Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: Jejak Darah di Ambang Pintu
Udara dingin menusuk tulang, lebih dingin dari hembusan angin hujan yang menusuk kulit. Bukan, ini bukan dinginnya alam. Ini dinginnya teror yang merayap dari dalam rumah tua, menyelinap ke pori-pori Risa, membekukan setiap selnya.
Gantungan kunci Kevin yang berlumuran darah itu terasa seperti sebongkah es di tangannya. Bau anyir, bau busuk, jejak kaki berlumpur dan berdarah yang mengarah ke dalam. Semuanya berteriak, memperingatkan, tapi Risa tak punya pilihan. Kevin ada di dalam. Sendirian. Atau mungkin, tidak sendirian.
“Kevin…” Gumamnya lagi, lebih seperti mantra ketimbang panggilan. Ia mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya yang terserak. Jantungnya berdetak seperti genderang perang, menabuh irama horor di telinganya. Dengan satu tarikan napas panjang, Risa melangkah melewati ambang pintu, mengikuti jejak kengerian itu masuk ke dalam rumah.
Kegelapan menyambutnya. Listrik mati, mungkin karena badai. Hanya kilat sesekali yang menyambar di luar, menerangi sekilas ruang tamu yang luas dan kosong. Cermin besar di dinding memantulkan bayangan Risa yang gemetar, siluet tipis yang terdistorsi oleh kilatan cahaya. Ia melihat pantulan dirinya, dan untuk sesaat, ia bersumpah melihat pantulan lain di sampingnya. Sosok samar, berambut panjang, menatapnya dari balik cermin dengan mata kosong. Risa mengedipkan mata, dan sosok itu hilang. Hanya pantulan dirinya yang ketakutan.
“Risa? Kamu di mana?”
Suara itu! Suara Bibi Lastri! Risa tersentak. Suara itu datang dari arah dapur, dari bagian belakang rumah. Ia segera merunduk, bersembunyi di balik sofa tua yang berdebu. Napasnya tertahan. Kenapa Bibi Lastri ada di dalam? Kenapa dia tidak keluar mencari Risa? Kenapa dia terdengar… tenang? Atau justru pura-pura tenang?
Langkah kaki Bibi Lastri terdengar mendekat, perlahan, menyeret. Risa menahan napas, berharap kegelapan bisa menyembunyikannya. Ia bisa merasakan tatapan mata Bibi Lastri menyisir setiap sudut ruangan, mencari. Jantung Risa berpacu lebih kencang. Jika Bibi Lastri melihatnya, apa yang akan terjadi?
“Risa? Itu kamu, Nak? Kok gelap begini? Kevin mana?” Suara Bibi Lastri kini terdengar lebih dekat, di ambang pintu ruang tamu. Risa bisa merasakan hawa dingin yang menguar darinya. Bukan dinginnya udara, tapi dinginnya niat yang tersembunyi. Ia bisa mencium aroma melati yang selalu Bibi Lastri pakai, bercampur samar dengan bau tanah dan… bau anyir yang samar.
Risa hampir berteriak. Bau anyir itu! Apa Bibi Lastri juga menciumnya? Atau, justru dia adalah sumbernya? Kakinya gemetar, hampir tak sanggup menopang berat badannya. Ia harus tetap bersembunyi. Ia tidak boleh ketahuan. Belum. Tidak sebelum ia tahu apa yang terjadi pada Kevin.
Langkah kaki itu menjauh. Risa menunggu beberapa detik, memastikan. Lalu, perlahan ia bangkit. Matanya menyapu lantai. Jejak kaki berlumpur bercampur darah itu… masih ada. Dan kini, ada jejak lain. Lebih kecil, lebih rapi. Jejak sepatu wanita. Jejak itu juga mengarah ke dalam, menuju dapur. Dan jejak itu tidak berhenti di ambang pintu, tapi terus masuk ke dalam, seolah pemiliknya sudah lama berada di sana.
Bibi Lastri sudah ada di dalam. Sebelum Risa masuk. Sebelum semua ini terjadi.
