"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Mendadak Lamaran
Hanin keluar kamar, menemui Pak Abdul yang sedang menonton tivi bersama Bu Daning. Ia duduk dibawah, sementara orang tuanya duduk di kursi.
"Pak, Bu... apa benar yang dikatakan Lisna kalau besok ada pria yang akan datang ke sini?" tanyanya. Bu Daning berdeham.
"Iya. Diapria yang kerja jadi OB di kantor Pak Herman, Nin. Siapa tahu kalau kalian cocok," sahutnya, menatap sebentar ke arah Hanin lalu kembali fokus pada acara di televisi.
"Tapi, aku nggak mau, Bu. Aku masih mau fokus pada diri sendiri," keluh Hanin. Ia berharap Bapak dan ibunya mau memahami keinginannya.
"Fokus apa, sih kamu itu?
Orang kerja cuma di toko kelontong. Gaji gak seberapa. Buat perawatan aja gak bisa. Kalau kamu udah nikah kan ada yang merhatiin, Nin. Mau nunggu apalagi?!" omel Bu Daning seraya
memelototkan mata.
Hanin menghela napas panjang. "Meski gajiku kecil, tapi Ibu selalu kecipratan, kan?Sementara Lisna? Gajinya besar, tapi Ibu gak pernah dapat apa- apa dari dia," balasnya.
Bu Daning menatap tajam "Dia itu nabung buat resepsi pernikahannya nanti, Nin. Lisna itu mau ngadain pesta mewah dengan mengandalkan gajinya!" la terus saja membela dan menutupi kekurangan putri kesayangannya.
Sudah bisa ditebak Hanin jika ibunya tak akan bisa menerima fakta buruk tentang Lisna.
"Ohh ... ya semoga saja terlaksana," kata Hanin, pelan.
Kedua mata Bu Daning memicing. "Semoga terlaksana? Maksudmu apa ngomong gitu, hah?
Kamu berpikir kalau Lisna gak bakalan bisa ngadain resepsi mewah? Iya?"
"Aku selalu saja serba salah di mata Ibu. Padahal, aku kan mendoakan Lisna semoga bisa terlaksana. Kenapa Ibu jadi berpikir negatif gitu?"
Mulut Bu Daning terkatup rapat. Ia mendengkus dan kembali fokus menatap tivi yang sedang menyiarkan acara berita.
"Sudah, sudah! Kalian berdua ini selalu saja ribut perkara sepele," kata Pak Abdul menengahi.
la menatap Hanin dengan lembut. "Nak, kalau saja pria yang datang besok tidak cocok denganmu, kamu bisa menolaknya. Kami tidak akan memaksamu," katanya.
"Pak, maumu itu apa? Memangnya kamu mau Hanin jadi perawan tua beneran? Dicariin jodoh kok ya susah amat!" Bu Daning menyahut cepat.
Tentunya dengan cara bicaranya yang selalu memonyongkan bibirnya.
"Bu, Hanin ini masih muda. 23 tahun itu bukan perawan tua, Bu,tutur Pak Abdul, ia sampai geleng-geleng kepala melihat sikap istrinya yang selalu saja memojokkan Hanin.
"Lagian yang akan menjalani kehidupan rumah tangga nantinyakan Hanin, bukan kita. Jadi, biarkan saja Hanin yang membuat keputusan, Bu. Kita sebagai orang tua tugasnya hanya mendukung dan mendoakannya," sambung Pak
Abdul dengan begitu bijak. Bu Daning melengos.
Hanin tersenyum pada Pak Abdul. Pria paruh baya itu selalu mengutamakan perasaannya meski terkadang selalu kalah debat saat beradu kata dengan sang istri.
"Makasih, Pak...."
"Sama- sama. Ya udah, tidurlah. Ini sudah malam. Kamu pasti sangat lelah, sementara besok kamu harus kerja, kan?"
Hanin mengangguk. "Iya, Pak.Ya udah aku ke kamar dulu," pamitnya.
