Suami terbangsat adalah suami yang berusaha menjadi pahlawan untuk perempuan lain namun menjadi penjahat untuk istrinya sendiri. Berusaha menjadi teman terbaik untuk perempuan lain, dan menjadi musuh untuk istrinya sendiri.
Selama dua tahun menikah, Amora Juliansany tidak pernah mendapatkan perhatian sedikitpun dari sang suami yang selalu bersikap dingin. Menjadi pengganti mempelai wanita yang merupakan adiknya sendiri, membuat hidup Amora berada dalam kekangan pernikahan.
Apalagi setelah adiknya yang telah ia gantikan sadar dari komanya. Kedekatan sang suami dan adiknya hari demi hari membuat Amora tersiksa. Mertuanya juga ingin agar Amora mengembalikan suaminya pada adiknya, dan menegaskan jika dia hanya seorang pengganti.
Setelah tekanan demi tekanan yang Amora alami, wanita itu mulai tak sanggup. Tubuhnya mulai sakit-sakitan karena tekanan batin yang bertubi-tubi. Amora menyerah dan memilih pergi meninggalkan kesakitan yang tiada akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya aku kehilangan bagian dari dirimu
Mia dan Amora mengarahkan pandangannya ke gawai yang terletak di atas meja sedetik setelah benda itu berdering.
"Angkatlah!" Mia membujuk Amora.
Amora dibantu duduk oleh Mia. Tubuhnya benar-benar lemah, kepalanya teramat sakit hingga wajahnya memucat.
"Megan,..." Suara Amora lirih menyebut suaminya.
Namun,....
"Aku tak punya waktu Mora, aku sibuk! Jangan ganggu aku dulu, lakukan apa yang ingin kau lakukan diluar sana, kalau perlu tidak usah pulang sekalian!" Megan terdengar sangat marah saat mengatakannya.
Amora menguatkan cengkramannya pada gawainya sembari menyentuh dadanya yang sesak.
"Megan aku mohon, tolong temui aku, di ..."
"Apa kamu tuli? Aku sibuk, aku sedang ...."
"Megan aku sudah siap!" disela percakapan mereka, suara Sunny terdengar cukup jelas. Ketimbang mendengarkan keinginan Amora, lelaki itu memilih memutus sambungan telepon sepihak setelah nada manja itu terdengar oleh telinga Amora.
Nafas Amora terasa seperti putus seketika. Ia memejamkan kedua matanya dengan perasaan nelangsa. Bahkan walau memohon, Megan tetap tidak peduli padanya.
Amora menatap sang dokter dan berkata, "Tolong jangan paksa aku menghubungi lelaki itu, dok. Karena dimatanya aku ini tidak berarti apa-apa."
Amora berdiri memaksakan senyumnya. Suaminya sungguh tidak perduli, dan kini ia harus berjuang untuk hidupnya sendiri...
******
Melihat sosok Sunny, sontak Megan langsung mematikan teleponnya dan Sunny langsung berjalan pelan memeluknya.
"Jangan terlalu memaksakan terus berjalan...Nanti kakimu terasa sakit di malam hari," kata Megan memberi perhatian sembari memeluk sekilas tubuh ramping Sunny.
"Aku ingin cepat pulih agar bisa menjadi sekretaris mu lagi di kantor." ujar Sunny sambil tersenyum.
Ucapannya yang lembut itu membuat Megan mengulum senyum.
*******
Terlalu sibuk di kantor, Megan baru mengetahui jika istrinya tidak pulang selama dua hari.
Dengan menahan kesal Megan segera menghubungi seseorang.
Kurang dari satu jam, informasi tentang Amora ia dapatkan.
Dari arah pintu tampak Bobin, asisten Megan yang kini melangkah dalam ruangan Megan.
"Apa informasi yang mereka dapatkan? Beritahu semuanya!" perintah Megan.
Pria berpakaian formal itu membungkuk kecil dan segera mengatakan apa yang dia ketahui. "Nyonya Amora tidak pulang setelah hari itu menghubungi Anda, Tuan. Lebih tepatnya saat hari dimana Tuan menghabiskan waktu bersama Nona Sunny."
Mendengar apa yang dikatakan oleh asistennya, Megan pun terdiam menatap tajam laki-laki itu.
