Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga belas
Badan yang sudah dikuasai dengan rasa pegal itu akhirnya membuat Kania berdesis. Untung saja rumahnya sudah berada di depan mata. Ia ingin sekali menidurkan tubuhnya dengan tenang dan tentram sebelum esok hari kembali bergulat dengan kenyataan.
Perlu dikatakan lagi, ia beruntung memiliki sahabat seperti Laras. Karena dengan rendah hati dan penuh paksaan, Laras menariknya untuk masuk ke dalam mobil gadis itu dan membiarkan Laras membawanya sampai depan rumah dengan selamat.
Jemarinya yang mulai mengerut karena terlalu lama bermain dengan air akhirnya menyentuh kenop pintu dingin yang sudah berada di depannya.
"Baru pulang, Kania?"
Suara saraf yang seketika memenuhi ruangan depan rumahnya, hampir saja membuatnya terperanjat. Ia mendongakkan wajahnya dan menemukan tubuh Farhan yang baru bangkit berdiri dari sofa ruang tamu.
"Kan emang aku kerjanya malam, pa." Kania membalas pelan kemudian mengalami tangan Farhan yang masih menatapnya.
Farhan menghela nafasnya." Kamu kerja apa sih?" tanyanya pelan. " Papa masih bisa menghidupi kamu, tapi bukan untuk kehidupan kamu yang nakal, Kania."
Kania menarik tali tasnya dan menggenggam benda itu tepat di atas pundaknya sebelum mengekspresikan senyum tidak enak.
"Mamah kasar sama kamu karena ini kamu menjadi anak yang baik, bukan karena mama tidak boleh kamu merasakan hasil kerja keras papa," Farhan mengelus pelan bahu putrinya."Kania, lihat papa," pintanya pelan.
Kania menurut. Kelemahannya sejauh ini hanya satu, yaitu berhadapan dengan Farhan yang selalu menasehatinya dengan lemah lembut. Farhan yang selalu menganggap kenakalannya adalah hal biasa yang selalu terjadi pada setiap remaja. Farhan yang selalu memeluknya di saat ia merasa sendiri. Farhan yang selalu berhasil membawa energi positif dalam kehidupannya.
"Papa minta kamu berhenti ya? Papa udah bicara sama mama untuk mengembalikan ponsel kamu lagi."
Tatapan tulus juga penuh harap Farhan berhasil membuat sebuah emosi yang tidak bisa dijelaskan, rasa itu kembali menyeruak ke dalam tubuh Kania. Emosi yang entah itu berarti sebuah kemarahan atau malah sebaliknya.
"Kalau Vania tetap tidak mau berhenti karena ingin membuktikan ke mamah kalau Kania bisa hidup sendiri... Papa minta Kania berhenti karena mau melihat papa tenang saat bekerja."
"Nak, semua orang tua bekerja untuk keluarganya. Begitu juga papa, kalau kamu saja sudah tidak mau merasakan hasil kerja papa, untuk apa papa bekerja lagi?"
Hening, Kania terdiam seolah sedang mencerna setiap ucapan Farhan barusan. Apa yang ia akan mengalah begitu saja? Tetapi Farhan juga memberi pengertian yang masuk akal baginya.
"Kania buat bangga papa dengan berhenti bekerja dan melanjutkan sekolah dengan baik. Kania bisa membuat bangga Mama dengan menjadi anak yang baik."
Berat, itu adalah kata pertama yang muncul dalam benak Kania setelah permintaan penuh makna dari papahnya. Berhenti bekerja bukanlah masalah besar, melanjutkan sekolah pun rasanya biasa saja. Tak Selama ini dia juga rajin pergi ke sekolah. Yang membuatnya berat adalah permintaan menjadi anak yang baik, itu berat. Karena sampai saat ini pun dia tidak bisa menemukan seseorang yang memiliki kebaikan seratus persen dalam hidupnya.
