Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lee
"Hoam" gumam Daisuke menuruni anak tangga. "Apa tidurmu nyenyak?" tanya Marito yang baru saja selesai memasak. "Begitulah, terapi itu berhasil membuatku bermimpi indah semalaman" jawab Daisuke duduk di bangku menja makan.
"Di mana Zoe dan Sean?" tanya Daisuke segera. "Di halaman belakang merecoki James" jawab Jiali terkekeh. "Aku saja, kak. Kakak bilang kakak akan bekerja sangat awal pagi ini? Kenapa justru menjemur kain?" suara seorang familiar seorang bocah menggelegar di halaman belakang.
Daisuke melihat dari jendela ruang makan yang bisa melihat langsung ke halaman belakang.
"Hey, karena ini pakaianku maka aku menjemurnya"
"Terlalu merepotkan. Sekalian saja kami menjemurnya, kak. Kakak pergi saja duduk manis di ruang makan lalu menikmati masakan guru dan kak Jiali!"
Daisuke tertawa kecil mendengar perdebatan mereka. "Di mana Chloe?" tanya Daisuke tidak melihat keberadaan rekannya.
"Melarikan diri dari tugas menjadi penerjemah tamu bangsawan negeri dia berasal" jawab Marito sambil mencuci piring.
"Marito!"
"Benar bukan? Tidak ada yang tumbuh dengan figur orang tua lengkap di keluarga ini"
Keduanya terdiam. "Daisuke payah menghadapi pamannya, Chloe juga sama. Aku dan kau ditinggalkan orang tua sejak lahir, Zoe diasuh kakek dan neneknya sejak berusia 8 tahun. James kehilangan ibunya saat ia lahir. Lalu bocah berusia 11 tahun yang hanya memiliki kakek dan seorang pemuda yang dia panggil Arie. Lengkap sekali permasalahan di rumah ini"
Marito mengatakan itu tanpa beban. Jiali menghela nafas sambil menyeduh teh.
"Tapi jujur saja, penderitaan Chloe yang terberat. Nasib ayah dan ibunya, lalu sahabatnya, persis seperti diriku. Setelah itu ia kehilangan kakak laki-lakinya, kehilangan adiknya, kakek dan neneknya. Dan masih banyak lagi. Jadi wajar saja dia benci bertemu mereka"
Marito menghentikan acara mencuci piringnya. Apa yang dikatakan Daisuke benar. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Tetap saja, dia tidak bisa membenci adik sepupunya... yang tidak tahu kejahatan ayahnya" gumam Marito mengeringkan piring-piring yang ia cuci.
Daisuke menatapnya tertegun. "Jika sepertimu, ayah, ibu, lalu sahabatmu meninggalkanmu dalam satu malam karena ulah adik sepupumu itu... aku tidak akan membantah dirimu yang membencinya"
Daisuke terdiam. Jiali menatap Marito dengan tatapan tersirat sesuatu. "Lalu kau bagaimana Marito? Apa kau membenci paman bibi dan sepupumu? Mereka yang memberitahu keberadaan kau dan keluargamu bukan?"
Marito diam. Ia meletakkan piring pada tempatnya. "Aku tidak bisa membenci seseorang, karena aku selalu mengingat budi baik yang dilakukan untukku"
Daisuke kembali terdiam begitupula Jiali. "Guru tidak pernah bercerita soal keluarga padaku, ayo kita bercerita hari ini" Sean muncul di samping gadis itu secara tiba-tiba.
"Dasar bocah penasaran. Kau baru boleh mengetahui cerita keluargaku, jika aku mendekatkan diri pada kematian" jawab Marito mengacak rambut Sean.
"Hee... jangan terlalu cepat mendekatkan diri pada kematian, guru! Masa muda guru masih panjang" Sean memilih duduk di sebelah Daisuke.
Zoe yang mendengarnya tertegun. Dia selama ini selalu merasa bahwa dia tidak layak untuk hidup karena kehilangan paman, bibi, sepupunya, bahkan orang tuanya. Dia tidak lagi memiliki tujuan bertahan selain kakek nenek dan saudari kembarnya.
"Memangnya kau tahu apa soal hidup di dunia ini?" tanya Daisuke dengan wajah meledek. "Arie bilang, lelah itu wajar. Tapi suatu hari, lelah itu akan dibayar dengan sesuatu yang setimpal" jawab Sean sombong.
