Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata keluarga? Rumah untuk berteduh? Tempat meminta perlindungan? Tempat memberi kehangatan? Itu semua benar. Tetapi tidak semua orang menganggap keluarga seperti itu. Ada yang menganggap Keluarga adalah tempat dimana ada rasa sakit, benci, luka dan kekangan.
"Aku capek di kekang terus."
"Lebih capek gak di urus."
"Masih mending kamu punya keluarga."
"Jangan bilang kata itu aku gak suka."
"Kalian harusnya bersyukur masih punya keluarga."
"Hidup kamu enak karena keluarga kamu cemara. Sedangkan aku gak tau siapa keluarga aku."
"Kamu mau keluarga? Sini aku kasih orang tua aku ada empat."
"Kasih aku aja, Mamah dan Papah aku udah di tanam." Tatapan mereka berubah sendu melihat ke arah seorang anak laki-laki yang matanya berbinar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Echaalov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Dua gadis kecil dengan ekspresi marah menghampiri segerombolan anak laki-laki yang diam dan menatap ke arah Candy. Setelah sampai di depan mereka dua gadis kecil itu menatap tajam semua anak laki-laki itu.
"Siapa yang nendang bola itu? " tanya Naysa.
Mereka diam bak patung tidak ada yang mau berbicara. Hal itu membuat Naysa kesal melihat mereka yang tidak menjawab pertanyaannya.
"Siapa yang nendang bola itu cepat ngaku! " tekan Naysa.
Tania memperhatikan ekspresi semua anak laki-laki itu. Semuanya terlihat tegang dan takut, kecuali anak yang terlihat biasa saja bahkan ekspresi wajahnya terlihat puas.
"Kamu! Pasti kamu kan yang nendang bola itu," geram Tania sambil menunjuk anak laki-laki itu.
Naysa melihat anak yang di tunjuk oleh Tania. Kemarahannya meluap begitu melihat anak laki-laki itu memasang wajah biasa saja tidak ada raut rasa bersalah sedikitpun.
"Azel, kamu yang lakuin itu! " marah Naysa.
"Kalau iya kenapa? " tantang Azel dengan tersenyum menyebalkan.
"Kamu sengaja ya nendang bola itu ke arah Sesel? " meski Tania sudah tahu jawabannya, tetap saja ia ingin mendengar langsung.
"Iya," ucap Azel tak lupa senyumannya tidak pernah luntur.
"Yaya pegang tangan kirinya," Naysa memegang tangan kanan Azel sedangkan Tania memegang tangan kirinya dengan sigap begitu mendengar ucapan Naysa.
"Apa-apaan kalian, lepasin tangan aku," Azel terus meronta dalam pegangan mereka. Hal itu di saksikan para anak laki-laki yang masih ada di sana.
"Azel sih pakai acara nendang bola ke arah Sesel jadi kena amukan dua bocah itu," bisik Gerald ke telinga Harrel.
Harrel menyetujui ucapan Gerald."Azel kalau gak ngerjain Sesel kayaknya gatel tuh tangan."
Naysa dan Tania menyeret dengan paksa anak laki-laki yang terus meronta dari pegangan Naysa dan Tania yang memegang tangan kanan dan kirinya.
"Nih dia pelakunya."
Candy sudah menduga siapa pelakunya. Namun tetap saja amarahnya tidak akan mereda tapi semakin meluap karena melihat raut wajah yang tidak merasa bersalah.
"Kenapa kamu ngelakuin itu? " Candy ingin meluapkan amarahnya. Tapi saat ini kepalanya pusing jadi ia tidak bisa marah karena menguras tenaganya.
"Pengen aja," jawab Azel enteng dengan wajah yang santai.
"Cuman karena pengen kamu ngelakuin itu? " Candy mendengus kesal. Azel melakukan itu hanya karena anak itu ingin melakukannya.
"Cepat minta maaf sama Sesel," desak Naysa.
"Iya cepat minta maaf," ucap Tyra menatap Azel yang terlihat malas menatap mereka semua.
"Lebay banget lagian dia gak pingsan kan, jangan terlalu lebay lagian dia baik-baik aja tuh kalian terlalu berlebihan," ucap Azel menatap Candy.
Candy emang tidak terluka parah tapi wajah pucat Candy membuat ada sedikit rasa bersalah hinggap di hatinya. Meskipun begitu Azel tidak akan meminta maaf kepada Candy karena gengsi.
"Baik-baik aja apanya, kepala Sesel pusing terus dia mimisan. Baik-baik dari mananya? " kesal Naysa.
