Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon menendang pintu apartemennya hingga terbuka lebar, melempar jaketnya sembarangan ke sofa, lalu menjatuhkan diri ke kasur tanpa peduli sepatu yang masih melekat di kakinya.
Sial. Hidupnya tiba-tiba jadi roller coaster, dan dia sudah muak dengan semua drama perusahaan. Jika ayahnya berpikir bisa mengendalikannya seperti bidak catur, maka dia salah besar.
Jika Deon tak bisa bermain di perusahaan itu, maka dia akan kembali ke dunianya yang lama. Dunia yang lebih bebas, lebih liar, dan lebih menyenangkan.
Tanpa membuang waktu, dia meraih ponselnya dan mengetik cepat.
Deon: Bro, ngumpul di klub lama. Gue butuh hiburan.
Tak butuh waktu lama sebelum balasan masuk.
Reno: Udah kuduga lo bakal balik juga, bocah tengil. Kita tunggu di VIP room.
Deon tersenyum miring, lalu bangkit, mengganti pakaian dengan jaket kulit hitam, dan keluar dari apartemennya.
__
Klub malam itu masih sama seperti dulu, penuh dengan dentuman musik, lampu warna-warni yang berkedip liar, dan orang-orang yang tenggelam dalam euforia malam.
Begitu Deon masuk, beberapa wajah familiar langsung menoleh. Beberapa wanita tersenyum menggoda, beberapa pria menyeringai melihat si anak hilang kembali ke habitatnya.
“DEON!” Reno berteriak dari dalam ruangan VIP, mengangkat botol sampanye ke udara.
Deon tertawa, langsung menghampiri gengnya. Begitu dia duduk, seorang pelayan cantik datang membawakan minuman.
"Balik juga lo akhirnya," kata Arya, menepuk pundaknya. "Gimana rasanya jadi anak magang? Hahaha!"
Deon mengambil gelasnya dan memutar isinya dengan santai. "Menyebalkan. Tapi sekarang gue udah balik."
"Gue denger lo bikin kacau di sana," ujar Reno, menyalakan cerutunya. "Saham bokap lo turun, skandal perusahaan meledak. Lo bener-bener bikin si Tuan Deandra sakit kepala, ya?"
Deon tersenyum kecil, tapi matanya dingin. "Gue cuma ngelakuin apa yang harus gue lakuin, terus salah gue dimana coba?"
Arya tertawa. "Dan sekarang? Lo mau tetap main bisnis atau balik ke kehidupan lama?"
Deon menyandarkan tubuhnya ke sofa, meneguk minumannya, lalu menyeringai.
"Kita lihat aja nanti, dunia bisnis juga nggak seburuk itu menurut gue. Tapi ntahlah, gue mau happy happy dulu malam ini." katanya, menikmati malamnya tanpa beban.
Sementara itu, jauh di tempat lain, Deandra Argadewantara, sang ayah duduk di kantornya, menatap laporan terbaru yang menunjukkan transaksi mencurigakan di rekening pribadinya.
Dia menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan lelah.
"Sialan," gumamnya.
Deon sudah kembali ke kehidupannya yang lama.
Dan itu justru jauh lebih berbahaya.
Sementara Deon menikmati malamnya dengan tawa dan dentuman musik, ponselnya bergetar di meja. Sekilas, dia melirik layar. Nomor tak dikenal.
Dia mengabaikannya. Tapi ponsel itu bergetar lagi. Dan lagi.
Merasa terganggu, Deon akhirnya mengangkatnya dengan malas. "Halo?"
Suara di seberang terdengar berat dan datar. "Lo pikir bisa kabur semudah itu, Deon?"
Seketika, tawa di ruangan VIP itu meredup. Deon menyipitkan mata, mencoba mengenali suara itu. "Siapa lo?"
Suara itu tertawa kecil, rendah, penuh ancaman. "Gue cuma mau kasih tau Ayah lo bukan satu-satunya yang marah sama lo."
Sebelum Deon bisa merespons, panggilan itu terputus.
Deon menurunkan ponselnya, dahinya berkerut. Rasa santainya menguap seketika.
Reno, yang duduk di seberang, memperhatikan perubahan ekspresi itu. "Kenapa? Lo keliatan nggak santai."
Deon menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam.
"Seseorang baru aja ngajak gue main."
Dan kalau itu tantangan, Deon nggak akan mundur.
Deon mengepalkan ponselnya, rahangnya mengeras.
Oke, kalau ada yang berani mengancamnya, berarti ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi. Sesuatu yang bahkan ayahnya sendiri mungkin tidak ingin dia tahu.
Tanpa bicara, dia berdiri. Musik, tawa, dan gemerlap lampu klub tiba-tiba terasa jauh di belakangnya.
Fokusnya kini hanya satu, mencari tahu siapa dalang di balik panggilan itu.
"Oi, mau ke mana lo?" tanya Reno, menaikkan alisnya.
Deon meraih jaketnya dan menyeringai kecil, tapi senyumnya tak lagi hangat. Itu senyum seseorang yang baru saja menemukan permainan baru.