Ah, mengingat hal itu biasa ketika tertawa dalam diamnya. Bagaimana jika Farhan atau bahkan Elia mengetahui kebiasaan merokoknya? Apa harapan untuk menjadi anak baik itu masih ada?
"Besok papa bantu bicara sama bos kam-"
"Gak usah." Kania lebih dulu menyela." Aku bisa urus semuanya sendiri," putus Kania.
" Karel!"
Teriakan penuh emosi yang keluar dari kerongkongan gadis bersuara tinggi itu seakan berhasil memenuhi satu rumah sampai-sampai setiap penghuninya bangkit dari posisi nyaman hanya untuk menghampirinya.
Jangan salahkan Laras yang memiliki suara tinggi saat berteriak seperti ini. Tetapi salahkan Karel yang menguji kesabarannya dan seolah memaksanya untuk mengeluarkan senjata andalannya.
"Kenapa sih?"
Akhirnya Dewa lah yang menjadi orang pertama menghadapi kegilaan siang ini.
"Karel!!!"
Ia kemudian kembali meneriaki nama itu seolah tidak peduli dengan pertanyaan Dewa sebelumnya. Persetan jika keberadaannya itu berhasil membuat siapa saja merasa terganggu. Yang dia mau hanya Karel yang keluar dari persembunyiannya dan menghadap padanya.
"Jangan teriak-teriak, Laras."
Kalau suara saat yang menyerahkan kewibawaan itu jelas milik papanya. Papanya yang menjadi anggota tertua di keluarga kecil ini.
" Kenapa?" Jaya, papah Laras bertanya dengan nada rendah sembari mengelus pelan bahu putrinya yang naik turun karena menahan emosi.
"Kunci mobil aku dilempar ke kolam ren-"
"Lagi?"
Kalau itu, jelas suara Praja. Mendengar nama anak semata wayangnya yang diserukan secara tidak santai oleh keponakannya jelas membuatnya mau tidak mau keluar dari ruang kerjanya, hanya untuk mengetahui keusilan apa yang kali ini anaknya perbuat.
" Udah ah!" Laras melipat kedua tangannya jengkel."aku nggak mau anggap dia saudara aku lagi! Awas aja kalau dia nyusahin aku lagi!" Ujarnya penuh emosi.
"Lihat aja ya lo, Karel! Gue buang semua baju ke kolam renang biar tahu rasa!"
Dewa terkekeh," kalau begitu kasihan mbak Sari dong."
"Bodo amat!" geram Laras semakin tak terkendali." Biar gak usah pakai baju sekalian ke sekolah!"
"Kan masih ada bajunya Om Praja," kekeh Jaya kembali menggoda Putri bungsunya.
"Oke!" Laras menyahut galak. Ia kemudian melepaskan rangkulan Jaya dan berjalan penuh emosi memasuki area dapur.
"Nah, mau ngapain coba?" Praja menyahut. Ia sudah hafal betul dengan para keponakannya yang tidak pernah tahan terhadap kelakuan Karel. Tetapi karena sebuah amarah tidak pernah bisa meredakan emosi mereka, maka harus ada yang namanya balas dendam.
"Pasti ngambil pisau-"
Belum sempat tebakan Dewa terselesaikan, ucapannya terhenti bersamaan dengan Laras yang keluar dari dapur membawa pisau panjang.
Jaya berdecak."kamu itu perempuan tapi kok galak banget sih?" Goda papanya yang sama sekali tidak berhasil membuat Laras menghentikan langkahnya.
"Ikutin, bang," pinta Jaya ketika Laras melewati pintu utama tanpa penghalang apapun.
Praja menghela napasnya."sekali-kali Karel kayaknya harus dirantai supaya tidak berbuat rusuh," keluhnya merasa lelah sendiri.
"Siap-siap dicecar pinjam mobil ya," kekeh Jaya kemudian melangkahkan kakinya menuju taman belakang rumah sepupunya itu. Jika Karel tidak mau bertanggung jawab, maka dirinyalah yang harus mengambil benda kesayangan anak gadisnya itu.
"Laras!!!"
