Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 03
Ibu pemilik kontrakan menatap sungkan seraya memijit pelipis. “Sebetulnya, sudah ada orang yang mau menyewa dengan harga lebih tinggi, tapi saya kasihan denganmu. Belum lama pindah ke tempat asing, kebetulan pula jarak tempuh kerumah sakit dimana dirimu bekerja begitu dekat. Jadi, saya mencoba mempertimbangkannya lagi.”
Nirma menghela napas berat, punggungnya bersandar pada kusen pintu. “Kira-kira naik berapa ya, Bu?”
“Cuma 20 ribu,” jawabnya tegas.
‘20 ribu di bilang cuma, uang segitu bukanlah nominal kecil bagiku yang sedang berhemat ini,’ batinnya menggerutu.
“Apa tak bisa di tawar, Bu? Itu nominal lumayan mahal bagi saya yang hanya seorang perawat di rumah sakit kecil,” lirihnya mencoba peruntungan.
“Tak bisa, Nirma. Sekarang apa-apa itu mahal.”
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Nirma, selain menerima kenaikan harga sewa kontrakan, jika dirinya memilih pindah akan memakan biaya lagi, belum tentu juga dapat hunian disekitar rumah sakit tempatnya mencari rezeki, yang mana tidak memerlukan biaya transportasi bila hendak pergi dan pulang kerja, sebab sehari-hari bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
“Baiklah, Bu. Saya setuju,” putusnya kemudian dengan nada lemah.
Kemudian pemilik kontrakan berlalu dari sana. Nirma masih pada posisi semula, bersandar di sisi pintu, netranya menerawang jauh.
‘Harus bagaimana lagi aku mengatur keuangan? Mana Kamal sudah mulai MPASI, belum lagi membayar upah wak Sarmi,’ batinnya menangis pilu memikirkan nasib kedepannya.
Sang putra sudah mengonsumsi makanan pendamping ASI, dirinya telah bertekad ingin memberikan yang terbaik sebagai penebus dosa serta rasa bersalah, tentu saja akan menjauhkan Kamal dari makanan mengandung bahan pengawet.
Hal tersebut sudah dapat dipastikan menguras kantong, seperti membuat kaldu dari daging ayam ataupun ikan, tak ketinggalan buah-buahan segar agar gizi anaknya terpenuhi.
“Apa ku terima saja uluran tangan dari Mamak dan Mbak Mala ya?" tanyanya pada diri sendiri, tapi logikanya langsung menepis seraya menggeleng kepala. “Tak boleh, aku sudah berjanji mau berdiri di atas kakiku sendiri, sudah cukup diriku membebani mereka di masa lalu, jangan sampai terulang kembali.”
Ibu muda itu lantas berdiri tegak dan kembali menutup pintu, dirinya hendak bersiap berangkat kerja.
“Siapa yang datang, Ima?” tanya Wak Sarmi pura-pura tidak tahu, padahal dirinya mendengar jelas percakapan tadi.
Nirma menatap sendu pengasuh sang anak yang sedang merebus air di kompor sumbu. “Pemilik kontrakan, Wak. Dia memberitahukan kenaikan uang sewa,” ucapnya dengan raut masam sambil mengambil handuk di jemuran kawat dapur.
“Mengapa tiba-tiba sekali? Bukankah dua bulan yang lalu sudah dinaikan 5 ribu?” Kening Wak Sarmi mengerut.
Nirma mengedikkan kedua bahunya, menggeleng tanda dirinya sendiri pun tidak tahu, lalu masuk ke kamar mandi sederhana, yang mana hanya ada gentong air, gayung, dan wc jongkok, lantainya masih semen kasar.
.
.
Setengah jam kemudian, Nirma sudah rapi dengan pakaian dinas khas perawat, ia mengenakan hijab berwarna putih bersih.
“Nak, Ibuk berangkat kerja dulu ya,” pamitnya, mengecup lembut kening Kamal yang sedang disuapi oleh Wak Sarmi.
Bayi berbulu mata lentik, alis tebal, pipi tembam itu tersenyum seolah mengerti apa yang dikatakan oleh ibunya.
“Hati-hati, Ima! Bekalnya tak ketinggalan ‘kan?” tanya Wak Sarmi.
“Ini!” Nirma mengangkat tas yang ia jinjing, demi mengirit, dirinya selalu membawa bekal makan siang. “Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, dadah Ibuk.” Wak Sarmi melambaikan tangan kanan Kamal.
