Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35: Saudara Tertua yang Mengkhianat
Langkah Li Cheng menggema seperti guntur dalam keheningan malam. Setiap pijakan seolah menghantam tanah dengan beban tak kasatmata, seperti menanggung seluruh masa lalu yang penuh luka dan pengkhianatan. Debu-debu kecil beterbangan di setiap jejaknya, seolah enggan menyentuh kaki pria itu.
Udara malam terasa tegang, dingin, dan menggigit. Langit di atas mereka nyaris tak berbintang—hanya awan tipis menyelimuti bulan merah yang menggantung muram.
Jiang Hao, masih berlutut, tubuhnya gemetar lemah, darah mengalir hangat dari pelipis yang sobek. Ketika suara langkah itu mendekat, ia perlahan mengangkat kepala, lehernya bergetar, napasnya pendek dan terputus-putus. Matanya membelalak saat melihat sosok yang begitu dikenalnya—sosok yang telah lama hilang dari kehidupannya.
“Li Cheng?” bisiknya. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, terbungkus kebingungan dan curiga yang tajam. Matanya berkaca-kaca, menyisakan bayang luka lama yang belum sembuh.
Li Cheng berdiri tegak di antara Jiang Hao dan Gu Tien. Siluetnya dibalut jubah hitam kelam yang berkilau di bawah cahaya bulan. Ia membawa tongkat panjang dengan simbol yin-yang di ujungnya yang berpendar redup, memantulkan cahaya seperti pelita di tengah kegelapan. Matanya lurus menatap Gu Tien—tenang, namun tajam seperti bilah pedang yang baru diasah.
Gu Tien tersenyum samar. Pria itu tampak seperti bayangan buruk dari legenda lama, dengan kulit pucat kekuningan dan mata gelap yang seperti lubang neraka. Ia menyilangkan tangan di depan dada, kepalanya sedikit miring, seperti sedang menikmati tontonan.
“Sudah lama,” gumam Gu Tien. Suaranya rendah, parau, seperti desir angin yang membawa bisikan maut. “Anak pertama dari Sekte Cahaya Kembar.”
Ying’er, yang berdiri beberapa langkah di belakang, menatap Li Cheng dengan mata membulat. Jemarinya menekan dada, seolah ingin menahan degup jantungnya yang tiba-tiba kacau. “Kau, kenapa kau di sini?” suaranya mengandung ketakutan dan harapan yang berseteru. “Bukankah kau menghilang lima tahun lalu? Bukankah, kau meninggalkan kami?”
Li Cheng tidak menoleh ke arah suara itu. Sorot matanya tetap terpaku pada Gu Tien, tapi bibirnya perlahan bergerak.
“Aku pergi bukan untuk lari,” ujarnya, tenang namun berat. “Tapi untuk mencari asal dari semua kutukan. Untuk memahami, mengapa darah kebaikan tak pernah cukup menahan kehancuran.”
Ia menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan gemetar yang nyaris tak kentara. “Dan aku menemukan jawabannya, di tubuh iblis ini.”
Gu Tien menyeringai, memperlihatkan deretan gigi hitam dan bengkok seperti paku karat. Tawa kecilnya menyerupai dengungan makhluk malam. “Dan akhirnya kau pun tunduk padaku, Li Cheng.”
“Tidak,” jawab Li Cheng datar, namun matanya menyala. “Tapi aku tahu... untuk mengalahkanmu, seseorang harus masuk ke kegelapan dan kembali dengan cahaya yang tidak murni.”
Tiba-tiba, ia mengangkat tongkatnya. Lingkaran cahaya muncul dari bawah kakinya, berputar cepat seperti roda takdir. Udara bergetar, dedaunan beterbangan, dan sembilan segel melingkar mengitari tubuhnya—menyala satu per satu. Api, angin, air, tanah, logam, kayu, petir, es dan satu segel terakhir yang paling redup namun paling menggigit—jiwa.
Wajah Gu Tien berubah serius, tapi senyumnya tak pudar. Sementara itu, tanah di sekitar mereka mulai retak, dan suara gemuruh terdengar dari kedalaman bumi.
Namun sebelum Li Cheng sempat melepaskan kekuatan itu, suara lemah memanggilnya.
“Berhenti.” Jiang Hao berbisik lirih. Tubuhnya limbung, namun ia memaksakan diri berdiri dengan satu tangan menekan luka di pinggang. Wajahnya pucat, peluh menetes dari dahinya, tapi matanya menatap kakaknya penuh harap dan ketakutan. “Jangan lakukan itu.”
Li Cheng menoleh. Gerakannya pelan, seolah berat oleh pertarungan batin yang mendalam. Untuk pertama kalinya sejak muncul, ekspresi ragu muncul di wajahnya. Alisnya berkerut, mata sedikit menyipit, dan bibirnya gemetar.
“Kau tak mengerti, Jiang Hao,” ucapnya lirih. “Gu Tien, dia bukan hanya musuh. Dia adalah bagian dari sumpah kita, bagian dari darah kita.”
Langkah Jiang Hao terseret, namun tekadnya kuat. “Kalau kau melepaskan kekuatan itu, kau akan jadi seperti dia.”
Suasana menjadi beku. Angin berhenti berembus. Daun-daun gugur seakan tertahan di udara. Semua mata menatap Li Cheng.
Gu Tien mendengus, lalu tertawa keras. Tawa itu menggema, menyayat, menindih suasana yang sudah menegang. “Benar! Ayo, anak manis. Gunakan kekuatanmu yang kotor! Aku akan senang melihat dua bersaudara saling membunuh untuk membuktikan siapa yang layak hidup!”
