Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Wito menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perkataan Nina benar, dia memang harus ikut patungan untuk biaya pemakaman dan selamatan tujuh harian ayahnya. Tapi uang dari mana?
“Tapi kita nggak punya uang banyak, Dek,” katanya lirih, menatap Nina dengan mata sendu.
Nina menatap Wito dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, kecewa, tapi juga sedikit iba. Ia tahu suaminya sedang dalam kesulitan, tapi rasa sakit hati masih bercokol di dadanya.
“Terus kamu maunya bagaimana? Jangan bilang kalau kamu mau minta uang sama si janda gatel Romlah itu. Ora due rai kowe, Mas. Tidak tahu malu!!” sarkas Nina, suaranya sedikit meninggi.
“Nin,,,!” Ingin Wito membantah, tapi tak mampu. Dia hanya bisa tertunduk, tidak tahu apa yang bisa dilakukannya?
“Makanya kerja itu yang bener, Mas. Jangan malah main jungkat-jungkit!!”
***
Ini adalah hari keenam meninggalnya Ayah mertua Nina. Malam nanti akan diadakan tahlilan malam tujuh harian. Nina terpaksa menjual gelang yang dia beli panen lalu. Gelang yang sebenarnya ingin dia jadikan tabungan masa depan. Daripada suaminya benar-benar minta uang sama Romlah. Dia masih cukup waras untuk membiarkan hal itu terjadi.
Para tetangga wanita yang memasak di rumah Mbak Sri, karena rumah mertuanya terlalu sempit dan tidak ada peralatan yang memadai untuk memasak dalam jumlah banyak. Sudah cukup syukur, Mbak Sri merelakan rumahnya digunakan untuk tempat masak.
Nina bergerak membersihkan rumah mertuanya. Dia heran melihat rumah itu kini begitu kumuh, jauh berbeda saat Nina masih tinggal di sana. Banyak sampah berserakan dan perabotan usang yang seharusnya dijual ke tukang loak. Entah untuk apa Ayah mertuanya mengumpulkan semua itu. Mungkin Ayah mertuanya yang membawanya pulang saat kondisi kejiwaannya sedang kambuh.
Nina sering mendengar keluhan orang-orang yang kehilangan barangnya, dan mengatakan bahwa Ayah mertuanya yang mengambilnya. Mereka merasa malu, tetapi tidak bisa menasehati atau memasung Ayah mertuanya. Yang bisa mereka lakukan hanya mengembalikan barang itu jika mengetahui siapa pemiliknya.
Selesai bersih-bersih, Nina ikut berbaur dengan tetangga di rumah Mbak Sri.
“Kang mu kae lo jikukno panganan kono!” Seorang ibu yang sedang membantu memasak, menyuruh Nina mengambilkan makanan untuk kakak-kakak suaminya. Karena hari ini kang Sapar kembali datang. Dan kini mereka ada di rumah mertuanya.
Alangkah terkejut Nina saat ia sampai di rumah mertuanya. Kedua kakak laki-laki suaminya, kang Sapar dan Kang Damin sedang berkelahi. perkelahian Yang intinya adalah memperebutkan rumah milik mertuanya.
Oh, ya, Tuhan,,, Rumah Ayah mertua nya itu? Rumah reyot itu? Nina benar-benar tidak habis pikir. Nina mulai paham. Kedua kakak iparnya memang tidak pernah akur, selalu memperebutkan harta warisan Bude karena Bude tidak punya anak. Sekarang ditambah dengan Ayah mertuanya meninggal. Perseteruan mereka semakin menjadi.
“Sudah cukup! Hentikan! Apa kalian tidak malu, Kang? Tanah kuburan bapak bahkan masih basah, tetapi kalian berbicara soal warisan. Aku sungguh tidak percaya yang aku dengar ini.”
“Apa kalian tidak malu didengar oleh ibu-ibu yang sedang memasak di sebelah? Mereka bahkan tidak akan sanggup menelan makanan yang mereka masak sendiri jika mendengar pertengkaran kalian ini!”
Setelah berteriak murka, Nina meletakkan bungkusan makanan di hadapan mereka dengan kasar, kemudian memilih pergi. Ia benar-benar kesal. Ia tidak habis pikir, mereka sudah berebut rumah itu sementara ibu mertuanya masih hidup.
Nina kembali ke rumah Mbak Sri dengan hati dongkol. Dengan wajah merah menahan marah dia membuka kulkas Mbak Sri. Menuang segelas penuh air putih, lalu menenggaknya hingga tandas. Ia ingin mendinginkan kepala. Setelah itu baru kembali ikut bergabung dengan mereka yang sedang berada di dapur.
Tapi sayang, bukannya menjadi dingin, kepalanya malah terasa semakin mendidih.
“Mbak Romlah?” gumamnya.
“Untuk apa si janda bolong itu ke sini? Mau bantu masak? Apa dia sedang cari muka?” Nina merasa geram. Apalagi ketika dia melihat Mbak Sari, istri kang Damin justru berakrab ria ngobrol sambil ketawa-ketiwi dengan Romlah.
“Mau apa kamu ke sini?” Nina bertanya sambil berkacak pinggang. Nafasnya memburu menahan amarah yang siap meledak.
“Nina, aku datang karena ikut berbela sungkawa. Dan aku juga mau bantu-bantu. Maaf aku baru sempat. Pasar sangat ramai, jadi aku benar-benar repot.” Suara Romlah yang mendayu-dayu malah membuat Nina serasa mau muntah. Si janda bolong itu benar-benar pintar bermulut manis.
“Serius, kamu ke sini cuma mau bantu masak? Bukan mau nyari mas Wito?” Nina bersedekap sambil menatap Romlah tajam. Diliriknya wajah mbak Sari yang terlihat pias. Nina kesal dengan kakak iparnya itu. Padahal wanita itu tahu kalau Romlah adalah selingkuhan Wito, tapi seolah Mbak Sari melupakan fakta itu.
“Nina? Kok kamu ngomongnya gitu sih?”
Cih, playing victim. Bermain peran sebagai korban. Seolah-olah dia sedang dibuly. Nina merasa muak melihat tampang sok polos Romlah yang ingin menunjukkan seakan Nina adalah sosok yang jahat.
“Hush,,, Nina! Kowe kui piye to? Romlah itu datang mau bantu-bantu loh. Kok malah sikap kamu seperti itu?”
“Lha iyo, Nin. Di sini itu kamu tuan rumah. Harusnya berterima kasih karena Romlah sudah datang. Mana dia juga bantu buat urun snack loh!”
“Iya, dia itu baik di mata kalian. Karena bukan suami kalian yang diajak tidur sama dia. Tapi suamiku!” Nina ingin membuka mata mereka semua. Selama ini mereka hanya tahu kalau Wito bekerja di tempat Romlah. Tapi tak satupun yang tahu, kalau Romlah juga memberi pekerjaan sampingan pada Wito sebagai tukang cangkul di atas tempat tidur.
“Kamu itu kok sayo ngawur kalau ngomong. Kamu itu stress mergo morotuo-mu mati opo piye?”
Tuh kan benar? Dan akhirnya Nina yang jadi tersangka pelaku kejahatan. Nina memilih diam. Situasi sedang tidak memungkinkan untuk dia membongkar semuanya. Dia juga tidak mau situasi di dapur menjadi kacau. Jika para ibu-ibu yang sedang bantu-bantu kemudian memilih pulang karena keributan, habislah dia.
tak or yak?