Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Kecerdikan
Dante duduk di ruang kantornya, menatap laporan yang bertumpuk di meja. Satu demi satu bisnisnya mulai jatuh. Beberapa wilayah penyelundupan sudah tidak lagi setia padanya, transaksi ilegal yang biasanya berjalan mulus kini terganggu oleh kekuatan baru yang misterius.
Tapi Dante bukan orang bodoh. Dia tahu siapa yang ada di balik semua ini.
Valeria.
Wanita itu tidak hanya menghilang dari kehidupannya, tetapi juga merampas kekuasaannya. Perlahan. Licik. Sempurna.
Luca masuk ke dalam ruangan, ekspresinya lebih serius dari biasanya. “Ada berita buruk lagi.”
Dante tidak menjawab. Dia hanya menatap Luca dengan dingin, menunggu kabar buruk lainnya.
Luca meletakkan sebuah map di atas meja. “Gabriele dan anak buahnya membelot.”
Dante mengangkat alis. “Ke siapa?”
Luca menghela napas. “Orang-orang yang sekarang mengendalikan wilayah Napoli.”
Dante menutup matanya sejenak. Ia tidak perlu mendengar lebih lanjut. Ia sudah tahu jawabannya.
“Apa mereka menyebut nama Valeria?” tanyanya akhirnya.
Luca menggeleng. “Tidak. Seolah-olah dia hantu. Tidak ada yang bisa memastikan dia benar-benar ada di balik ini semua.”
Dante terkekeh pelan. “Itu artinya dia ada di sana.”
Luca diam, menunggu perintah.
Dante bersandar di kursinya, pikirannya berputar. Valeria tidak hanya ingin menghancurkannya—dia ingin Dante merasakan setiap detik penderitaan itu, ingin melihatnya kehilangan segalanya secara perlahan.
Dia ingin membuatnya jatuh sebelum datang untuk menghabisinya sendiri.
Dan itu, bagi Dante, adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.
“Sebarkan pesan,” katanya akhirnya. “Siapa pun yang membawa Valeria padaku, hidup atau mati, akan mendapatkan apapun yang mereka inginkan.”
Luca ragu sejenak. “Kau benar-benar ingin dia mati?”
Dante tidak menjawab.
Karena jauh di lubuk hatinya, dia tahu jawabannya lebih rumit dari itu.
Dante tidak pernah kehilangan kendali sebelumnya. Selama bertahun-tahun, ia adalah penguasa bayangan yang tak tersentuh. Tapi sekarang, ia merasa seperti seekor binatang buas yang terluka—masih kuat, masih berbahaya, tetapi perlahan dikepung oleh sesuatu yang lebih licik.
Dan ia tahu siapa dalangnya.
Valeria.
Wanita itu tidak hanya mencuri kekuasaannya, tapi juga mempermainkannya.
Malam itu, Dante berdiri di balkon penthouse-nya, menatap gelapnya kota yang pernah ia kendalikan dengan mutlak.
“Dia bergerak terlalu cepat,” suara Luca terdengar dari belakangnya.
Dante tidak menoleh. “Dia sudah merencanakannya sejak awal.”
Luca menghela napas. “Bagaimana jika kita mundur? Fokus pada mempertahankan wilayah yang tersisa?”
Dante terkekeh pelan, nada suaranya dipenuhi kemarahan yang ditahan. “Dan membiarkan dia menang? Kau pikir aku siapa, Luca?”
Luca diam. Ia sudah cukup lama bersama Dante untuk tahu bahwa pria itu tidak akan mundur.
“Dia masih menyembunyikan dirinya dengan baik,” lanjut Luca. “Tidak ada jejak langsung. Orang-orang kita di Napoli, Milan, bahkan Sisilia—semuanya hanya menghadapi bayangannya.”
Dante akhirnya berbalik, tatapannya tajam. “Itu karena dia tahu aku mencarinya.”
Luca mengangguk. “Lalu apa yang akan kita lakukan?”
Dante tersenyum miring. Senyum seorang predator yang akhirnya menemukan cara untuk memburu mangsanya.
“Kita buat dia datang padaku.”
---
di tempat lain…
Valeria duduk di sebuah ruangan gelap dengan jendela besar yang menghadap ke jalanan sibuk Milan. Di tangannya, segelas anggur merah berputar perlahan.
Di seberangnya, Matteo menunggu, ekspresinya penuh kehati-hatian.
“Dante baru saja mengeluarkan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa membawaku kepadanya,” kata Valeria santai, menyesap anggurnya. “Hidup atau mati.”
Matteo menegang. “Haruskah kita bergerak lebih hati-hati?”
Valeria tersenyum. “Tidak. Justru ini yang aku tunggu.”
Matteo mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Valeria bangkit, melangkah mendekati jendela.
“Dante akhirnya mulai bermain dengan aturanku,” katanya pelan. “Dan kau tahu apa yang terjadi ketika seseorang bermain di dunia yang bukan miliknya?”
Ia menoleh, matanya berkilat.
“Mereka kalah.”
Matteo menelan ludah. Ia mengenal Dante Salvatore. Semua orang di dunia bawah mengenalnya. Dan tidak ada yang berani menyatakan Dante akan kalah.
Kecuali Valeria.
Dan yang lebih mengerikan?
Dia benar-benar percaya itu.
