murahan, yang kapanpun bisa memberikan kepuasan. Tiba-tiba Dinda jadi sangat membenci Dio.
Dio memang tidak melakukan apapun terhadap Dinda, selain memeluknya dan mengecupnya secara tiba-tiba.
Tapi entah kenapa, perasaan Dinda begitu bergejolak.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, kalau Dinda ingin pergi dari rumah itu, tidak mungkin juga, karena hari sudah malam, Dinda harus bertahan, setidaknya sampai besok pagi dia baru akan pulang ketempat kosannya.
****
Pagi itu Dinda bangun dari tidurnya, Dia kemudian langsung membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam kopernya, koper yang seharusnya dia bawa untuk pulang ke Bandung, namun hanya karena demi seorang murid, akhirnya dia berlabuh di sini, di rumah ini.
Setelah selesai membereskan pakaiannya, Dinda kemudian keluar dari kamar itu, dengan membawa kopernya, berniat akan pulang kembali ke tempat kosnya.
"Lho, Bu Dinda mau kemana pagi-pagi? Tadi saat saya ke kamar Non Chika, dia menanyakan Bu Dinda, katanya hari ini mau ajak Bu Dinda berenang di kolam renangnya!" kata Mbak Yuyun.
"Maaf Mbak, sepertinya aku harus pulang sekarang!" sahut Dinda.
"Cepat sekali Bu, ini saya buat sarapan banyak lho, Bu Dinda harus sarapan dulu!" tukas Mbak Yuyun.
"Aku harus pulang sekarang Mbak, aku juga punya urusan pribadi, trimakasih atas semuanya, selamat pagi!" Dinda lalu melangkah menuju ke arah pintu depan.
"Bu Dinda!"
Tiba-tiba Chika memanggilnya dari belakang, Dinda menghentikan langkahnya, namun pandangannya masih lurus ke depan.
Gadis kecil itu berlari dan langsung memeluk Dinda dari belakang.
"Bu Dinda mau kemana? Kenapa pergi meninggalkan aku? Aku sudah sembuh dan hari ini aku mau bermain bersama Bu Dinda!" ucap Chika.
Dinda terdiam mendengar ucapan Chika, dia tidak tau harus menjawab apa. Sebenarnya Dinda kasihan pada Chika, namun lagi-lagi dia teringat kejadian semalam.
"Bu Dinda harus pulang Chika, bukankah Chika sudah sembuh?" jawab Dinda.
"Kenapa Bu Dinda pulang buru-buru?" tanya Chika.
Kemudian Dinda membalikkan tubuhnya dan memegang kedua bahu Chika dengan kedua tangannya.
"Bu Dinda kangen sama Ibunya Bu Dinda, Bu Dinda ingin pulang ke Bandung!" jawab Dinda asal, berharap Chika akan mengerti.
Sesaat lamanya mereka saling diam, Chika nampak sedang berpikir sesuatu.
"Mbak Yuyun!! Bereskan pakaianku dan taruh di tas! Aku mau ikut Bu Dinda pulang ke Bandung!" teriak Chika tiba-tiba.
Dinda terkejut mendengar Chika berteriak seperti itu, Mbak Yuyun juga nampak keheranan sambil berjalan mendekati Chika.
"Eh, Non Chika mana boleh ikut Bu Dinda ke Bandung? Nanti Papa marah lho!" kata Mbak Yuyun.
"Biarin!" cetus Chika.
Dinda mulai bingung bagaimana cara membujuk Chika.
Tiba-tiba dari arah tangga, muncul Dio sudah dengan pakaian rapi.
"Siapkan pakaian Chika Mbak! Aku mengijinkan dia ikut ke Bandung!" kata Dio.
"Yeeeaaaay!!" sorak Chika senang.
Dengan cepat Mbak Yuyun naik ke atas menuju ke kamar Chika, untuk menyiapkan pakaian Chika.
Dinda semakin bingung, padahal dia tidak bersungguh-sungguh akan pulang ke Bandung, dia hanya berusaha untuk keluar dari rumah ini dan menghindari Dio.
Namun kenapa Dio malah mengijinkan Chika ikut bersamanya.
Dengan semangat Chika berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Dio melangkah mendekati Dinda, Dinda mundur perlahan sambil menunduk, tidak berani menatap ke arah Dio.
"Maafkan aku Bu Dinda!" ucap Dio melembut.
Dinda diam saja tidak menjawab ucapan Dio, dia takut melihat tatapan Dio yang tajam bagai silet, yang sanggup mengoyakan seluruh hati Dinda.
"Sebaiknya Pak Dio melarang Chika ikut dengan saya, ajaklah dia jalan-jalan, Chika hanya butuh refreshing!" ujar Dinda yang masih menundukan wajahnya.
"Tidak, aku sungguh sangat menyesal dengan kejadian semalam itu, aku tidak bermaksud..."
"Cukup! Jangan di teruskan lagi pak! Lupakan kejadian buruk itu!" sergah Dinda sambil menggelengkan kepalanya.
"Ok Oke ... maafkan aku! Sebagai permohonan maaf ku, aku akan mengantarmu pulang ke Bandung, bersama Chika!" ucap Dio.
Dinda tidak langsung menjawab, sesungguhnya dia masih takut dan trauma atas apa yang semalam di alaminya, sampai detik ini pun, Dinda masih merasa takut.
"Kau jangan khawatir Bu Dinda, aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, bagiku Cinta itu hanya ada di negri dongeng, tidak ada yang namanya cinta sejati, semuanya palsu, penuh dengan kepahitan!" lanjut Dio.
Dinda perlahan mulai mengangkat wajahnya, laki-laki di depannya itu seperti menyimpan kepahitan dan trauma masa lalu yang begitu dalam.
Sangat tidak kontras, Dio tidak percaya cinta, namun dia punya hasrat, buktinya dia bisa memeluk dan mengecupi Dinda dengan begitu sempurna, walau sedang berada di bawah pengaruh minuman keras.
Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya, tatkala teringat kejadian semalam itu.
"Aku sudah siap!!" seru Chika tiba-tiba dari arah tangga atas, sambil menenteng koper mininya.
Bersambung....
****