Daisuke terkekeh melihat ekspresi bocah itu. "Hey, oniisan. Kau tidak ingin bercerita tentang kehidupanmu? Kata kakek menjadi orang dewasa itu sulit" ujar Sean bersemangat.
"Kadang kala aku merasakan apa yang dikatakan kakekmu. Tapi di beberapa momen, menjadi dewasa itu juga lebih baik" jawab Daisuke terkekeh.
"Kalau begitu ayo bercerita tentang kehidupan agar aku yang masih kecil ini tidak terkejut terhadap dunia dewasa" ujar Sean antusias. Daisuke menyentil kepala bocah itu. "Sudahlah, kalian seperti orang paling tahu saja tentang dunia" James menimpali.
"Aku pergi dulu" pamit James mengambil kotak bekal yang dibuatkan Jiali untuknya. "Katakan pada Chloe aku mencarinya!" pesan Daisuke segera. James mengacungkan jempol tanda mengiyakan.
"Aku juga harus bekerja pagi ini. Zoe, Sean.. bisakah kalian membersihkan rumah?" tanya Jiali memastikan. "Tentu saja! Kami akan membereskannya" jawab Sean antusias. Bersih-bersih adalah kesukaannya.
"Kau akan pergi ke mana?" tanya Daisuke pada Marito yang bersiap. "Aku dinas ke luar kota selama 3 hari. Jadi tolong jangan melakukan hal-hal aneh apapun selama aku pergi" pesan Marito mengenakan jas nya.
"Kau tidak bekerja, Zoe?" tanya Daisuke terheran. "Kak Chloe bilang, jika ia kembali baru aku bekerja seperti biasa" jawab Zoe menikmati roti panggang.
"Benar juga. Baiklah, kalian berdua jaga diri. Ada pertikaian di perbatasan kota, mungkin aku baru kembali minggu depan" ujar Jiali mengenakan sepatunya. Zoe dan Sean menatap Daisuke masam.
"Tenang saja, malam ini aku akan kembali" jawab Daisuke menghela nafas memaklumi ekspresi masam keduanya. "Jika Leon dan Jiali pergi tugas dinas... artinya?" gumam Daisuke menyadari sesuatu.
"Memasak dan membersihkan rumah adalah tugasmu" sahut Marito membereskan barang keperluannya.
"Tenang saja, kami akan membantu oniisan!" Sean menghormat pada Marito.
"Baiklah, aku pamit dulu. Aku akan segera kembali" pamit Marito akhirnya berangkat.
"Aku juga harus ke kantor pagi ini. Kepala memanggilku" ujar Daisuke pada mereka. "Berhati-hatilah oniisan" pesan Sean tersenyum.
"Ya" jawab Daisuke akhirnya meninggalkan mereka. "Tinggal kita saja, menurutmu apa yang akan kita lakukan?" tanya Zoe menggaruk kepalanya bingung.
"Aku lihat gudang sangat berantakan, bagaimana jika kita membereskan bagian itu saja?" tanya Sean memberi ide. "Benar juga" gumam Zoe berjalan menuju gudang dan Sean mengekorinya dari belakang.
"Kak, mengapa kak Chloe selalu menutupi area mulutnya? Aku tidak pernah melihat wajahnya secara menyeluruh" ujar Sean memikirkan Chloe.
"Aku juga tidak tahu. Guru bilang, dia sudah mengenakannya sejak masih di akademi"
Di sisi lain,
"Tuan, Letnan Daisuke sudah tiba" lapor seorang pengawal. "Panggil dia masuk" perintah Theo si kepala militer. Daisuke akhirnya masuk setelah ia dipanggil.
"Ada apa, pak?" tanya Daisuke segera. "Duduklah, ada hal yang ingin kutugaskan padamu" ujar Theo tanpa basa basi. "Tugas?" gumam Daisuke penasaran.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Han! Ayo bangun! Kau sudah berjanji tadi siang akan menunjukkan sesuatu padaku!" Jun membangunkan adiknya itu. "Astaga, tidak bisakah besok saja? Aku mengantuk sekali, hyung" jawabnya menarik selimut untuk menutupi dirinya.
"Menyebalkan sekali, hyung bilang dia bisa melakukan sihir!" ketus Ri pada Han yang memilih tidur.