Sesaat senyum miring muncul di bibirnya. Sudah Megan duga, Amora merajuk karena dia yang tak perduli, juga cemburu atas kedekatannya dengan Sunny.
Megan mendengus kasar. Alasan itu sungguh kekanakan dimatanya. Hanya karena hal sepele Amora berani tidak pulang selama dua hari. Apa wanita itu mengira Megan adalah pria yang mudah dikendalikan dan di setir olehnya?! Jangan mimpi!
Megan geram. "Apa ada kabar mengenai keberadaannya sekarang?" selidiknya lagi.
"Belum, Tuan. Tapi sepertinya nyonya sedang menghadapi masalah," ujar Bobin ragu.
Sekali lagi Megan menatap pria itu tajam. "Masalah apa yang dia hadapi? Cari tahu secepatnya! Jangan sampai dia melakukan sesuatu diluar batas!"
Melihat atasannya dipenuhi amarah, Bobin pun mengangguk cepat. "Baik, Tuan. Saya permisi."
Pintu kembali tertutup rapat. Megan duduk terhenyak di kursi kebesarannya dengan pikiran kusut. Ia semakin penasaran dengan apa alasan Amora berani minggat dari rumah. Bahkan perempuan itu pernah mengajukan perceraian.
Sedetik kemudian Megan menggebrak meja kerja. Dia berkata penuh amarah. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukan sesuatu sesuka hatimu, Amora!!"
*****
Pagi itu suasana rumah sakit masih begitu sunyi saat suara tangis seorang wanita mendominasi terdengar begitu menyayat hati.
"Aku membunuhnya, dok. Aku telah membunuh anakku." Amora meringkuk bak janin di sebuah ruangan khusus dengan tangis menyayat hati.
"Jangan menyalahkan diri, Mora." hibur Mia setelah selesai membersihkan darah yang sempat menodai pakaian yang Amora kenakan.
Mia menjelaskan secara lembut pada Amora. Pada pasien kanker, resiko keguguran itu cukup besar, entah karena faktor pengobatan maupun penyakit itu sendiri. Kanker menyebabkan peradangan yang mengganggu kerja sistem tubuh.
"Andai aku tahu lebih awal,.." cicit Amora yang langsung di potong Mia.
"Mora, bahkan meskipun kamu tahu lebih awal, tidak menutup kemungkinan hal seperti ini akan tetapi terjadi, bahkan yang sudah sering terjadi seorang pasien kanker harus melahirkan anaknya dengan cacat bawaan." tutur Mia, yang seketika membuat Amora diam.
Lama berperang dalam hatinya, Amora akhirnya terlelap karena efek samping obat yang di konsumsi.
Mia menatap nanar pasiennya. Hatinya ikut menjerit pilu mengamati wanita yang meringkuk seorang diri disaat dia membutuhkan dukungan. Tidak ada keluarga, maupun suami yang mendampinginya, Amora seperti tunawisma walau kenyataannya dia seorang nyonya dari keluarga yang cukup terpandang di negeri ini.
Mia menatap secarik kertas yang diberikan Amora untuknya. Perempuan itu menuliskan pesan sebelum dia setuju untuk pergi ke Baltimore, Maryland. Untuk mengangkat sesuatu yang berkembang di kepalanya.
Bukan tumor biasa, cukup ganas hingga Amora tidak bisa lagi bertahan cukup lama. Apalagi untuk melakukan serangkaian kemoterapi. Dalam hitungan minggu ukurannya semakin besar dan semakin mengancam nyawa.
"Percayalah Amora, akan ada pelangi setelah hujan badai. Aku percaya akan ada hari bahagia untukmu kelak." Mia tergugu, belum pernah dia begitu prihatin pada seseorang.
Tetapi semua simpati seolah tertuju pada Amora karena kemalangan wanita itu.
Memiliki keluarga tetapi tak layak disebut keluarga, memiliki suami yang tak perduli, sungguh kemalangan yang mutlak!
Mia meninggalkan Amora, karena harus visit ke pasien lain. Saat mendorong pintu ruangan seseorang mencekal pergelangan tangannya.
"Dimana istriku?"
kalau bisa up nya tiap hari ka...
sebelumnya makasih byk ka...