Sepeninggal Hanin, Pak Abdul berkata pada istrinya, "Bu, aku mohon, tolong jangan bersikap
terlalu keras sama Hanin. Kasihan dia. Dia pasti merasa kamu pilih kasih. Apa kamu lupa sama janjimu dulu, Bu?"
Bu Daning mendengkus. "Aku mau tidur," ucapnya tak menghiraukan perkataan suaminya.
Hanin mendengkus pelan saat melihat Lisna masuk ke dalam rumah bersama Arya. Mereka berdua tanpa rasa malu saling merangkul, lengket seperti perangko. Bukannya iri, tapi Hanin hanya merasa risi. Pasangan yang sudah halal saja malu bersikap seperti itu. Sementara Lisna dan Arya yang sebatas tunangan sampai bersikap berlebihan. Seolah menunjukkan kepemilikan satu sama lain.
"Yang bersih kalau ngepel, Nin. Bentar lagi calon suamimu datang, loh!" Lisna cekikikan.
Ia dan Arya tanpa rasa berdosa berjalan melewati teras yang sudah dipel dengan masih memakai sepatu. Alhasil lantai tersebut kotor kembali.
"Lisna, Arya! Kalian bisa gak sih, menghargai orang lain?!" Hanin kesal, melihat pasangan sejoli di depannya itu.
"Upss! Maaf, nggak sengaja! Lagian kan bisa dipel lagi. Gak usah marah. Calon suamimu aja udah biasa ngepel berkali- kali di tempat yang sama," jawab Lisna disertai tawa yang terdengar mengejek.
"Maaf, ya, Hanin. Aku gak tau kalau lantainya masih basah." Kali ini Arya yang bicara. Pria itu setidaknya masih punya empati.
Hanin memejamkan mata, lalu membuang napas panjang."Huuuh .. udahlah, kalian masuk aja," ucapnya pelan. la tak mau membuang- buang tenaga. Sudah biasa hal ini terjadi. Toh, ia yakin kalau Lisna sengaja memancing emosinya.
"Sabar, Nin, sabar ... kamu pasti bisa menghadapi orang- orang seperti Lisna," gumam Hanin.
Hanin melangkah pelan- pelan di atas lantai yang baru saja dipel.Tangan kanannya menggenggam gagang pel, sementara tangan kirinya membawa ember berisi air yang sudah keruh lewat pintu
belakang. la baru selesai membersihkan lantai teras, namun seketika matanya tertuju pada
ruang keluarga.
Di sana, Lisna dan Arya duduk santai di sofa. Suara ketawa Lisna terdengar nyaring, diselingi candaan Arya yang membuatnya tertawa semakin keras. Hanin mencoba mengabaikan mereka, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang membuatnya jengkel berulang kali, yaitu jejak sepatu di ruang tamu. Apa adiknya
tidak punya otak?
Lantai yang baru saja dipel Hanin kini penuh noda lumpur kering. Sepatu Lisna dan Arya tampak diletakkan sembarangan, jelas menjadi penyebab kekacauan itu.
Hanin menarik napas panjang, menahan diri agar tidak meledakkan emosinya. Dari balik jendela dapur, ia memandang mereka. Lisna kini tengah
berbaring di pangkuan Arya, sementara pria itu mengusap- usap rambut Lisna dengan penuh kasih sayang. Sesekali, Arya mencium dahi Lisna, membuat gadis itu tersenyum manja.
Hanin mengepalkan tangannya di gagang pel. Bukan karena cemburu atau iri, tetapi karena rasa tidak adil yang terus- menerus ia rasakan. Sudah berkali- kali ia mencoba menjaga rumah tetap
bersih, tetapi Lisna selalu merusaknya tanpa rasa bersalah. Ia ingin melangkah ke ruangtamu dan menegur Lisna, tetapi bayangan Bu Daning muncul dipikirannya. Ibunya pasti malah akan menyalahkan dirinya, seperti biasa.
"Kenapa hidup kamu harus begitu banyak drama, Hanin?" gumamnya pelan kepada dirinya sendiri.
Ia menggigit bibirnya, lalu kembali mengepel lantai, meski hatinya terus bergejolak.
