"Tolong jangan sentuh saya, Pak." Ucap seorang gadis cantik berkacamata bulat dengan tubuh bergetar hebat. Gadis itu terisak pilu ketika mahkota yang selama ini dijaga, direnggut paksa oleh seorang dosen.
Azura Saskirana seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi di ruang perpustakaan di malam hari yang sepi ditengah hujan badai. Zura hari itu memang sengaja ingin menyelesaikan skripsinya yang tinggal sedikit lagi selesai. Disaat bersamaan hujan turun dengan lebat disertai angin, membuat dia enggan beranjak. Karena tempat kostnya terletak lumayan jauh dari kampus, jadi dia memutuskan untuk menunggu hujan reda baru akan pulang itupun dia masih harus berjalan kaki.
Garvin Reviano Agler, seorang dosen yang sudah lama menduda dan berhati dingin setelah pernikahan dengan wanita yang dicintainya gagal karena wanita itu lebih memilih pergi untuk mengejar karir. Malam itu Garvin dijebak oleh dosen wanita yang terobsesi dengannya dengan minuman yang sudah dicampur obat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Pebinor Yang Meresahkan
"Senangnya..." Ucap Zura saat berada di atas sepeda motor butut yang dikendarai oleh suaminya ini.
"Apanya yang senang?" Tanya Garvin.
"Pacaran mas, aku senang dan bahagia bisa merasakan pacaran." Jawabnya.
"Apa tidak malu kamu pacaran dengan orang tua?" Entah mengapa tiba-tiba Garvin merasa insecure.
"Yang matang, itu enak mas."
"Apanya yang enak?" Garvin terpancing pembicaraan intim bersama sang istri.
"Karena sudah berpengalaman menyenangkan hati seorang istri. Nafkah lahir dan batinnya luber-luber." Jawab Zura.
Mendengar itu, rasa percaya diri Garvin kembali naik. Dia memang tua, 12 tahun jarak yang cukup jauh dalam pernikahan. Tapi nilai plusnya, dia sangat berpengalaman.
Betul kata istrinya, urusan nafkah dia memberikan dengan sangat berlebihan. Tidak hanya uang yang terlalu banyak, tapi juga kebutuhan biologis yang tidak pernah ada jeda. Sungguh definisi suami idaman menurut Zura tentunya. Mengingat itu, Garvin tersenyum sendiri membuat Zura keheranan.
"Mas, kita ini mau beli tanah lho kok mas kayak kesurupan gitu dari tadi aku lihat dari kaca spion mas senyum-senyum tidak jelas begitu."
"Astaga sayang, mas masih waras dan sedang tidak kesurupan. Hanya mas merasa bangga pada diri mas sendiri. Seperti kata kamu tadi, mas memang sangat pengalaman."
"Pasti tidak jauh dari urusan ranjang yang ada dipikiran mas."
"Tentu saja, itu salah satu nafkah batin yang harus terpenuhi. Ada hak dan kewajiban yang menang wajib kita tunaikan bersama."
"Sudahlah mas, kembali fokus ke jalan. Lihat kan kita sudah jauh tertinggal dari pak RT."
"Baiklah, mas akan mengebut untuk mengejar pak RT. Kamu pegangan yang erat, peluk pinggang mas."
"Jangan kencang-kencang aku takut, lagi pula aku tidak bisa peluk pinggang mas. Ada yang mengganjal, perutku ini lho besar."
"Oh ya, ada si kembar di tengah-tengah kita. Kalau gitu mas laju sedang saja, semoga pak RT sadar jika kita tidak ada di belakangnya."
"Ya, semoga saja benar begitu."
Saat tiba di persimpangan jalan besar, Garvin tidak bisa lagi melihat keberadaan pak RT. Lurus, belok kanan, atau belok kiri.
"Sekarang kita harus ke arah yang mana sayang?" Tanya Garvin.
"Entahlah, aku juga lupa. Sudah sangat lama tidak kemari. Ini sih salah mas Garvin, ngajak ngomong terus akhirnya tertinggal jauh."
"Iya, mas salah. Kita balik atau coba pilih arah ya?"
"Tanggung kalau balik mas, bentar lagi sudah maghrib." Jawab Zura.
Disaat suami istri itu bingung menentukan arah, tiba-tiba muncul seseorang yang terlihat mendekat dari arah kanan. Seorang pria muda lumayan tampan tersenyum turun dari mobilnya. Dia menatap lekat Zura.
"Zura, mengapa masih di luar rumah? Menjelang malam tidak baik lho untuk ibu hamil keluyuran." Ucap pria itu penuh perhatian.
"Oh ini, tadi kami sedang mengikuti pak RT tapi tertinggal." Ucap Zura ramah, karena kenal.
"Memang kamu mau kemana, biar saya antarkan naik mobil. Angin berhembus cukup kencang, takut kedinginan."
Ucap orang tadi tanpa sedikitpun menyapa Garvin atau sekedar melihatnya saja. Nampaknya Garvin mahkluk tak kasat mata dihadapan orang itu.