Han menyibakkan selimutnya. "Baiklah" jawabnya kesal. Mata kedua bocah di hadapannya berbinar. Sudah tengah malam, namun ada beberapa bocah yang masih terjaga. Mereka mengendap-endap menghindari penjaga, berjalan menuju ruang latihan keluarga.
"Apa yang ingin kau tunjukkan, Han?" tanya Jun penasaran. Ri menatap kakaknya antusias.
"Lihat ini!" perintah Han segera. Ia mengeluarkan sebuah api di tangannya, dan ia mulai memainkan api itu. "Keren sekali! Kenapa aku tidak memilikinya?" gumam Ri penasaran.
"Apa ayah tahu?" tanya Jun penasaran. "Aku tidak mau memberitahu ayah dan ibu, nanti mereka mengira aku iblis" jawab Han berubah murung. Jun tahu maksud perkataan adiknya itu.
Lee Seung Hwa, seorang pria yang menikah dengan Choi Hyun Bin. Hwa adalah pemimpin kekaisaran negeri gingseng, menggantikan ayahnya yang sudah tua bangka. Dia anak bungsu dari 3 bersaudara, dan ia berhasil menempati posisi penting di negari ia lahir.
Hwa memiliki 3 orang putra. Jun, Han, dan Ri. Ketiganya ialah anak laki-laki yang punya bakat berbeda. Jun, dia adalah anak sulung dengan kemampuan berpedang yang luar biasa di usianya yang masih sangat belia.
Ri, anak bungsu yang cerdas dan dikenal sebagai bocah ikut-ikutan, karena ia suka mengekori kedua kakak laki-lakinya. Hobinya ialah melukis.
Han, anak tengah. Dia terlahir dengan tato sabit di area bibirnya. Bocah itu juga mampu mengendalikan api dan itu adalah hal yang tidak pernah ada di keluarga mereka. Dialah bocah 'istimewa' di keluarga itu.
Hwa yang melihat tato itu merasa ada yang janggal, dan memutuskan untuk menutupi tato di area mulutnya dengan sebuah masker wajah.
Sehingga sejak kecil, hanya kedua saudaranya, Hwa, Bin, kakek, dan keponakan Hwa saja yang tahu wajah asli Han tanpa masker.
Hwa memperlakukan ketiga anaknya dengan adil. Namun berbeda dengan suaminya, Bin selalu bersikap keras pada Han. Baginya, dia harus melindungi putra keduanya itu karena tato pada area mulutnya.
"Yang benar saja, ayah pasti senang jika kau bisa mengendalikan sesuatu. Artinya kau kuat! Kau bisa jadi kaisar seperti ayah!" ujar Jun antusias.
"Tidak mau! Hyung saja yang jadi kaisar. Bibi koki bilang, jadi kaisar itu menyulitkan" ketus Han segera.
"Kalau begitu Ri saja" ujar Jun tersenyum pada adiknya yang paling kecil. "Tidak mau! Jika aku jadi kaisar, aku tidak bisa melukis lagi dengan nuna" ketus Ri menolak.
Usia ketiga bocah itu masih sangat kecil. Jun berusia 7 tahun, Han 6 tahun, dan Ri 5 tahun. Jarak mereka tidak jauh, dan mereka seperti anak kembar tiga.
Jun tertawa kecil mendengar jawaban kedua adiknya. "Baiklah, aku yang akan bekerja keras menjadi kaisar" ujar Jun tertawa kecil. "Tepat sekali! Aku akan jadi penasehat untukmu, hyung!" jawab Ri antusias.
"Dan aku akan jadi pelindung kalian, aku punya api untuk membakar orang-orang jahat yang mau mengusik keluarga kita" Han juga antusias.
Jun mengacak rambut kedua adiknya. Paginya, ketiga bocah itu tertidur di ruang latihan.
"Tuan, mereka di sini" lapor seorang pelayan. Hwa dan Bin bergegas ke ruangan ketiga putra mereka berada. Hwa menghela nafas lega begitu pula Bin.
"Astaga... sudah pagi" gumam Jun lebih dulu bangun. Kedua bocah lainnya menyusul.
"Ayah! Ibu!" gumam Han terkejut. "Sudah berapa kali kalian bermain waktu tengah malam dan tertidur di sini? Kalian itu masih anak-anak dan harus beristirahat dengan cukup!" ketus Bin dengan galak.