Ketika Hanin selesai mengepel, Bu Daning datang dari arah dapur dengan wajah ceria. la membawa
baki berisi minuman dingin untuk lisna dan Arya.
"Hanin, sini!" panggil Bu Daning.
Hanin mendekat dengan ragu.
"Iya, Bu?"
"Ambilkan kue di meja makan, ya. Kasih buat Lisna dan Arya. Mereka kan jarang- jarang bisa
santai di sini," kata Bu Daning sambil tersenyum.
Hanin menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. Dengan langkah pelan, ia menuju
meja makan dan mengambil piring berisi kue bolu yang sudah dipotong.
Ketika Hanin mendekati ruang tamu, ia mendengar suara Lisna. "Arya, kamu tahu nggak? Hanin itu kayak nggak ada kerjaan lain selain jadi babu. Di rumah jadi babu, diluar juga jadi babunya Ko Yusuf. Kadang aku pikir, apa dia emang di takdirkan hidup susah?"
Arya tertawa kecil, lalu mengusap rambut Lisna lagi."Jangan gitu, Sayang. Mungkin dia memang nggak ada pilihan lain," sahutnya, terdengar bijak. Tapi, hati manusia tak ada yang tahu.
Hanin berhenti sejenak diambang pintu, menggenggam piring kue dengan erat. Ucapan Lisna itu menusuk hatinya. la merasa ingin membalas, tetapi tahu bahwa hal itu hanya akan
memperkeruh keadaan dan hanya membuang waktu saja.
"Ini kuenya," kata Hanin seraya meletakkan piring berisi kue itu di meja.
Lisna menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil.
"Makasih, ya. Kamu memang paling bisa disuruh-
suruh," ejeknya.
Hanin tidak menjawab. Usai meletakkan piring itu di meja, ia lalu menuju kamarnya untuk melepas penat.
Hanin duduk sendirian dikamar. la memandang lantai kamar yang bersih, hasil jerih payahnya sendiri. Di meja kecil di sudut kamar, segelas teh dingin dan sebuah buku harian terbuka.
Hanin mengambil pena, lalu mulai menulis.
"Hari ini, aku merasa semakin tidak dianggap. Apa sebenarnya yang salah denganku? Kenapa Lisna selalu menjadi favorit Ibu,sementara aku hanya menjadi bayangan di rumah ini? Kadang aku ingin pergi, tetapi ke mana? Rumah ini satu- satunya tempatku berteduh."
Setelah menutup buku hariannya, Hanin menghela napas panjang. la tidak bisa terus- menerus hidup dalam bayang- bayang Lisna. Ia harus menemukan cara untuk berbicara, untuk
menyampaikan apa yang ia rasakan selama ini.
Namun, malam itu juga, suara ketukan di pintu kamarnya membuat Hanin terkejut.
"Hanin, keluar! Pria yang akan menikahimu sudah datang!" teriak Bu Daning.
Hanin melotot mendengar ucapan ibunya. Bisa- bisanya berkata begitu sambil berteriak. Dengan langkah malas, Hanin keluar tanpa memedulikan penampilannya yang semrawut. la belum mandi usai bersih- bersih tadi, sehingga penampilannya pasti tak akan membuat pria itu tertarik padanya.
"Hanin, kalau kamu mau nolak pria itu tolak saja gak papa. Dia gak cocok sama kamu!" Tiba- tiba saja Lisna berlari ke arahnya dan berkata demikian.
"Hah? Maksudmu apa? Bukannya sejak kemarin kamu yang paling semangat jodohin aku sama pria itu?" Hanin merasa aneh dengan sikap adiknya yang berubah tiba- tiba.
"Itu karena Ucapan Lisna terpotong karena Pak Abdul mendadak muncul.
"Hanin, keluarlah! Ini ada yang mau ketemu kamu, Nak," kata Pak Abdul seraya tersenyum.
"Oh, iya, Pak." Hanin menatap Lisna dan Bu Daning sekilas, lalu kembali melangkah.
"Kenapa tiba- tiba kamu larang Hanin nerima pria itu, Lis? Kamu jadi orang jangan plin plan, Lis!" Bu Daning mengomel. la heran dengan sikap Lisna yang nampak gelisah.