Azel yang mendengar itu terkejut namun dengan segera ia segera memasang ekspresi santainya. Meski begitu Anka melihat ekspresi terkejut dari Azel meski sekilas.
Apa sekeras itu? Padahal aku tadi nendang bolanya gak terlalu kencang
"Tetap gak mau minta maaf? " sindir Tania, namun tetap diabaikan oleh Azel.
"Azel kamu keterlaluan. Kamu melakukan hal berbahaya. Bagaimana jika terjadi sesuatu kepada Sesel karena perbuatan yang kamu lakukan," ucap Anka yang sedari tadi diam. Kali ini Azel telah melampaui batas. Tindakannya sangat berbahaya untung saja Candy tidak terluka parah.
"Percuma Anka kamu kasih tahu dia. Dia gak bakal ngerti dan akan melakukan nya lagi besok. Makasih ya udah bantuin aku, aku mau pulang." Candy sudah muak dengan sikap Azel. Rasa bencinya kepada Azel semakin besar.
"Mau aku antar? "
"Gak usah aku pulang bareng mereka," Candy menatap ke arah teman-temannya.
"Oke hati-hati di jalan ya."
"Iya."
Mereka pun pulang dengan Naysa dan Tania yang menuntun Candy, takut Candy tiba-tiba pingsan jadi mereka sudah siap siaga.
Anka menatap punggung mereka semakin menjauh. Tatapannya kini tertuju kepada Azel.
"Azel kenapa kamu gak minta maaf? "
Azel tidak menjawab, ia berjalan menjauh dari Anka. Namun perkataan Anka membuat langkahnya terhenti.
"Aku tahu kamu merasa bersalahkan?"
Azel menoleh ke arah Anka lalu tersenyum miring."Kamu salah, aku sama sekali gak merasa bersalah."
Setelah itu Azel pergi meninggalkan Anka.
"Aku tahu kamu bohong."
******
Seorang anak laki-laki baru saja sampai di rumahnya. Ia melepaskan sepatunya lalu menyimpannya di rak sepatu. Setelah itu ia melangkah menuju kamarnya untuk mandi lalu berganti pakaian. Ia berjalan menuju meja belajar dan mulai mengerjakan tugasnya.
Ia telah selesai mengerjakan tugasnya. Ia pun melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul lima sore, sebentar lagi Bundanya pulang.
Anak laki-laki itu berjalan ke arah dapur lalu memasak telur mata sapi. Ia hanya memasak itu karena ia belum bisa memasak yang lain.
Terdengar pintu di buka lalu muncul wanita yang masih terlihat muda seperti masih berumur 20-an padahal umur aslinya sudah menginjak 34 tahun.
Anak laki-laki itu menghampiri wanita itu. Ia mencium tangan wanita itu.
"Bunda, Anka udah masak telur mata sapi buat Bunda," Ya anak laki-laki itu adalah Anka.
"Pintar banget anak Bunda, lain kali gak usah masak buat Bunda ya. Bunda takut kamu kenapa-napa," ujar Firda.
"Anka gakpapa kok, Bunda gak usah khawatir. Bunda kan udah capek kerja jadi biar Anka aja yang masak buat Bunda," ucap Anka.
Hal itu membuat Firda terharu. Mungkin karena sering di tinggal sendiri karena ia harus bekerja membuat Anka terlihat lebih dewasa dari umurnya. Anka bahkan tidak pernah mengeluh atau meminta sesuatu darinya.
Sejak kepergian suaminya lima tahun lalu. Firda harus bisa menghidupi anaknya yang masih kecil. Rasa lelah sering ia rasakan karena harus mengurus anaknya, mengerjakan pekerjaan rumah, juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Meski begitu ia tidak pernah merasa terbebani.
Firda merasa bersyukur mempunyai anak seperti Anka. Anka selalu membantunya. Bahkan ia tidak rewel saat Firda pergi bekerja. Anka juga selalu menuruti semua perkataan Firda.
"Bunda kenapa liatin Anka? " Sejak tadi Firda terus menatap Anka.
"Gakpapa sayang."
"Bunda ayo makan."
"Iya sayang."
Firda memakan telur mata sapi buatan Anka dengan lahap.
"Anka enak banget masakan kamu."
"Makasih Bunda pujiannya," Anka tersenyum senang mendengar pujian dari Firda.
Di sore yang indah dengan langit yang berwarna jingga, di dalam rumah itu, terdengar suara canda gurauan dari seorang anak dan ibu. Meski hanya berdua, mereka tetap bahagia.