Sebuah firasat buruk menjalari Risa. Kepala Risa pening. Firasat itu semakin kuat, menggigitnya, memaksanya untuk percaya bahwa Bibi Lastri lebih dari sekadar walinya yang peduli. Gadis itu menyorotkan senter ponselnya ke arah jejak kaki. Jejak Bibi Lastri berhenti di tengah ruang tamu, berputar, seolah melihat ke luar. Lalu, jejak itu kembali ke arah dapur. Tidak ada jejak yang mengarah keluar dari rumah ini, hanya masuk ke dalam. Kevin tidak keluar. Bibi Lastri juga tidak.
Risa harus menemukan Kevin. Dengan hati-hati, ia mengikuti jejak kaki Bibi Lastri dan jejak kaki berlumpur Kevin. Lorong gelap terasa begitu panjang, dihiasi bayangan-bayangan menakutkan yang menari-nari setiap kali kilat menyambar. Aroma anyir semakin pekat. Risa nyaris muntah. Ia mencengkeram erat kalung liontin kunci kecil di lehernya. Hangat. Memberinya sedikit kekuatan.
Di ujung lorong, ada cahaya redup dari dapur. Lilin? Bibi Lastri menyalakan lilin. Risa mengintip dari balik kusen pintu. Bibi Lastri membelakanginya, sedang membungkuk di dekat meja dapur. Tangan kanannya, yang selalu ia tutupi dengan sarung tangan atau lengan panjang, kini terlihat samar di bawah cahaya lilin. Ada bekas luka bakar samar di sana, seperti yang pernah Risa lihat sekilas dulu. Dan di tangan itu, dia memegang sesuatu. Sesuatu yang berkilat.
Risa mendekat, langkahnya seperti bisikan angin. Ia bersembunyi di balik tirai dapur, jantungnya berpacu gila-gilaan. Apa yang Bibi Lastri lakukan? Ia mengintip lagi. Wanita itu sedang mengelap sesuatu. Sebilah pisau dapur panjang, berkilat mengerikan di bawah cahaya lilin. Bukan hanya kilat pisau yang membuatnya ngeri, tapi juga noda merah gelap di bilahnya. Darah.
Napas Risa tercekat. Darah Kevin. Bibi Lastri yang melakukannya. Pikiran itu menghantamnya seperti palu godam. Bibir Risa gemetar, menahan teriakan yang ingin meledak. Bibi Lastri... dia membunuh ibunya. Dan sekarang... Kevin? Tidak. Tidak mungkin. Bibi Lastri tidak mungkin sekejam itu.
“Kevin? Kamu di mana, Kevin?” Suara Bibi Lastri tiba-tiba terdengar, parau, dan ada nada aneh di dalamnya. Nada khawatir yang terdengar... palsu. Ia meletakkan pisau itu ke dalam wastafel, lalu menghela napas panjang. Ia mengambil kain lap, mengelap tangannya, lalu menyalakan satu lilin lagi. Lilin itu ia letakkan di meja makan.
Kemudian, Bibi Lastri berbalik. Risa langsung menunduk, jantungnya hampir copot. Wanita itu tidak melihatnya. Bibi Lastri berjalan melewati Risa, menuju pintu belakang dapur yang terbuka sedikit. Dari sana, Risa bisa mendengar suara hujan yang masih deras. Aroma busuk itu berasal dari sana. Dari luar, tapi juga dari dalam. Dari tempat jejak kaki berlumpur Kevin mengarah.
Bibi Lastri melangkah keluar, menghilang ke dalam kegelapan dan hujan. Risa menunggu beberapa saat. Lalu, ia merangkak keluar dari persembunyiannya. Matanya tertuju pada pisau di wastafel. Ia harus memeriksanya. Tapi, Kevin. Kevin lebih penting.
Ia bergegas ke pintu belakang dapur. Hujan menyambutnya dengan dingin. Ia bisa melihat bayangan Bibi Lastri samar-samar di kejauhan, di balik semak-semak, memanggil-manggil nama Kevin. Akting? Atau… mencari sesuatu?
Risa menyorotkan senter ponselnya ke tanah. Di dekat pintu belakang, ada genangan air hujan bercampur lumpur. Dan di sana, ia melihatnya lagi. Jejak kaki berlumpur bercampur darah yang sama. Jejak kaki Kevin. Jejak itu tidak mengarah ke luar, ke hutan, melainkan membelok tajam ke samping, menuju gudang tua yang terpisah dari rumah utama. Gudang yang selalu terkunci.