"Ibu... pria itu ganteng banget.Lebih ganteng dia ketimbang Mas Arya, Bu. Aku kira dia pria jelek ...."Lisna merengek layaknya anak kecil.
Sementara Hanin dapat mendengar apa yang baru saja Lisna katakan. Ternyata adiknya itu tidak terima kalau pria yang akan mendekatinya lebih tampan ketimbang Arya. Hanin sudah paham dengan sifat Lisna yang selalu ingin unggul dari segi segalanya.
Hanin menghela napas panjang saat hendak memasuki ruang tamu. Namun, alangkah kagetnya ia saat melihat sosok pria yang tak asing sedang duduk di rumahnya.Raffa, pria aneh dan menyebalkan yang beberapa kali bertemu
dengannya.
"Hanin, duduklah! Dia namanya Raffa, seorang petugas kebersihan di kantor tempat Papaku kerja," kata Arya yangmasih ada di rumahnya.
"Iya, duduklah, Nak! Bapak tadi juga sempat ngobrol sama Nak Raffa. Dia pemuda yang sopan, timpal Pak Abdul dengan senyum teduhnya.
Hanin tersenyum tipis, masih belum bisa mengontrol debar jantungnya yang syok karena
melihat Raffa yang ternyata akan melamarnya.
Raffa, tanpa mengalihkan pandangannya pada Hanin.
"Benarkah? Kok aku jadi curiga?" Lisna menyipitkan matanya, mulai memancing perkara.
"Kamu curiga pun aku tidak masalah, Lis. Pertemuanku sama Mas Raffa ini emang gak disengaja,"kata Hanin.
"Lagian, aku juga gak tahu kalau Mas Raffa ternyata OB dikantor tempat papanya Arya kerja.Aku juga gak tahu kalau pria yang mau kalian kenalin sama aku itu Mas Raffa ini," sambungnya.
Lisna melengos. "Bisa aja kalau buat alasan," tukasnya. Hanin hanya menghela napas.
"Sudahlah, Lis. Kamu itu diam saja. Ini kan acaranya Hanin. Lagian pemuda ini cuma OB.
Kenapa kamu takut kalau kalah saing sama Hanin?" kata Bu Daning secara blak- blakan.
Lisna hendak menjawab, tapi ibunya kembali bicara. "Wajahnya emang ganteng dan tubuhnya gagah. Tapi, bagaiamanapun dia cuma tukang sapu dan ngepel! Beda sama Arya yang udah jelas- jelas pengusaha! Jadi, gak usah iri sama Hanin!"
Raffa yang mendengar dirinya dihina dan dibanding- bandingkan dengan Arya hanya tersenyum tipis. Sementara Arya nampak jumawa.
Arya bangga dipuji seperti itu oleh Bu Daning.
"Saya memang tukang sapu, Bu. Tapi, setidaknya niat saya sudah jelas mau melamar umtuk menikahi Hanin, bukan hanya mau melamar tanpa kejelasan," kata Raffa, sarkastik.
"Maksudmu apa? Kamu itu cuma OB, jadi jaga batasan mu!" tegur Arya.
Raffa menghela napas.
"Sepertinya waktu kedatangan saya ini kurang tepat. Saya berkepentingan sama Hanin dano rang tuanya. Tapi, malah ada yang ikut dih, kamu sombong amat, sih? Cuma OB aja belagu banget kalau ngomong," kata Lisna, tak terima.
"'Sudah, hentikan!" tegas Pak Abdul. Ia menatap Hanin dan Raffa dengan sedih.
"Maafkan kami, ya.Terutama sama kamu, Nak Raffa. Bagaimana kalau acaranya ditunda dulu?"
Hanin merasa sedikit lega. la berharap acara ini tidak usah diadakan lagi malahan.
"Saya bersedia. Kalau boleh nanti sekalian saja saya ajak orangtua saya untuk meresmikan lamaran dan menentukan tanggal pernikahan," sahut Raffa dengan santainya.
"Hah, apa? Tapi, aku kan belum setuju!" Refleks, Hanin berteriak.