---
Malam itu, Milan dipenuhi cahaya dari pesta paling mewah yang diadakan oleh salah satu keluarga mafia tertua di Italia. Orang-orang dengan gaun mahal dan setelan berkelas berbaur, menyembunyikan kejahatan mereka di balik senyum dan obrolan santai.
Di antara mereka, dua sosok berdiri di sisi ruangan yang berlawanan—seperti dua raja di medan perang, saling mengamati dari kejauhan.
Dante Salvatore.
Valeria.
Mereka akhirnya bertemu kembali.
Dante mengenakan setelan hitam sempurna, ekspresinya tetap dingin, tetapi sorot matanya menyala dengan sesuatu yang lebih dalam—kemarahan, rasa penasaran, dan obsesi yang belum mati.
Valeria, di sisi lain, tampak mematikan dalam gaun merah darah, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang penuh arti. Ia tahu Dante akan datang. Dan ia siap.
Luca bergerak mendekat ke arah Dante. “Dia datang tanpa pengawal,” bisiknya.
Dante terkekeh pelan. “Tentu saja. Dia tahu aku tidak akan membunuhnya di tempat seperti ini.”
Luca ragu. “Bagaimana kalau dia yang mencoba membunuhmu?”
Dante melirik Valeria, lalu tersenyum miring. “Dia tidak akan melakukannya.”
“Kenapa kau begitu yakin?”
Dante menyesap minumannya, masih menatap Valeria tanpa berkedip.
“Karena dia menikmati permainan ini.”
Valeria, yang berdiri di seberang ruangan, akhirnya bergerak. Dengan langkah tenang, ia mendekat, menembus kerumunan seperti ular berbisa yang meluncur di antara mangsanya.
Ketika ia sampai di depan Dante, keduanya hanya saling menatap dalam diam.
Dante akhirnya berbicara lebih dulu. “Kau mengambil sesuatu yang bukan milikmu, Valeria.”
Valeria tersenyum kecil. “Aku hanya mengambil sesuatu yang pantas menjadi milikku.”
Mata mereka terkunci dalam perang yang tak terlihat.
“Kau pikir bisa menggantikanku?” suara Dante rendah, berbahaya.
Valeria menyesap anggurnya sebelum menjawab, “Aku tidak ingin menggantikanmu, Dante.”
Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan.
“Aku ingin menghancurkanmu.”
Dante tersenyum. “Kau mencoba, tapi lihat di mana kita sekarang. Kau berdiri di depanku, dalam permainan yang aku ciptakan.”
Valeria tertawa kecil. “Kau salah. Ini bukan permainan yang kau ciptakan, Dante.”
Ia menatapnya dengan mata penuh kegilaan yang tersembunyi di balik ketenangan.
“Aku hanya membiarkanmu berpikir kau masih mengendalikan segalanya.”
Detik itu, Dante menyadari sesuatu yang berbahaya.
Valeria tidak hanya mencoba merebut kekuasaannya.
Dia sudah berada selangkah di depan.
---
Dante menatap Valeria dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. Kata-katanya tadi menggelitik, tetapi tidak cukup untuk membuatnya goyah.
“Aku harus mengakui,” katanya pelan, suaranya penuh kepastian, “kau bermain dengan baik.”
Valeria menaikkan alis, menyesap anggurnya dengan santai. “Aku tahu.”
Dante mendekat, matanya mengunci milik Valeria. “Tapi ada satu hal yang tidak kau sadari.”
Valeria tersenyum samar. “Dan apa itu?”
Dante mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya hanya bisa didengar oleh Valeria.
“Aku sudah tahu langkahmu sebelum kau melakukannya.”
Valeria sempat membeku sepersekian detik, tetapi dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. “Benarkah?”
Dante mengangguk santai. “Orang-orang yang kau pikir telah berkhianat padaku?” Ia tersenyum sinis. “Mereka masih bekerja untukku.”
Valeria menggenggam gelas anggurnya sedikit lebih erat.
“Aku biarkan kau berpikir kau selangkah lebih maju,” lanjut Dante. “Aku biarkan kau mencuri wilayahku, mengambil orang-orangku. Kau bahkan mengira bisa memegang kendali atas permainan ini.”
Tatapan Valeria mengeras, tetapi bibirnya tetap tersenyum. “Kau terlalu percaya diri, Dante.”
Dante tertawa kecil. “Dan kau terlalu ceroboh, Valeria.”
Valeria hendak membalas, tetapi tiba-tiba Matteo, orang kepercayaannya, datang mendekat dengan ekspresi panik.
“Ada yang tidak beres,” bisik Matteo di telinganya.
Valeria meliriknya tajam. “Apa maksudmu?”
Matteo tampak ragu, tetapi akhirnya berkata, “Beberapa orang kita... menghilang.”
Valeria merasakan dingin merambat di punggungnya.
Dante memperhatikan reaksi kecil itu dan terkekeh. “Sepertinya kau baru saja menyadari sesuatu.”
Ia meneguk minumannya dengan tenang sebelum menatap Valeria dengan sorot penuh kemenangan.
“Kau bermain api, Valeria.” Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan berbahaya.
“Tapi aku adalah api itu sendiri.”
Detik itu, Valeria tahu—Dante sudah selangkah lebih maju darinya.
Dan pertarungan mereka baru saja berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mematikan.