"Han, kamu itu tidak boleh keluar tengah malam seperti itu. Jika orang lain melihatmu mereka akan terheran dan mencoba membunuhmu!" Bin mulai menasehati putra tengahnya itu.
Han diam membisu mendengar hal itu.
"Ibu berlebihan, ini hanya lukisan biasa di-"
"Kamu tidak tahu apa-apa, Ri. Ini demi keselamatan kakak keduamu!"
Ri terkejut ketika Bin membentaknya. Bin pun tersadar ketika ia telah membentak putra bungsunya.
Ri yang cengeng berlari keluar dari ruang latihan itu. "Bibi!" Ri mulai merengek pada seorang pelayan setia keluarga itu. "Ri!" panggil Bin dan setelahnya ia menghela nafas lelah.
"Maaf ibu..." ucap Han menunduk. Karena membela diriya, adiknya justru harus dibentak oleh ibunya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang itu.
Hwa menghela nafas memaklumi. "Sekarang pergilah ke kamarmu, nuna sudah menyiapkan sarapanmu. Jun ikut dengan ayah, biar ibu yang membujuk Ri"
Kedua bocah itu mengangguk namun mereka masih menunduk. Han berjalan menuju kamarnya dengan air mata yang mengalir.
"Han?" gumam seorang gadis menyebut nama Han. Bocah itu tersadar. Ia mendapati kakak sepupunya yang lebih tua 10 tahun darinya baru saja keluar dari kamar tidur Han.
Namanya Lee Seo Ahn. Gadis cantik berusia 16 tahun yang mahir menjahit dan memainkan suling.
Beberapa saat,
"Kau bersedih karena kau harus sarapan sendirian setiap hari agar pelayan tidak melihat tato ini?" tanya Ahn menyuapi Han.
Han mengangguk-angguk. "Kakek bilang, ini adalah kutukan iblis. Ayah dan ibu itu manusia. Apa aku bukan putra mereka, nuna?" tanya Han ragu.
"Kau putra mereka. Lihatlah, bibi selalu memarahimu untuk tidak pergi jauh-jauh karena dia takut orang-orang akan mengganggumu. Dia khawatir padamu" Ahn mengusap pelan rambut Han.
"Nuna tidak membenciku juga seperti kakek, kan? Kakek selalu memarahiku setiap melihat diriku. Kakek Lee galak sekali. Kakek Choi tidak pernah memarahiku seperti kakek Lee" keluh Han menunduk.
Ahn tersenyum dan kembali menyuapi Han. "Kakek tidak pernah membencimu tahu" ujar Ahn tersenyum. Han menatap ragu Ahn. Matanya masih sembab.
"Lihat saja, suatu saat... kakek yang akan berjuang melindungimu. Dia juga memperlakukanku seperti dirimu! Padahal aku perempuan" Ahn menyentil pelan hidung mancung Han.
"Benarkah? Kenapa kakek juga kasar pada nuna?" tanya Han terheran. "Dulu aku cengeng sekali seperti Seung Ri. Lalu aku juga ceroboh. Jadi kakek selalu memarahiku. Tapi saat sakit, kakek yang merawatku. Dia tidak mau pelayan di rumah ini menyentuhku"
Han tampak kagum mendengarnya. "Kakek baik sekali" titah Han tanpa sadar. "Tentu saja. Kakek tidak mau cucu-cucunya nanti tumbuh menjadi orang yang manja" jawab Ahn terkekeh.
Han menatap wajahnya yang tidak menutupi masker di cermin. "Tato ini bukan masalah untukmu. Tapi keistimewaan yang orang lain tidak memilikinya" ujar Ahn mencubit pipi Han.
"Keistimewaan?" tanya Han bingung. "Ya, ini istimewa sekali. Dan ini bukan masalah atau malapetaka apapun" jawab Ahn membenarkan.
"Ayo habiskan. Kakek bilang, dia mau melihatmu bertarung dengannya" ujar Ahn segera menyelesaikan tugas menyuapi Han. Bocah itu antusias dan segera melahap habis sarapannya.
Ruang latihan,
Lee Seung In, ayah Hwa sudah menunggu dan mengenakan pakaian latihan. Han masuk ke ruangan, dan mendapati semua sudah menunggunya.