Hanya butuh 10 menit berjalan kaki menuju RS kawasan pelosok kabupaten, Nirma sampai di tempat penyimpanan barang sekaligus ruang istirahat, ia menaruh tas dan bekalnya dalam lemari bersekat kotak.
“Pagi, Ima!” sapa Dwi, rekan sejawatnya.
“Sepertinya ada yang lagi berbahagia ni, apa sebab wajah Kak Dwi begitu sumringah?” tanyanya penasaran.
Dwi meletakkan tas sandangnya di atas meja, wajahnya masih berseri-seri. “Aku diterima kerja di puskesmas kampung halaman ku, Ima.”
Auh … Nirma meringis kala jari telunjuknya tertusuk jarum tag nama yang belum sempurna dikaitkan pada bajunya.
“Kau ini, ceroboh betul!” Dwi menepis tangan Nirma, lalu mengaitkan peniti dengan benar.
“Mengapa begitu mudah, Kak? Bukankah baru empat hari yang lalu Kakak memasukkan lamaran kerja nya?”
“Sebetulnya aku juga heran sih, kok bisa lancar sekali prosesnya, seperti laju air terjun saja, tadinya pun tak percaya, tapi begitu Kakak ku yang memberi tahu lewat telepon umum, baru aku yakin.” Binar wajahnya terlihat begitu senang, akhirnya ia bisa hidup berdampingan dengan sang ibu yang sudah sepuh.
Meskipun bingung, tapi Nirma langsung memeluk teman baiknya ini. “Selamat ya Kak, bisa jadi ini berkat kekuatan doa Ibu Kakak. Aku ikut senang, sebentar lagi Dio akan punya banyak teman bermain.”
Dwi pun membalas, mengusap sayang punggung sang teman. “Aku doakan, semoga kau jua secepatnya bisa kembali ke kampung halamanmu, agar Kamal bisa mengenal para saudaranya dan memiliki teman sebaya.”
“Aamiin.” Nirma melerai pelukan mereka. “Jadi, kapan Kakak pulang kampungnya?”
“Mungkin akhir bulan ini, menunggu pengganti ku datang dulu.” Dwi menatap lembut wajah teman yang sudah hampir satu tahun bekerja bersama. “Kamal jadikan, dioperasi saat umurnya sudah 10 bulan, Ima? Kalau iya, nanti aku datang bersama suami dan Dio, kami ingin memberikan dukungan secara langsung.”
“Insya Allah, Kak,” jawabnya yakin, tapi dalam hati meragu. ‘Semoga saja tak ada aral melintang, dan uang tabungan khusus buat operasi Kamal tidak terpakai.’
Keinginan dua wanita itu sama, ingin memberikan masa kecil yang bahagia untuk buah hati mereka, bermain tanpa takut tertabrak kendaraan lalu lalang, dikarenakan tinggal di rumah kontrakkan yang tidak memiliki halaman luas dan langsung terhubung dengan jalan raya.
Lagipula, lingkungan tempat tinggal di perantauan, jarang ada anak kecil sebaya. Jadi, anak Nirma dan Dwi, lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang pengasuh.
Setelahnya, Nirma maupun Dwi mulai bertugas mengikuti dokter jaga mengecek kondisi terkini para pasien, membantu para orang sakit minum obat, dan lain sebagainya.
***
Hari terus berlalu, dari pagi beralih ke siang dan bertemu sang malam, sampai berganti minggu.
Akte cerai Nirma sudah turun, dan status cerai hidup telah tersemat di kartu tanda pengenal serta kartu keluarga.
Tiba waktunya bagi pengganti Dwi mulai masuk kerja, sosoknya terlihat pongah dengan senyum meremehkan kala melihat Nirma.
“Hai … mantan sahabat, akhirnya kita kembali dipertemukan. Tak ku sangka kalau mantan pelacur macam kau, bisa diterima kerja di rumah sakit ini. Aku jadi penasaran, kepada siapa dirimu mempersembahkan tubuh, Nirma?” ucapnya dengan nada sedikit keras.
Bisik-bisik pun terdengar jelas di pendengaran Nirma, dirinya berdiri kaku dengan kedua tangan terkepal erat.
Sosok itu mengikis habis jarak, mencondongkan badan, berbisik dengan nada mengejek tepat ditelinga Nirma. "Setelah menjadi pemuas nafsu gratisan, apa sekarang kau mengangkangi paha pria tua demi mendapatkan pekerjaan, Nirma ...?"
.
.
Bersambung.
restu dah dikantongi tinggal gasssss polllll resepsi yeeeeeeeee
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.