Gudang itu… Risa belum pernah masuk ke dalamnya sejak ia kembali. Gudang itu selalu terasa memiliki aura aneh. Suram. Penuh rahasia. Ia mengingat ucapan ibunya dulu, “Jangan pernah masuk ke gudang itu, Risa. Ada hal-hal buruk di dalamnya.”
Risa ragu. Namun, suara Bibi Lastri yang semakin menjauh di tengah hujan memberinya sedikit waktu. Kevin ada di dalam gudang itu. Ia yakin. Ia harus pergi ke sana. Apa pun yang menunggunya di dalam.
Dengan tekad yang membara, Risa melangkah ke dalam hujan, mengikuti jejak kaki Kevin menuju gudang tua. Pintu gudang itu sedikit terbuka. Hawa dingin dan bau busuk yang memualkan langsung menyeruak. Risa menyorotkan senternya ke dalam. Gelap pekat. Hanya siluet-siluet benda usang yang terlihat samar. Dan di lantai, di tengah kegelapan, ada bayangan. Bayangan yang lebih besar dari tumpukan barang-barang rusak. Bayangan seseorang yang tergeletak.
“Kevin!” Bisik Risa, suaranya tercekat. Ia melangkah masuk, jantungnya berdebar kencang, menembus bau busuk yang menyesakkan. Saat ia semakin dekat, kilat menyambar, menerangi gudang itu sekilas. Dan Risa melihatnya. Sesosok tubuh tergeletak di lantai, wajahnya pucat pasi, dan ada noda darah yang mengering di keningnya. Bukan Kevin. Bukan!
Itu… itu adalah sosok yang sangat Risa kenal dari foto-foto lama. Sosok yang seharusnya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Sosok ibunya! Tergeletak di sana, dengan mata terbuka lebar, menatap kosong ke arahnya. Di samping ibunya, tergeletak juga sebuah liontin kunci kecil, sama persis dengan yang Risa kenakan. Dan di balik tubuh ibunya, ada Kevin, terikat, mulutnya dibungkam, matanya membelalak ketakutan, berusaha berteriak, menunjuk ke arah sudut gelap gudang.
Risa ingin menjerit, tapi tak ada suara yang keluar. Seluruh tubuhnya membeku. Mata ibunya. Liontin itu. Dan Kevin! Siapa yang melakukan ini? Siapa yang meletakkan tubuh ibunya di sini? Dan kenapa… kenapa Kevin menunjuk ke sana? Ke sudut gelap itu? Perasaan tidak enak menyeruak lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
Tiba-tiba, dari sudut gelap yang ditunjuk Kevin, muncul sesosok bayangan. Tinggi, kurus, dengan mata merah menyala yang menatap tajam ke arah Risa. Sosok itu tidak asing. Itu adalah sosok bermata merah yang sering menghantuinya. Yang muncul di cermin. Yang berbisik padanya. Dan kini, sosok itu melangkah maju, perlahan, sambil mengangkat tangan. Di tangannya, berkilat sebuah pisau. Pisau yang sama dengan yang dilihat Risa di dapur. Berlumuran darah.
Risa mundur, kakinya lemas. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan air hujan di wajahnya. Ini jebakan. Ini bukan Kevin yang diserang, ini… dia yang sedang dijebak. Sosok itu mendekat, seringai mengerikan terukir di wajahnya yang pucat. Dan di balik sosok itu, di kegelapan, Risa melihat sebuah bayangan lain. Lebih kecil. Tapi matanya juga merah menyala. Itu bukan manusia.
Di saat yang bersamaan, suara langkah kaki terdengar di luar gudang. Bibi Lastri! Dia kembali. Risa terjebak. Antara sosok bermata merah, entitas lain di belakangnya, dan Bibi Lastri yang mungkin tahu segalanya. Ketakutan itu melumpuhkannya. Ia hanya bisa menatap sosok bermata merah itu, yang kini semakin mendekat, siap untuk menyerangnya.
“Tidak!” Teriak Risa, akhirnya menemukan suaranya. Tapi suaranya tenggelam oleh suara guntur yang memekakkan telinga. Sosok bermata merah itu mengangkat pisaunya. Risa memejamkan mata, menunggu rasa sakit.
Namun, bukan rasa sakit yang datang. Melainkan sebuah sentuhan dingin di lehernya. Lalu, semuanya gelap. Ia tidak tahu berapa lama ia pingsan, tapi saat ia sadar, ia berada di kamar Bibi Lastri. Terbaring di kasur yang empuk. Cahaya lilin menerangi ruangan. Dan Bibi Lastri, dengan wajah khawatir yang berlebihan, sedang mengompres keningnya.
