NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:894
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 16

Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi ketegangan yang menggantung seperti kabut tipis sebelum badai. Cahaya redup dari lampu gantung di langit-langit menciptakan bayangan panjang di dinding, seolah mengawasi setiap gerakan Amina.

Tangannya masih dicekal kuat oleh dua pria bertubuh besar di kedua sisi, tetapi pikirannya bekerja cepat. Matanya menyapu ruangan, mencari petunjuk atau sekutu yang bisa membantunya keluar dari situasi ini.

Di depannya, Michael berdiri dengan tangan bersedekap. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang ingin dia katakan sejak tadi.

"Jadi, apa pembelaanmu kali ini?" suaranya rendah, namun tajam seperti pisau. "Rekaman ini sudah cukup jelas."

Cahaya redup dari hologram terus berpendar di ruangan yang sunyi. Setiap pasang mata di ruangan itu terpaku pada layar, menyaksikan sosok dalam rekaman yang menyerupai Amina dengan cara yang mengerikan.

Amina merasakan udara semakin menekan. Pandangan orang-orang di sekelilingnya berubah. Kecurigaan memenuhi wajah mereka, seolah rekaman itu cukup untuk menghapus semua kepercayaan yang pernah mereka miliki terhadapnya.

Sial.

Dia mengatur napas, berusaha tetap tenang. Tapi otaknya bekerja cepat, memindai setiap detail dalam rekaman. Ada yang tidak beres. Bayangan, sudut kamera, atau bahkan sesuatu yang lebih kecil—ia harus menemukan celah sebelum semuanya semakin buruk.

Michael mengepalkan tinjunya, rahangnya mengeras. “Ini cukup jelas,” katanya tajam. “Bagaimana kau menjelaskan ini, Amina?”

Amina tidak langsung menjawab. Dia masih memusatkan pikirannya pada rekaman. Cara sosok itu bergerak… Terlalu sempurna. Gerakan yang seperti refleksi cermin.

Deepfake? Kloning digital? Atau lebih buruk lagi—seseorang yang menirunya?

Alexander bersandar di meja, menatapnya dengan ekspresi penuh perhitungan. Ia tidak tampak marah, tapi sorot matanya seperti pisau yang menguliti setiap gerakan Amina.

“Katakan sesuatu,” desaknya.

Amina mengangkat tangan, telapak tangannya menghadap ke atas, meminta waktu. Lalu, ia menunjuk layar. “Lihat baik-baik.”

Lorenzo yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Apa yang harus kami lihat?”

Amina menarik napas dalam. “Bayangannya.”

Ruangan sunyi seketika. Semua orang menoleh kembali ke hologram.

Michael mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Amina melangkah maju, menunjuk ke titik di rekaman. “Cahaya di ruangan itu datang dari sudut kiri atas, tapi bayangan tubuh ini jatuh ke arah kanan. Itu tidak mungkin.”

Michael terdiam sejenak, lalu beralih ke Alexander.

Alexander tetap diam, matanya tetap pada layar. Dia tidak mudah terpengaruh.

“Dan lihat pergelangan tangannya.” Amina memperbesar gambar. “Aku tidak memakai gelang ini.”

Lorenzo mengernyit, memperhatikan detail yang ditunjukkan Amina. Memang benar. Sosok di rekaman itu memakai gelang hitam tipis di tangan kanan—sesuatu yang Amina tidak pernah kenakan.

Michael menghembuskan napas kasar. “Oke, jadi ada kejanggalan. Tapi itu tidak cukup membuktikan kalau ini palsu.”

Amina menoleh, menatapnya tajam. “Tidak cukup? Ini berarti seseorang telah merekayasa video ini dengan tingkat detail tinggi. Pertanyaannya sekarang bukan ‘Apakah aku bersalah?’ tapi ‘Siapa yang ingin menjebakku?’”

Keheningan kembali melingkupi ruangan.

Alexander masih belum berkata apa pun. Ia mengangkat dagunya sedikit, ekspresi wajahnya tetap netral.

“Masuk akal,” gumam Lorenzo, lebih kepada dirinya sendiri. “Seseorang ingin kita mempercayai rekaman ini.”

Michael masih tampak enggan menerima, tapi ia tidak bisa menyangkal fakta.

Lalu, sebuah suara lain memecah kesunyian.

“Tuan,” seorang anak buah Alexander masuk dengan ekspresi cemas. “Kami mendapat laporan bahwa seseorang baru saja meretas sistem keamanan kita.”

Semua orang menegang.

Alexander menoleh cepat. “Apa?”

“Server utama kami disusupi. Seseorang mengakses rekaman ini dari sumber eksternal. Dan…” Pria itu menelan ludah. “Data asli sudah dihapus.”

Jantung Amina berdegup kencang.

Ini bukan kebetulan.

Michael melangkah maju. “Siapa yang melakukannya?”

Anak buah Alexander menggeleng. “Kami masih melacaknya, tapi ini bukan pekerjaan amatiran.”

Lorenzo menatap Amina. “Kalau rekaman ini diretas dari luar… berarti ada pihak lain yang benar-benar ingin memastikan kau disalahkan.”

Alexander menekan pelipisnya. “Brilian.” Matanya kembali ke Amina, kali ini dengan ekspresi berbeda, bukan sekadar pengamat, tetapi seseorang yang mulai melihat gambaran besar.

Amina menghela napas panjang. “Kalau seseorang sampai melakukan ini… maka aku bukan sekadar penyelidik dalam permainan ini.” Ia bertemu pandang dengan Alexander. “Aku target berikutnya.”

Hening.

Lorenzo mengangguk kecil. “Aku benci mengakuinya, tapi dia benar.”

Michael tampak frustrasi, tapi tak bisa menyangkal logika itu. “Jadi, kita sudah masuk ke level ini, ya?”

Alexander akhirnya berbicara lagi. Suaranya tenang, tetapi ada sesuatu yang lebih tajam di baliknya. “Kalau memang begitu, kita harus bergerak cepat.”

Amina menegakkan punggungnya. “Kau percaya padaku?”

Alexander menatapnya lama, lalu akhirnya berkata, “Aku percaya pada bukti. Dan sejauh ini, kau lebih masuk akal daripada rekaman ini.”

Amina merasakan sedikit kelegaan, tapi itu hanya sesaat. Karena satu hal kini jelas, musuh mereka lebih berbahaya dari yang mereka kira.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!