"Gue ada urusan," jawabnya singkat, lalu berbalik pergi.
Begitu dia keluar dari klub, udara malam yang dingin menyambutnya. Dia menarik napas dalam, lalu menekan nomor seseorang di kontaknya.
"Dapatkan semua data transaksi mencurigakan yang ada di perusahaan," katanya tanpa basa-basi. "Dan cari tahu siapa saja yang merasa terganggu sama yang gue lakukan."
Suara di seberang terdengar terkejut. "Lo serius?"
Deon tersenyum miring. "Gue nggak pernah setengah-setengah."
Panggilan berakhir. Deon menatap langit malam, matanya berkilat penuh rencana.
Kalau seseorang menganggap dia masalah maka dia akan jadi masalah yang lebih besar lagi.
Deon memasukkan ponselnya ke saku, lalu memasang hoodie-nya. Udara malam menusuk kulitnya, tapi dia sama sekali tak peduli.
Malam ini, dia bukan lagi anak magang yang dibuang begitu saja, dia adalah seseorang yang akan mengacaukan permainan ini.
Langkahnya cepat, penuh keyakinan. Ada sesuatu yang menggelitik nalurinya, seperti firasat bahwa ini lebih dari sekadar penggelapan biasa.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini pesan masuk.
"Berhenti cari tahu, atau lo bakal menyesal."
Deon mendengus, lalu mengetik balasan dengan santai.
"Lo pikir gue takut?"
Tiga titik indikasi mengetik muncul. Tapi sebelum pesan lain masuk, sebuah motor hitam melaju kencang ke arahnya. Lampunya redup, knalpotnya menggeram seperti predator yang mengincar mangsa.
Seketika, instingnya menendang. Deon melompat ke samping, nyaris saja motor itu menyambar tubuhnya. Ban berdecit keras, meninggalkan bekas di aspal.
Pengendara itu tidak berhenti. Dia hanya melaju lurus ke kegelapan, menghilang begitu saja.
Deon bangkit perlahan, matanya menyipit. Nafasnya masih terengah, tapi bibirnya melengkung membentuk seringai.
"Oke," gumamnya. "Sekarang gue tau gue di jalur yang benar."
Dan kalau mereka mau bermain kotor, Deon juga bisa lebih kotor lagi.
__
“Deon tidak boleh tahu soal ini, Tuan Deandra! Dia sudah menggali terlalu dalam!”
Deandra mendesis, matanya menyipit tajam. “Tutup mulutmu!”
Direksi itu menggebrak meja, napasnya memburu. “Bagaimana aku bisa menutup mulut kalau putramu sendiri sudah mulai membongkar rahasia yang kita jaga bertahun-tahun?! Kau pikir ini lelucon?! Ini lebih dari sekadar skandal biasa, Deandra! Ini taruhannya nyawa, bukan hanya perusahaan!”
Deandra mengusap wajahnya, frustrasi. “Sialan! Aku tidak menyangka dia akan sejauh ini.”
Direksi itu tertawa pahit. “Menghukum putramu dengan magang di perusahaan ini adalah kesalahan terbesar yang pernah kau buat! Kau berpikir itu akan membuatnya paham soal dunia bisnis? Tidak! Itu malah memberinya kesempatan untuk menyentuh hal-hal yang seharusnya tidak dia sentuh!”
Deandra menatap tajam, rahangnya mengeras. “Bagaimana aku tahu kalau dia akan jadi ancaman seperti ini?! Dia hanya anak manja yang tidak peduli apa pun selain hidupnya sendiri! Aku berpikir dia akan menyerah di tengah jalan, bukan justru menemukan sesuatu yang bahkan tidak boleh diungkapkan!”
Direksi itu mencondongkan tubuh ke depan, suaranya penuh tekanan. “Tapi sekarang dia sudah tahu. Kau pikir, setelah ini dia akan diam? Tidak, Tuan Deandra. Anak itu keras kepala, sama sepertimu! Dan jika kau tidak segera mengambil tindakan, maka bersiaplah! Karena dia akan menjadi musuh yang jauh lebih berbahaya daripada siapa pun yang pernah kita hadapi!”
Deandra mengepalkan tangan, berusaha menahan amarahnya. “Aku akan mengurusnya.”
Direksi tertawa sinis. “Oh? Mengurusnya? Kau akan apa? Memintanya berhenti? Menyuruhnya pergi liburan? Atau mungkin… lebih dari itu?”
Deandra menatap tajam, lalu berbicara dingin. “Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan agar dia tidak melangkah lebih jauh. Jika itu artinya, menghancurkan semangatnya sendiri, maka biarlah begitu.”
Direksi menatapnya, ragu sejenak. “Kau serius?”
Deandra mengambil napas dalam, lalu berbalik. “Anak itu terlalu pintar untuk kebaikannya sendiri. Dan aku… tidak akan membiarkan dia menghancurkan segalanya.”