"Kakek tidak akan berlemah lembut. Jadi kau harus bisa melawan kakek" pesan Hwa dengan tegas. Han mengangguk paham.
Han menyiapkan kuda-kudanya. Ia maju lebih dulu menyerang kakeknya. Gerakannya yang tidak cepat, tentu tidak seimbang untuk melawan kakeknya.
Beberapa kali ia jatuh. Perlahan bocah berusia 6 tahun itu mulai kelelahan. Ia kesulitan bernafas dan hendak membuka maskernya.
In segera kembali menyerang Han, dan bocah itu tercampak. Han tersungkur.
"Kakek!"
"Jangan ikut campur, Ahn"
Ahn khawatir menyaksikan hal itu. Han hanya bocah, baginya tidak sepantasnya bocah diperlakukan begitu keras dan harus berhadapan dengan orang dewasa yang jauh lebih tua darinya.
Han berusaha bangkit berdiri, namun tubuhnya sakit. Jun dan Ri yang melihat itu bahkan ketakutan.
In kembali maju. "MENJAUH!" teriak Han ketakutan. Dua tato sabit di area mulutnya itu tampak mengeluarkan cahaya hijau.
Dan saat itulah, In tercampak. Sejenak suasana hening. "Ayah!" Bin segera membantu In berdiri. Hwa menatap putranya terkejut.
Ahn bergegas menghampiri Han, dan segera menutupi Han dengan sebuah kain putih. Ia menggendong Han dan membawanya pergi.
"Dia..." gumam Hwa masih terpaku di tempat dan menatap kepergian putranya.
Sementara di kamar, Han menangis di hadapan Ahn. "Kakek kejam sekali, nuna. Kakek tidak menyayangiku, dia justru mencoba membunuhku!" keluh Han sambil menangis pilu.
"Han, dengar. Kakek tadi ingin-"
"Tidak! Sejak awal kakek menyebutku anak iblis. Dia selalu memarahiku. Kakek memperlakukan hyung dan Ri dengan baik, mengapa aku diperlakukan berbeda?"
Ahn terdiam. Tangannya terulur untuk memeluk bocah yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
Dari luar, Jun mendengar semuanya. Ia mengepal tangannya. Rasa kesal, sedih, sekaligus iba bercampur jadi satu. Ia kesal, adiknya begitu cengeng. Ia sedih, karena ia masih terlalu kecil dan tidak punya hak untuk berbicara kasar pada kakeknya, tapi ia juga iba dengan kondisi saudaranya itu.
"Nuna, tadi saja kakek terlempar karena aku menyuruhnya menjauh. Apakah Jun-hyung akan membenciku? Hyung sangat menyayangi kakek"
Jun tertegun mendengarnya. Han memikirkannya?
"Kenapa kau mengira hal aneh begitu? Jun sangat sayang padamu dan juga Ri" ujar Ahn mengusap kepala bocah ingusan itu.
"Hyung selalu dimarahi ibu karena aku mengajak hyung dan Ri untuk kutunjukkan sesuatu di malam hari. Tapi hyung tidak pernah marah padaku. Apa hyung akan memarahiku karena aku berteriak pada kakek?"
Jun mengerutkan keningnya. Dirinya yang masih berusia 7 tahun juga tidak tahu solusi untuk menghadapi permasalahan hubungan buruk antara adiknya dengan kakeknya.
"Kakek, paman, bibi, Jun, Ri, dan aku... sangat menyayangi Han si bocah ingusan tukang pamer ini. Jangan bersedih, Han! Nuna selalu di sini untuk mendengarkan ceritamu"
Han menatap Ahn terdiam. Sebuah wajah seorang wanita tua yang ia rindukan muncul dalam diri Ahn. Neneknya, lebih tepatnya mendiang istri In.
"Nenek..."
Ahn menatap bocah itu terheran. "Nenek? Ahk iya! Bagaimana jika besok kita berkunjung ke rumah nenek? Kau tidak merindukan nenek? Kau bisa mengajak Jun dan Ri untuk ikut! Aku akan menemani kalian" Han terdiam.
Namun senyuman bocah itu kembali terukir di bibir manisnya. "Terimakasih nuna. Nuna harus selalu berada di sampingku! Aku berjanji akan jadi adik yang baik untuk nuna, dan ketika dewasa aku akan menjagamu!"