Jika suara serak itu menggema di udara, maka tandanya rencana balas dendam Laras telah sukses. Laras, dengan tindakannya yang cerdik namun brutal, telah merobek semua ban mobil Karel, sebuah tindakan yang bukan hanya efektif menghentikan langkah Karel, tetapi juga melampiaskan kekesalan yang telah lama terpendam di hatinya. Dalam hubungan mereka, yang penuh dengan pertengkaran tajam, tindakan drastis seperti melempar kunci mobil ke dalam kolam renang atau merobek ban, hanyalah ritual saling adu kuasa, mengukur seberapa dalam luka yang mampu mereka torehkan satu sama lain.
Suara canda tawa yang kembali menghiasi meja makan kali ini bisa dibilang cukup menghangatkan suasana. Dimulai dari perbincangan ringan tentang urusan kantor Dewa dan berujung pada 4 orang lainnya yang masih memiliki status sebagai siswa.
"Raden udah yakin mau lanjut ke Jerman aja?"
Pertanyaan dari Jaya itu berhasil mengheningkan suasana. Tahun depan salah satu dari mereka sudah bersiap melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. 2 tahun yang akan datang tiga orang lainnya menyusul. Sejujurnya tanpa ditanya pun jawaban tidak akan pernah berubah, jawaban itu akan tetap sama yaitu," iya om."
"Jadi kamu mau tinggal sama om Brian atau mau tinggal sendiri?" Tanya Praja.
Raden berdeham pelan kemudian melirik sekilas pada papanya yang seperti meminta jawaban juga.
"Aku mau tinggal sendiri aja, om. Lagi pula kan masih dekat juga apartemennya dari rumah om Brian."
Praja menganggukkan kepalanya." Kalau kamu Laras, mau lanjut ke Jerman juga?"
Nah, Kalau ini sih siapa saja jelas ingin tahu. Pasalnya gadis dengan kelebihan talenta yang sama sekali tidak memiliki kepandaian yang dalam bidang akademik itu tidak pernah membawa obrolan mengenai ke mana ia akan melanjutkan pendidikan. Setiap kali ditanya kemana akan melanjutkan pendidikannya, biasanya ia akan menjawab dengan kata ' lihat saja nanti'. Tetapi apakah kali ini jawabannya akan sama?
"Ke mana aja, asal jangan ada Karel!" Ujarnya dengan ketus kemudian melirik tajam ke arah Karel yang tetap santai menyantap makanannya.
Gelak tawa seketika terdengar. Sepertinya dua remaja dengan usia yang hanya terpaut dua bulan itu memang tidak bisa disatukan dalam keadaan apapun.
"Lo pikir gue mau satu kampus sama cewek kayak lo?!" Karel menyahut dengan tenang.
"Karel." tegur Praja pelan namun penuh harap supaya anaknya itu tidak kembali barulah di meja makan.
"Fabian ke mana?" Jaya mengganti topik." Mau lanjut ke Jerman juga?"
Fabian mengunyah pelan makanannya sembari menaruh peralatan makannya sejenak." Aku sih ke mana aja, asal jangan sama Karel-"
"Lo berdua ada masalah apa sih sama gue?" Karel menyahut. Ini masalahnya ia ingin makan dengan tenang pun tidak bisa karena jawaban-jawaban yang menyinggung namanya.
"Karel,," Praja kembali menegur pelan.
"Udah! Aku mau kuliah di planet lain aja-"
"Aku kuliah ke Jerman, om."
" Aku juga mau kuliah ke Jerman."
Seruan semangat yang keluar secara susu menyusul dari bibir Fabian dan Laras seketika kembali membawa gelak tawa di meja makan. Apa mereka berdua sedendam itu pada Karel? Bahkan ucapan Karel tentang keinginannya kuliah di sebuah planet lain hanyalah ungkapan emosinya. Tapi kenapa dua sepupunya itu malah sama sekali menjawab pertanyaan yang sudah tidak diarahkan ke mereka?