Keheningan melingkupi ruangan itu. Tidak ada yang berani berbicara lebih jauh. Namun di balik tatapan tajam mereka, satu hal sudah jelas permainan ini baru saja dimulai.
Tapi sebelum percakapan itu benar-benar berakhir, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar.
"Oh, jadi begini permainan kalian?"
Suara Deon menggema di dalam ruangan, membuat semua orang membeku di tempatnya. Dia berdiri di ambang pintu, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, ekspresinya gelap sangat berbeda dari anak manja yang dulu mereka kenal.
Matanya berkilat tajam, penuh amarah yang dingin.
"Gue udah lama curiga, tapi gue berharap kecurigaan gue salah." Deon melangkah masuk dengan santai, tapi setiap gerakannya penuh tekanan. "Tapi ternyata, gue benar. Lo semua cuma segerombolan orang yang lebih peduli sama nyelametin diri sendiri daripada perusahaan ini."
Deandra menegang. "Deon, keluar dari sini. Ini bukan urusanmu."
Deon terkekeh kecil, tapi tawanya penuh dengan ejekan. "Oh, jadi sekarang ayah mau ngusir anak ayah sendiri? Konyol banget. Jelas jelas Ayah sendiri yang masukin aku ke dalam permainan ini. Sekarang gue udah duduk di meja judi, lo semua mau gue pergi? Nggak secepat itu."
Direksi itu yang tadi bersuara tajam kini tampak sedikit goyah. "D-Deon, ini bukan sesuatu yang bisa kau pahami kar-"
"Oh, percayalah, gue paham banget." Deon menyela dengan nada berbahaya. "Gue paham kalau lo semua nutup-nutupin sesuatu yang bisa ngancurin perusahaan ini. Gue paham kalau lo semua lebih takut kehilangan kursi lo daripada kehilangan segalanya."
Dia berjalan ke arah ayahnya, menatapnya langsung. "Dan Ayah. Ayah marah bukan karena aku bikin perusahaan rugi. Ayah marah karena aku hampir buka sesuatu yang Ayah mati-matian sembunyiin."
Deandra menghela napas panjang, wajahnya mengeras. "Jangan bertindak gegabah, Deon."
Deon menyeringai. "Oh, aku justru baru mau mulai."
Deon berjalan mendekat, matanya menatap tajam ke arah ayahnya yang tampak semakin gelisah. Setiap langkahnya menggema seperti ketukan palu, penuh tekanan. Dia berhenti hanya beberapa langkah dari Deandra, cukup dekat untuk merasakan ketegangan yang melayang di udara.
"Kalian pikir gue nggak bisa ngebongkar semuanya?" Deon bertanya dengan suara rendah namun tegas, matanya berkilat penuh ancaman. "Kalian semua udah main kotor terlalu lama. Kalian pikir gue bodoh, bahwa gue cuma anak magang yang bisa lo manipulasi dengan mudah? Lo semua salah besar."
Deandra tampak menegang, namun dia berusaha tetap tenang. "Jangan gegabah, Deon. Kamu belum tahu apa yang kamu hadapi."
Deon tersenyum tipis, tapi itu senyum yang penuh ketegangan dan rasa dendam. "Mungkin aku nggak tahu semuanya. Tapi aku tahu cukup untuk bikin kalian semua jatuh." Dia mengangkat tangannya, menunjuk satu per satu anggota direksi yang hadir di sana. "Kalian semua udah main-main dengan angka, dengan perusahaan, bahkan dengan nyawa orang. Gue nggak bisa tinggal diam lihat itu. Dan kalau kalian nggak percaya, gue siap buka mulut dan ngungkap semuanya."
Direksi yang tadi sempat menunjukkan kekuatan kini mulai tampak gelisah, saling pandang satu sama lain, seolah-olah mereka baru sadar betapa besar ancaman Deon. Namun Deon tidak peduli.
"Lo pikir gue nggak akan sanggup? Percaya deh, gue nggak butuh izin siapa pun untuk bikin semuanya terbongkar," lanjutnya, suara Deon semakin mengeras, penuh tekad. "Dan setelah semuanya jatuh, gue akan berdiri di atas puing-puing itu, dengan senyum puas, ngeliat lo semua bayar harga untuk apa yang udah lo lakukan!"
Deandra menggertakkan giginya, marah namun terjebak. Dia tahu, Deon bukan lagi anak muda yang gampang ditakut-takuti. Dia sudah berubah, dan kini Deon siap untuk menghancurkan semuanya demi balas dendam.
"Kamu nggak akan menang, Deon," kata Deandra, suara lebih tegang dari sebelumnya.
Deon tertawa kecil, suara itu dingin, penuh kebencian. "Jangan pernah bilang itu, Ayah. Karena kali ini, Ayah yang salah perhitungkan."
Dengan langkah penuh percaya diri, Deon berbalik dan meninggalkan ruangan itu, meninggalkan ayahnya yang terdiam dalam keputusasaan, serta direksi yang tampak panik, menyadari bahwa permainan yang mereka mainkan sudah berada di luar kendali mereka.