Geram tentu saja Garvin seperti tidak dianggap, 'siapa sebenarnya orang ini. Mengapa begitu akrab dengan istrinya. Bukankah, Zura sudah lama tidak pernah tinggal di sini. Tidak mungkin temannya' pikir Garvin.
"Terima kasih tawarannya, tapi istri saya lebih nyaman jika bersama saya. Sekalipun hanya berjalan kaki." Ucap Garvin dengan wajah datar.
"Benarkah dia suami kamu Zura?" Tanya orang itu seolah mengejek.
"Benar, dia suamiku. Kenalkan namanya mas Garvin." Jawab Zura polos.
"Ckk... Ternyata selera kamu hanya pria tua seperti dia." Ucapnya.
"Arya, tolong jaga batasan kamu. Tidak sepantasnya kamu menghina suamiku. Apa masalahnya jika mas Garvin berumur tua, kami saling mencintai." Ucap Zura membela martabat Garvin.
"Kamu cantik Zura, harusnya kamu mencari pasangan seusia, seperti aku." Kata Arya penuh percaya diri.
"Sayangnya, aku lebih suka yang berumur dewasa seperti suamiku ini."
Sementara Garvin hanya diam dengan wajah dinginnya, kembali pada setelan awal saat masih menjadi dosen.
"Terserahlah, tapi aku tidak akan berhenti untuk menyukai kamu." Ujarnya.
Disaat suasana memanas, pak RT yang tersadar saat di jalan jika di belakangnya tidak ada motor Garvin pun terlihat datang.
"Loh nak Garvin, den Arya?"
"Kalian sudah saling mengenal? Kalau begitu bagus bertemu di sini. Nak Garvin bisa bertanya pada den Arya soal tanah itu." Ucap pak RT, sontak saja Garvin dan Arya menjadi bingung.
"Maksudnya ini bagaimana Pak RT?"
"Oh nak Garvin belum tahu, jika pemilik tanah yang ingin kalian beli milik den Arya."
"Hah..." Kaget Garvin dan Zura.
"Iya, dialah ahli waris keluarga Widyatama. Saudagar kaya raya itu." Mendengar pujian dari Pak RT membuat Arya menjadi semakin jumawa.
"Kalau begitu saya batal membelinya." Setelah mengatakan itu, Garvin menyalakan motor dan menyuruh Zura naik.
Mereka pun pergi setelah pamit kepada pak RT, mengabaikan Arya.
Suasana berkendara menjadi mencekam, aura dingin dari Garvin membuat Zura bergidik ngeri. Zura tahu jika suaminya sedang cemburu, jadi sebisa mungkin Zura tidak memancing emosinya.
Tidak ada pembicaraan sampai mereka tiba kembali di rumah Zura. Setelah memarkirkan motor yang dipinjam itu, Garvin memasuki rumah tanpa mengajak serta istrinya. Zura ditinggal.
"Loh Garvin, kok cepat pulangnya? Bagaimana hasil tawar menawar harganya?" Tanya mama Kalynda, tapi yang ditanya tidak menyahut. Garvin terus berjalan hingga menghilang di balik pintu kamarnya. Tentu saja, Mama Kalynda mengernyit bingung melihat putranya.
Tak lama, Zura pun masuk dengan langkah tertatih. Perut dan kakinya mendadak kram karena tegang.
"Loh Zura, kamu kenapa?" Tanya mama Kalynda khawatir. Wanita tua itu pun berteriak memanggil putranya.
"GARVIN... kesini kamu." Ucap mama.
Zura sudah tidak kuat berjalan, dia mendudukkan tubuhnya di lantai. Kakinya gemeteran, karena tadi Garvin berkendara dengan laju cepat. Zura yang takut dengan amarah suaminya, tidak berani untuk sekedar menegur.
"Mama tidak tahu kalian ini kenapa, bertengkar atau salah paham. Tapi mama mohon Garvin turunkan ego kamu. Ingat kondisi Zura sedang tidak baik, dan lihat sekarang bahkan dia tidak sanggup berdiri. Beruntung dia tidak jatuh dengan keras." Omel Mama Kalynda.
Garvin menoleh, menatap istrinya yang berselonjor kaki dengan wajah pucatnya.
"Angkat istrimu, bawa ke sofa tengah. Biar mama pijat kakinya. Sepertinya kram, tadi saat berjalan saja terlihat gemeteran." Kata Mama.
Tanpa kata, Garvin menurut pada perintah mamanya. Mantan dosen itu sedang meredam amarahnya dengan diam. Nuraninya berkata kasihan melihat istrinya, tapi egonya menyuruh untuk tidak peduli karena rasa cemburu butanya.
Setelah berada di atas sofa, Zura bersandar dan memejamkan mata. Mengelus lembut perutnya yang terasa keras dan sakit. Kakinya dipijat sang mertua, sedangkan suaminya hanya diam memandang datar ke arahnya.
"Di mana kamu kenal pemuda itu?" Tanya Garvin dengan suara rendah tapi terasa aura marahnya.
"Saat selesai mandi di sungai."
semangat....💪💪💪💪💪💪💪