Li Cheng berdiri diam. Tangannya yang menggenggam tongkat mulai gemetar. Giginya mengatup, dan rahangnya menegang. Pandangannya berpindah dari Gu Tien ke Jiang Hao—mata yang sama, darah yang sama, namun kini berdiri di jalan berbeda.
Dan di sinilah tragedi dimulai.
Dengan gerakan pelan namun pasti, Li Cheng menurunkan tongkatnya. Cahaya segel mulai redup, lalu padam satu per satu.
Ia menatap Jiang Hao dengan tatapan kosong. “Maafkan aku.”
Kemudian, tanpa berkata lain, ia melangkah pelan ke sisi Gu Tien. Setiap langkahnya seperti merobek ikatan lama yang dulu mereka jaga bersama.
Ying’er berteriak. Suaranya parau, penuh rasa tidak percaya. “Apa yang kau lakukan?!”
Jiang Hao terhuyung. “Kau ... kau bergabung dengannya?”
Li Cheng diam beberapa detik. Ekspresinya kaku, seolah sedang membunuh sebagian dari dirinya sendiri. Lalu ia berkata, dingin seperti es: “Gu Tien memberiku sesuatu yang kalian semua tak bisa: kebenaran. Tentang darah kita. Tentang kenapa kau, bukan seharusnya hidup.”
Gu Tien mengangkat tangan, menepuk pundak Li Cheng dengan bangga, seperti seorang ayah pada anak kesayangannya. “Kau telah memilih dengan bijak.”
“Tidak,” gumam Jiang Hao, matanya merah, napas memburu. Tubuhnya bergetar hebat, antara amarah dan kesedihan. “Kau... pengecut...!”
Namun kekuatannya habis. Kakinya tak sanggup menopang lagi. Ia terjatuh, lututnya menghantam tanah, lalu tubuhnya roboh ke samping, pingsan.
Tak jauh dari situ, Li Fan masih terbaring tak sadarkan diri, wajahnya pucat seperti mayat, napasnya lemah.
Ying’er berdiri kaku. Matanya menatap dua sosok di hadapannya—Gu Tien dan Li Cheng—seperti menatap kehancuran yang tak terhindarkan. Air mata mulai jatuh dari sudut matanya, namun ia tidak bergerak. Hanya berdiri, menyaksikan dunia yang dulu dikenalnya mulai runtuh.
Malam itu bukan tentang kemenangan. Bukan tentang kebaikan melawan kejahatan.
Malam itu adalah awal dari kehancuran besar.
Dan saat bulan merah naik sempurna di langit, mencuci dunia dengan cahaya darah, suara genta tua berdentang dari arah selatan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Dentang yang menandai satu hal:
Perang Roh Terakhir telah dimulai.
-
Udara terasa dingin menggigit. Hujan salju turun perlahan dari langit kelabu, menutupi tanah dengan lapisan putih yang hening. Pepohonan kaku diselimuti embun beku, berdiri seperti penjaga diam dari kisah yang telah lama terkubur. Di tengah hutan mati itu, Jiang Hao terbangun.
Tubuhnya penuh luka. Nafasnya pendek. Dada naik turun pelan. Ia tak lagi tahu waktu—yang ia tahu hanya rasa sakit yang menusuk setiap inci tubuhnya, dan… pengkhianatan.
"Li Cheng," bisiknya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, terselip di antara deru angin dingin yang menghempas wajahnya. Matanya perlahan terbuka, menatap ke langit yang kelabu. "Kau benar-benar memilih jalan itu?"
Ia mencoba bangkit. Lututnya gemetar hebat, tubuhnya seperti tak lagi punya tenaga. Darah di pelipis dan bibirnya mulai membeku, membuat rasa perih menusuk. Ia terhuyung, lalu bersandar pada batang pohon terdekat, tubuhnya berguncang menahan nyeri.
Langkah kaki terdengar dari balik kabut. Lembut, tergesa, namun tetap hati-hati.
Ying’er muncul dari balik semak salju. Wajahnya pucat, matanya sembab, bibirnya membiru karena cuaca. Ia menahan napas sejenak saat melihat Jiang Hao, lalu cepat-cepat menghampiri. Tangannya gemetar saat menuangkan ramuan penyembuh ke luka di pundak Jiang Hao.
Tanpa sepatah kata, ia menutup tubuh Jiang Hao dengan jubah hangat. Jemarinya menggigil saat menyuapkan beberapa tetes air dari kantung kulit ke bibir kering lelaki itu. Tangannya berkali-kali menyentuh wajah Jiang Hao, seolah ingin memastikan bahwa ia masih hidup.
"Dia pergi ..." gumam Ying’er akhirnya. Suaranya seperti pecahan kaca. "Bersama Gu Tien."
Jiang Hao menunduk. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangan, lalu meninju tanah bersalju hingga jari-jarinya berdarah. Salju di sekitarnya terciprat merah.
"Dia tidak akan bisa kembali dari sana," bisiknya. "Dia sudah memilih."
Ying’er menggenggam tangannya dengan kuat. "Kita belum kalah. Masih ada harapan."
Tapi Jiang Hao hanya diam. Pandangannya kosong, namun dalam pikirannya, ada sesuatu yang runtuh. Bukan tentang pertempuran, bukan tentang strategi.
Ini tentang kehilangan.
Tentang kepercayaan.
Tentang janji masa kecil yang kini dikubur dalam salju.
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh