Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Dewa yang menjadi Petugas Keamanan
Kirana mengajak Arjuna ke sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Meja-meja kayu yang dipenuhi pelanggan, aroma makanan yang menggugah selera, dan suara piring beradu menciptakan suasana khas pagi di Jakarta.
Arjuna masih tampak ragu saat duduk di kursi plastik yang menurutnya terlalu sederhana dibandingkan kemegahan meja makan di Gunung Meru. Namun, matanya tak lepas dari piring-piring yang dihidangkan di sekelilingnya.
"Kau belum pernah makan makanan manusia, kan?" Kirana tersenyum kecil sambil memesan dua porsi nasi uduk dan segelas teh manis.
Arjuna mengangkat alis dengan sikap arogan. "Makanan manusia tampak... biasa saja."
Kirana tertawa pelan. "Kau akan terkejut."
Beberapa saat kemudian, makanan mereka tiba. Nasi uduk yang hangat dengan taburan bawang goreng, ayam goreng renyah, tahu, tempe, dan sambal yang menggoda. Arjuna memandangnya sejenak sebelum akhirnya mengambil satu suap.
Begitu makanan menyentuh lidahnya, mata Arjuna sedikit membesar. Rasanya... lebih lezat dari yang ia duga. Ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi Kirana sudah menyadarinya.
"Biasa saja?" goda Kirana.
Arjuna menelan makanannya dengan anggun dan menjawab datar, "Lumayan."
Kirana hanya terkekeh lalu mengaduk teh manisnya. Beberapa saat kemudian, ia menatap kosong ke arah jalan raya, seolah mengingat sesuatu.
"Dulu aku mahasiswa kedokteran," ucapnya tiba-tiba.
Arjuna menatapnya dengan sedikit tertarik. "Kedokteran?"
Kirana mengangguk. "Ya. Aku ingin menjadi dokter. Ingin menyelamatkan nyawa, membantu orang-orang yang membutuhkan. Aku selalu berpikir bahwa itu tujuan hidupku."
Ia berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Tapi dunia ini kejam, Arjuna. Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan."
Arjuna diam, menunggu Kirana melanjutkan.
"Orang tuaku meninggal ketika aku masih kuliah. Ayahku seorang buruh pabrik, ibuku seorang pedagang kecil. Mereka bekerja keras untuk membiayai kuliahku, tapi suatu hari... kecelakaan terjadi. Mereka pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian."
Arjuna melihat sekilas ekspresi Kirana yang berusaha tegar, tapi ada luka yang jelas terlihat di matanya.
"Aku mencoba bertahan. Aku bekerja siang malam untuk membayar kuliah, tapi uang yang kuterima tidak cukup. Hutang mulai menumpuk. Pada akhirnya, aku terpaksa berhenti dan menjalani hidup yang lebih keras dari yang pernah kubayangkan."
Kirana tersenyum pahit. "Dunia ini tidak adil, Arjuna. Seseorang bisa bekerja keras, memiliki impian besar, tapi tetap jatuh ke dalam jurang kemiskinan hanya karena takdir tidak berpihak padanya."
Arjuna terdiam. Ia memang belum memahami sepenuhnya bagaimana kerasnya kehidupan manusia, tapi cerita Kirana menyentuh sesuatu dalam dirinya.
"Dan sekarang?" tanya Arjuna.
Kirana menyesap tehnya. "Sekarang aku hanya mencoba bertahan. Hidup dari hari ke hari. Bekerja serabutan, melakukan apa saja yang bisa kulakukan untuk tetap hidup."
Arjuna menatap Kirana lebih lama. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya sekadar kekuatan atau kehormatan.
Dunia manusia mungkin tidak seperti Gunung Meru—tidak penuh dengan kejayaan, tidak dipenuhi dengan keabadian. Tapi ada sesuatu yang lebih nyata di sini: perjuangan, pengorbanan, dan keinginan untuk bertahan.
Arjuna tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melanjutkan makannya dalam diam, merenungkan semua yang baru saja ia dengar.
Setelah menyelesaikan sarapan mereka, Kirana dan Arjuna melanjutkan perjalanan ke tempat kerja Kirana. Arjuna masih memperhatikan suasana Jakarta yang ramai di pagi hari—kemacetan, klakson kendaraan yang bersahut-sahutan, orang-orang berlalu lalang dengan wajah penuh ekspresi kesibukan.
Arjuna tidak mengatakan apa pun, tapi matanya menangkap setiap detail. Ini dunia yang sangat berbeda dari Gunung Meru—penuh dengan manusia yang terburu-buru, saling berebut waktu dan kesempatan.
"Ini tempat kerjamu?" Arjuna bertanya ketika mereka tiba di sebuah gedung perkantoran yang cukup besar.
Kirana mengangguk. "Ya, aku bekerja di sini sebagai asisten administrasi. Aku akan mencoba berbicara dengan bosku. Mungkin dia bisa memberimu pekerjaan."
Mereka memasuki gedung, dan begitu mereka tiba di lantai kantor, semua perhatian langsung tertuju pada mereka—lebih tepatnya, pada Arjuna.
Para pegawai, terutama para wanita, langsung terdiam sesaat begitu melihat pria tinggi, berambut panjang dengan wajah yang begitu tampan dan karismatik itu. Mata mereka membelalak, beberapa bahkan saling berbisik.
"Astaga... siapa itu?"
"Gila, cakep banget!"
"Kayak dewa... beneran dewa."
Arjuna, yang terbiasa dengan pujian dan kekaguman, hanya menatap mereka dengan ekspresi angkuh. Senyum tipis penuh percaya diri terukir di wajahnya.
Salah satu rekan kerja Kirana, seorang wanita muda bernama Rina, langsung menghampiri mereka. "Kirana... siapa pria ini?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Kirana sedikit canggung. "Dia... teman baru."
Rina memandang Arjuna dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tersenyum genit. "Halo, nama aku Rina. Kamu siapa?"
Arjuna menatapnya dengan tajam, lalu menjawab dengan penuh percaya diri, "Aku Arjuna."
Nama itu terdengar asing bagi mereka, tetapi pesona Arjuna begitu kuat sehingga mereka tidak terlalu peduli. Beberapa wanita lain mulai mendekat, berusaha mencari cara untuk berbicara dengannya.
"Arjuna, kamu dari mana?"
"Sudah lama kenal Kirana?"
"Kamu model, ya?"
Arjuna menoleh ke Kirana dengan tatapan penuh kemenangan. "Sepertinya manusia di sini masih tahu bagaimana menghormati seorang dewa."
Kirana memutar matanya. "Bukan hormat. Itu karena kamu terlalu tampan."
Arjuna tersenyum sombong. "Hasil yang sama."
Sementara itu, para pria di kantor mulai memperhatikan situasi dengan ekspresi kesal. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan kemeja ketat bernama Aldi, berbisik kepada temannya. "Lelaki macam apa ini? Baru datang sudah jadi pusat perhatian."
Kirana menarik lengan Arjuna dan berbisik, "Sudah cukup. Kita harus menemui bosku."
Arjuna mengangkat bahu dan mengikuti Kirana menuju ruang kerja atasan Kirana, meninggalkan sekelompok wanita yang masih terpesona dan pria-pria yang merasa tersaingi.
Kirana mengetuk pintu dengan ragu sebelum akhirnya membukanya. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal dan perut sedikit buncit sedang duduk di balik meja kerjanya. Wajahnya serius, dengan kerutan di dahinya yang menandakan pengalaman panjang dalam dunia bisnis.
Pak Darmono, atasan Kirana, mengangkat kepalanya dan menatap keduanya dengan penasaran. "Kirana? Ada apa? Dan siapa pria ini?"
Kirana menarik napas dalam. "Pak, saya ingin memperkenalkan Arjuna. Dia... teman saya yang sedang mencari pekerjaan."
Pak Darmono mengamati Arjuna dengan seksama, alisnya sedikit terangkat. "Arjuna, ya?" Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dari mana asalmu?"
Arjuna, masih dengan sikap angkuhnya, menatap Pak Darmono dengan mata tajam. "Aku berasal dari tempat yang jauh di atas dunia ini."
Pak Darmono mengerutkan dahi, bingung dengan jawaban itu. "Hah?"
Kirana langsung menyela, "Maksudnya, dia berasal dari luar kota. Dia belum lama di Jakarta."
Pak Darmono mengangguk pelan, tapi tetap terlihat skeptis. "Punya pengalaman kerja sebelumnya?"
Arjuna melipat tangannya di dada. "Aku seorang pejuang. Aku sudah bertarung di banyak medan, melawan musuh yang bahkan namanya tidak layak disebut."
Pak Darmono memicingkan mata. "Maksudmu, kamu seorang petarung?"
Kirana buru-buru menyikut Arjuna sebelum dia bicara lebih jauh. "Maksudnya, dia sangat disiplin dan pekerja keras, Pak. Saya yakin dia bisa diandalkan."
Pak Darmono menghela napas. "Hmmm… kamu punya keahlian apa?"
Arjuna berpikir sejenak. "Aku ahli dalam strategi, kepemimpinan, dan pertarungan."
Pak Darmono mengangkat alisnya. "Pertarungan?"
Arjuna mengangguk bangga. "Aku bisa mengalahkan sepuluh prajurit dalam waktu singkat, bahkan dalam kondisi terborgol."
Pak Darmono mengerutkan dahi lebih dalam, sementara Kirana menahan napas, berharap bosnya tidak menganggap Arjuna sebagai orang gila.
Akhirnya, Pak Darmono menghela napas panjang. "Baiklah, aku tidak tahu seberapa hebat keterampilan bertarungmu, tapi aku bisa memberimu pekerjaan sebagai petugas keamanan sementara. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup."
Arjuna menatapnya, agak tersinggung. "Petugas keamanan?"
Kirana buru-buru menyikutnya lagi dan berbisik, "Terima saja dulu, daripada tidak ada kerjaan sama sekali!"
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Arjuna mengangguk dengan enggan. "Baiklah. Aku akan menerima tantangan ini."
Pak Darmono mengangguk. "Bagus. Mulai besok, kamu bisa datang dan bekerja. Jangan buat masalah."
Kirana tersenyum lega. "Terima kasih, Pak Darmono!"
Saat mereka keluar dari ruangan, Arjuna masih terlihat tidak puas. "Petugas keamanan? Itu jauh dari takdirku sebagai penguasa perang."
Kirana menepuk bahunya sambil tersenyum. "Selamat datang di dunia manusia, Arjuna."
Di puncak Gunung Meru, di dalam istana megah yang berdiri kokoh di antara awan dan cahaya mistis, Dewa Arka Dewa duduk di singgasana emasnya. Sorot matanya tajam, memperhatikan sebuah artefak berbentuk cermin berkilauan yang melayang di udara di depannya. Artefak ini bukan benda biasa—ini adalah Cakra Nawasena, mata para dewa yang mampu menembus ruang dan waktu, memperlihatkan apa yang terjadi di alam manusia.
Di dalam pantulan artefak itu, terlihat sosok Arjuna yang berjalan di tengah hiruk-pikuk Kota Jakarta, wajahnya penuh kebingungan dan sedikit kesombongan. Arka Dewa mengamati dengan seksama saat putranya berinteraksi dengan manusia, mencoba memahami kehidupan yang jauh berbeda dari kemewahan Gunung Meru.
Dewi Laksmi berjalan mendekat, jubah emasnya berkilauan di bawah cahaya istana. "Kau masih terus mengawasinya?" tanyanya lembut, berdiri di samping suaminya.
Arka Dewa menghela napas berat. "Dia masih angkuh, masih sombong. Tapi... dia mulai memahami arti kehilangan. Kehidupan di dunia manusia akan mengajarkannya lebih banyak hal daripada yang bisa kita katakan."
Dewi Laksmi menatap cermin itu, melihat Arjuna yang kini duduk bersama seorang wanita manusia bernama Kirana. "Dia tidak sendiri. Ada seseorang di sisinya."
Arka Dewa mengangguk. "Mungkin ini bagian dari takdirnya. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia sepenuhnya lepas dari pengawasanku."