Malamnya,
"Ya?" sahut Han ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia menghampiri pintu dan langkahnya terhenti sejenak. Bocah itu membuka sedikit lalu mengintip. Dirinya mendapat Jun dan Ri di sana.
"Hyung-"
Ucapan bocah itu terhenti. Jun dan Ri tiba-tiba memeluknya. "Hyung jangan menangis. Aku sangat sedih jika hyung menangis!" ujar Ri melepas pelukannya dan menatap kesal kakaknya itu.
Han menatap adiknya terkejut. "Aku tidak akan menangis lagi!" jawab Han tersenyum sambil mengacak-acak rambut adiknya.
"Malam ini, kami akan tidur di kamarmu" ujar Jun memberitahu tujuan mereka.
"Jangan! Nanti ayah-"
"Aku sudah mengatakannya pada paman dan bibi"
Han menatap Ahn yang muncul di pintu sambil tersenyum pada mereka. "Sungguh?" tanya Ri gembira. "Tentu saja. Kalian itu bocah-bocah nakal yang tidak terpisahkan. Bibi bilang kalian boleh tidur bersama malam ini, asalkan kalian tidak membuat kegaduhan!"
Ketiganya saling memberi tatapan.
"Terimakasih nuna! Nuna baik sekali!"
"Nuna! Besok nuna harus duduk manis agar aku bisa melukis wajah cantik nuna untuk nuna pajang di kamar nuna nantinya!"
"Nuna! Besok setelah selesai berkunjung dari rumah nenek, nuna harus mengajariku menjahit!"
Ketiga bocah itu berhamburan memeluk Ahn, si gadis baik hati yang dirawat Bin. Ahn tertawa kecil menerima pelukan hangat dari mereka.
"Baiklah waktunya tidur. Aku akan turuti semua permintaan kalian besok! Malam ini jangan bermain di ruang latihan. Jangan sampai paman dan bibi memarahi kalian karena nakal!"
"SIAP"
................
"Halo nenek! Apa kabar?" tanya Ri setelah ia meletakkan beberapa tangkai bunga mawar putih kesukaan mendiang neneknya.
"Nenek, aku sudah bisa berpedang tahu! Dulu nenek bilang, nenek ingin melihatku jadi kesatria yang hebat. Tapi nenek justru tertidur di sini"
Ahn tertegun mendengar ucapan Jun. Sejak kematian nenek mereka 2 tahun lalu, Hwa selalu mengatakan pada mereka bahwa sang nenek hanya tertidur dan tidak akan pernah bangun.
Ketiga bocah itu tentunya belum mengerti, bahwa nenek mereka sudah meninggal dan tidak akan kembali.
"Nenek, kenapa kakek kejam sekali padaku? Sejak nenek tidur, kakek semakin keras padaku. Kakek bilang aku iblis. Aku tidak pernah dibela ayah atau ibu, dulu hanya nenek yang mendukungku. Sekarang nenek tidur di sini, kapan nenek bangun lagi? Aku ingin sekali tidur bersama nenek, dan bercerita tentang impianku!"
Air mata Ahn mengalir ketika mendengar itu. "Tapi tenang saja, nenek. Aku punya nuna!"
Gadis itu menatap punggung Han yang membelakanginya.
"Nuna selalu membelaku dan melindungiku seperti nenek dulu! Nuna sama seperti nenek, aku anak yang istimewa. Aku berjanji pada nenek, aku pasti menjaga nuna dan keluarga kita dari para musuh seperti cerita pengawal! Nenek harus melihatku jadi orang hebat"
Senyuman manis terukir di bibir gadis itu. "Benar sekali nenek. Ketiga bocah nakal yang suka mengganggu nenek ini selalu menjagaku!" Ahn merangkul ketiganya.
Mereka tersenyum antusias menatap Ahn. "Nenek! Mereka tidak mau meneruskan jabatan ayah! Jadi aku saja yang akan menggantikan ayah, lalu aku akan menjaga mereka" ujar Jun antusias.
"Kalau begitu, hyung hanya pamer saja pada nenek!" ledek Ri tidak mau kalah. "Kau saja cengeng, sudah sepantasnya aku melindungimu" jawab Jun segera.
"Nenek! Aku yang akan menjaga keluarga kita!"
"Tidak! Aku yang akan melakukannya!"
"Ya, ampun..."