Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah siapa?
"Kenapa sih kalian pakai mengambil anak orang?" tanya bu Yuli kepada pak Guntur.
"Tere kan tidak bisa lagi punya anak bu. Selain karena trauma juga karena usianya." jelas pak Guntur.
"Kau lihat, anak itu tidak membawa rejeki, malah bencana." ujar bu Yuli.
"Mana ada paham begitu bu!" tegas pak Guntur
"Huh...kalian tidak percaya. Anak itu lahir di luar nikah kan? Ibu nya juga tidak menginginkan dia, lihat saja nanti, bagaimana dia membuat pusing kepala kalian. Ini yang namanya ngga ada kerja cari kerja." ujar bu Yuli.
"Masa depan orang kita ngga tau bu. Bagaimana kalau dia tumbuh menjadi gadis baik yang penurut?" sanggah pak Guntur lagi.
"Aku tidak yakin. Aku pernah menyaksikan anak-anak begitu akan selalu membuat masalah" jawab bu Yuli dengan yakin
"Ah, ibu ini. Kan zaman dulu belum ada kejadian-kejadian begini bu." jawab pak Guntur.
"Ya, zaman aku masih muda semua orang masih tau norma. Jika hamil di luar nikah, malu nya bukan main. Ini malah berani kasih anak ke orang lain." jawab bu Yuli kesal.
"Ya, zaman berubah bu. Sekarang ini fokus kami hanya menolong jiwa. Ibu anak ini bebas dari rasa malu, anaknya juga punya orangtua yang lengkap." jawab pak Guntur lagi.
"Kamu ingat perkataan ku ini, mungkin saat itu aku tidak ada lagi, tapi ingatlah. Sesuatu yang berasal dari dosa zina, susah dirubah" jawab bu Yuli.
"Ngga mungkin bu, kan kami yang besarkan. Kami akan didik dia dengan baik dan menanamkan nilai agam serta cara menjaga diri bu" sanggah pak Guntur lagi.
"Yah, itu pilihan kalian. Tapi yakinlah, kalian akan menderita karena pilihan kalian ini" jawab bu Yuli dengan yakin
Pak Guntur sedikit merasa cemas juga di relung hati yang paling dalam.
"Bagaimana jika perkataan ibu benar?" gumamnya
"Aku juga memang awalnya tidak setuju, tapi demi kebahagiaan Tere"
"Lagian ibunya sendiri juga memang menolak anak ini. Bahkan tidak merasa sedih saat memberikan kepada kami, seakan-akan Nita adalah barang tidak berguna"
Segala macam hal berputar di dalam kepala pak Guntur.
Bahkan dia sampai berandai-andai jika saja Nita tidak diambil mungkin saja kebakaran tidak melanda mereka.
Tapi dia cepat menepis pikiran buruk nya. Bisa apa bayi sekecil itu. Bukan pilihannya lahir di perut Ema, jika dia bisa memilih mungkin dia akan lahir di perut orang lain.
"Sekarang kujalani sajalah. Yang penting anak ini dididik dengan baik dan penuh kasih sayang. Aku yakin dia akan jadi anak yang baik" gumam pak Guntur
Sementara itu di ruangan Herman dan Andi, para istri mereka juga berpikiran sama seperti ibu Yuli. Mereka beranggapan mengambil anak itu adalah bencana.
Tetapi karena sungkan, mereka tidak berani berkomentar apa-apa. Untungnya keluarga pak Guntur masih bisa berdiri sendiri tanpa mengharapkan bantuan materi. Kalau tidak, pasti mereka juga yang jadi korban harus menolong lagi.
Secara manusia siapa sih yang bisa terus menerus membantu disaat keadaan ekonomi sendiri pas-pas an? Pasti mereka harus menyelamatkan keluarga sendiri dulu, baru menolong orang lain.
Di samping itu, bu Tere juga sesekali terbesit pemikiran seandainya saja dia tidak mengambil Nita, mungkin mereka tidak akan sekalut sekarang. Kondisi setelah kebakaran, banyak barang rusak, belum lagi biaya bayi yang cukup besar ini.