“Risa? Sayang, kamu sudah sadar?” Bibi Lastri memegang tangannya, mengelusnya. “Syukurlah. Kamu pingsan di depan gudang. Untung Bibi dengar suaramu. Kevin juga pingsan di dekatmu. Bibi sudah bawa dia ke kamarnya.”
Risa menatap Bibi Lastri. Ada yang aneh. Bibi Lastri tampak terlalu… normal. Terlalu peduli. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Tubuh ibunya. Kevin yang terikat. Sosok bermata merah. Pisau. Tapi, apakah itu nyata? Atau hanya halusinasi karena ketakutan?
“Gudang… Kevin… pisau…” Gumam Risa, suaranya serak. “Bibi… aku melihat… aku melihat ibuku di gudang.”
Ekspresi Bibi Lastri langsung berubah. Senyumnya menipis. Matanya sedikit melebar. Tapi hanya sepersekian detik. Ia segera tersenyum lagi, lebih ramah dari sebelumnya. “Kamu pasti mimpi buruk, Sayang. Itu cuma efek kaget karena pingsan. Gudang itu kosong, kok. Cuma banyak barang rusak. Bibi sudah lihat. Tidak ada apa-apa di sana.”
Risa menatapnya, tidak percaya. Tidak ada apa-apa? Tapi dia melihatnya! Dia melihat ibunya! Dan Kevin! Dan… pisau berlumuran darah itu.
“Tapi… pisau…” Risa mencoba bangkit, tapi kepalanya masih pusing. “Ada pisau berlumuran darah di dapur. Dan… gantungan kunci Kevin di halaman.”
Bibi Lastri menghela napas, seolah menenangkan anak kecil. “Pisau? Oh, itu tadi Bibi baru selesai memotong ayam untuk makan malam. Makanya ada darahnya. Dan gantungan kunci Kevin… mungkin terjatuh saat dia lari-lari waktu hujan tadi. Dia memang ceroboh, ya kan?” Bibi Lastri tertawa kecil, tawa yang terdengar sangat tidak tulus.
Risa merasa mual. Bibi Lastri berbohong. Ia tahu itu. Instingnya berteriak, memperingatkan. Tubuh ibunya. Kevin yang terikat. Sosok bermata merah itu. Itu semua nyata. Atau… Bibi Lastri lah yang ingin Risa percaya itu hanya mimpi? Ia harus mencari Kevin. Ia harus memastikan.
“Aku mau melihat Kevin,” kata Risa, mencoba bangkit lagi. Kepalanya berputar. Bibi Lastri segera menahannya.
“Jangan dulu, Sayang. Kamu masih lemah. Kevin juga. Dia masih tidur. Lebih baik kamu istirahat. Nanti Bibi buatkan teh hangat.” Bibi Lastri tersenyum lagi, senyum yang dingin, yang tidak mencapai matanya. Ia mengelus rambut Risa, tapi sentuhannya terasa seperti cengkeraman. Di tangannya, Risa melihat sebuah cincin. Cincin yang ibunya selalu pakai.
Cincin itu… Risa yakin ibunya tidak pernah melepaskannya. Bagaimana bisa cincin itu ada di jari Bibi Lastri? Dan bekas luka bakar samar di tangan kanan Bibi Lastri… Risa menatapnya. Bekas luka itu terlihat lebih jelas di bawah cahaya lilin. Bentuknya aneh. Seperti… seperti bekas cengkeraman. Atau… bekas tusukan?
Risa tidak bisa lagi menahan diri. Ia harus tahu. Ia harus mencari kebenaran. Bahkan jika kebenaran itu sangat menyakitkan. Bahkan jika Bibi Lastri adalah pelakunya. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kevin. Dan apa yang Bibi Lastri sembunyikan.
Saat Bibi Lastri berbalik untuk mengambil teh, Risa melompat dari kasur. Kakinya masih gemetar, tapi tekadnya lebih kuat. Ia harus lari. Harus mencari Kevin. Harus kembali ke gudang itu. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi Bibi Lastri, atau bahkan sosok bermata merah itu lagi. Perjuangannya… belum berakhir. Justru, ini baru permulaan.