"Ah, seandainya saja aku tidak menuruti keegoisan ku, mungkin aku hanya perlu memikirkan biaya Joni dan Doni" timpal bu Tere dalam hati.
"Tapi, ini keputusanku. Jadi aku harus mengusahakan yang terbaik bagi Nita juga" tepis bu Tere lagi.
"Kak, susu Nita sudah mau habis loh" ujar Mita menunjukkan sisa bubuk susu yang ada didasar kaleng susu.
"Habis ya?" tanya bu Tere memeriksa lagi di lemari, dan tidak ada satupun susu.
"Untuk malam ini bahkan tidak cukup kak" ujar Mita sedikit sedih. Dia sadar kakaknya sedang kesulitan, tapi bayi Nita perlu susu.
"Sebentar ya, aku akan cari Guntur." ujar bu Tere cepat-cepat menyambar dompet nya dan bergegas keluar kamar.
Bu Tere mempercepat langkahnya dan bertemu dengan pak Guntur pas ketika hendak berbelok menuju ke pintu utama.
"Ah, sayang. Kita perlu ke kedai membeli susu untuk Nita. Susu nya habis" ujar bu Tere.
"Tapi, uang beli susu kan belum ada sayang" ujar pak Guntur.
"Aku jual saja dulu perhiasan ini." jawab bu Tere singkat.
"Kamu yakin?" tanya pak Guntur
"Ya, ini kan demi anak-anak juga sayang." jawab bu Tere.
"Ya sudah, perhiasan ini milikmu jadi kamu berhak menentukan apapun yang akan kamu lakukan dengan perhiasan ini" jawab pak Guntur bijaksana, meskipun sebenarnya dalam hatinya agak sedikit tidak setuju, karena dia menabung lama untuk membelikan bu Tere perhiasan itu.
"Terimakasih sayang, nanti kalau ada uang aku akan beli kembali perhiasan ini" janji bu Tere berusaha menghibur suaminya.
"Sudah, jangan dipikirkan. Sekarang ayo kita ke toko emas dulu. 30 menit lagi toko tutup ini" ajak pak Guntur sembari mengeluarkan sepeda ontel milik ibunya dan membonceng bu Tere.
"Baiklah. Sehabis dari toko emas, kita langsung beli susu Nita ya, dan susu buat Joni serta Doni juga." ujar bu Tere merasa tidak adil juga jika hanya Nita yang dibelikan.
"Kalau pendapatku, untuk Joni dan Doni mending bahan makanan saja. Mereka sudah besar tidak perlu susu kaleng begitu. Paling belikan saja nanti susu kedelai asli atau susu kambing" ujar pak Guntur.
"Iya juga ya. Mereka sudah makan, lebih baik yang mengenyangkan saja." angguk bu Tere sembari memeluk pinggang pak Guntur yang sedang mengayuh sepeda.
Tak lama mereka sampai di Toko Emas Sumber Senyum, lalu emas bu Tere ditimbang serta di cek dulu keasliannya. Akhirnya mereka memberikan sejumlah uang kepada bu Tere.
"Ini ya bu, dengan kadar emas ibu lalu dipotong biaya upah dan sesuai harga emas saat ini, maka kami bisa membayar seharga Rp 200.000,00 ya bu." ujar salah satu pegawai toko menerangkan dengan kalkulator sembari memperhitungkan berat emas dan harga emas saat itu.
"Wah, banyak juga dapatnya ya" ujar bu Tere senang.
"Iyalah, harga emas kan naik terus. Apalagi emasnya nda pernah kamu pakai jadi nda da yang kurang beratnya." jelas pak Guntur.
"Syukurlah, kita bisa membeli beberapa kaleng susu Nita dan membeli bahan masakan untuk anak-anak besok" ujar bu Tere tersenyum senang.
Selama perjalanan pak Guntur memang bertanya-tanya, apakah tepat membesarkan bayi Nita ini. Karena banyak sekali yang akan mereka hadapi ke depannya.