Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Semangat baru dengan kepatahannya
Setelah Megashelt tumbang dengan raungan terakhirnya, tubuh besarnya terkulai di atas tanah, menciptakan keheningan yang hampir menenangkan di tengah hutan. Gale menjatuhkan dirinya ke tanah, terengah-engah. Alvaro menyusul, merebahkan tubuhnya di samping Gale sambil menatap langit gelap yang hanya dipenuhi celah kecil cahaya.
"Seru banget," kata Gale dengan napas terputus-putus. "Aku nggak nyangka melawan monster asli bakal semelelahkan ini."
Alvaro tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar lelah. "Seru, ya? Kurasa itu lebih mendekati gila. Kalau kita lengah sedikit saja, Megashelt itu bisa menghancurkan kita jadi debu."
"Tapi tetap saja, rasanya... hidup," Gale menjawab, matanya bersinar meskipun tubuhnya terlihat kelelahan. "Di akademi, kita cuma bertarung melawan teman sekelas yang bahkan nggak sepadan. Kau tahu kan, lawan terkuat kita cuma mereka yang masuk kategori terampil. Itu pun jarang ada yang benar-benar menantang."
"Ya," Alvaro setuju sambil mengangguk pelan. "Kita selalu berada di puncak. Tidak ada yang benar-benar memberi kita tantangan yang sesungguhnya."
Heather, yang sedang memeriksa tubuh Megashelt untuk bahan yang bisa diambil, mendengar percakapan itu. Ia mendekati mereka sambil membawa sekumpulan duri yang tampak tajam dari tempurung Megashelt. "Jadi kalian ini siswa terbaik di akademi?" tanyanya dengan nada kagum yang tersembunyi.
Gale tersenyum tipis. "Bisa dibilang begitu. Aku dan Alvaro sering mendominasi latihan atau simulasi. Tapi ini pertama kalinya aku merasa latihan kita di akademi nggak ada apa-apanya dibanding ini."
Heather menatap mereka berdua dengan sedikit kekaguman. Ia tahu monster seperti Megashelt bukan lawan mudah, bahkan untuk pemburu yang berpengalaman. Tapi dua anak muda ini—meskipun kelelahan—berhasil menghadapinya.
Namun, rasa penasarannya tertuju pada Gale. Ia masih belum melupakan api hitam yang muncul saat Gale menciptakan pedangnya. Ia akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Gale, apa sebenarnya kekuatanmu? Aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."
Gale duduk sambil mengusap lehernya, terlihat sedikit ragu sebelum menjawab. "Kekuatan yang kumiliki... intinya sederhana. Aku bisa menciptakan sesuatu, tapi hanya hal-hal yang sudah kupelajari sebelumnya."
Heather mengangkat alis. "Hanya yang sudah kau pelajari? Itu berarti kau memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang apa yang ingin kau ciptakan, kan?"
"Betul," Gale menjawab sambil tersenyum kecil. "Kalau aku belum tahu cara kerjanya atau detailnya, aku nggak akan bisa menciptakannya."
Heather terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Matanya kembali bersinar dengan rasa ingin tahu. "Tapi... kalau kau punya pemahaman yang cukup, apakah kau bisa menciptakan sesuatu yang lebih kompleks? Misalnya..." Ia terhenti sejenak, ragu dengan pertanyaannya sendiri, tapi akhirnya melanjutkan, "Makhluk hidup?"
Pertanyaan itu membuat Alvaro dan Gale terdiam. Gale terlihat berpikir keras, lalu mengangkat bahu. "Aku nggak pernah mencobanya. Itu akan sangat rumit, kurasa. Tapi kenapa kau bertanya begitu?"
Heather menyadari bahwa ia terlalu terbuka dengan rasa ingin tahunya, tapi ia mencoba menutupi dengan sebuah senyuman kecil. "Hanya penasaran," jawabnya singkat. Namun, Gale tidak berhenti di situ.
Ia memiringkan kepalanya, matanya menatap Heather dengan penuh minat. "Kalau aku bisa menciptakan makhluk hidup... kau ingin aku menciptakan apa, Heather?"
Heather tersenyum samar, tapi ada sesuatu yang gelap di balik tatapan matanya. "Mungkin..." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang sulit diartikan, "Sebuah jawaban untuk hutan ini."
Alvaro yang mendengar jawaban itu langsung menoleh, bingung. "Jawaban untuk hutan ini? Apa maksudmu?"
Namun, Heather tidak menjawab langsung. Ia hanya berdiri dan menatap ke arah hutan yang tampak lebih gelap dari sebelumnya, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di dalam bayangannya. "Kalian akan tahu nanti," ucapnya samar, sebelum berbalik dan melangkah pergi.
***
Saat Heather selesai mengumpulkan bahan dari tubuh Megashelt, suasana hutan menjadi sunyi secara tiba-tiba. Tidak ada angin yang bertiup, tidak ada suara binatang, hanya keheningan yang mengintimidasi. Alvaro yang tengah membantu Heather mengangkat bahan berhenti sejenak, menatap sekitar dengan alis mengernyit.
"Gale, kau merasakan sesuatu?" tanyanya sambil menoleh ke arah temannya.
Gale menggeleng. "Tidak ada apa-apa, tapi... ini aneh. Terlalu sunyi."
Tepat ketika Gale mengucapkan kata terakhirnya, tanah di bawahnya bergetar hebat. Sebelum mereka sempat bereaksi, tanah di sekitar Gale meledak, memunculkan makhluk mengerikan yang menyerupai cacing raksasa. Tubuhnya dipenuhi duri-duri tajam, dan mulutnya yang besar penuh dengan gigi bergerigi berputar seperti mata gergaji. Heather langsung berteriak, "Itu Morvanis! Cacing pemakan daging!"
Morvanis bergerak dengan kecepatan mengejutkan untuk ukurannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Gale. Gale mencoba membentuk perisai untuk melindungi dirinya, tetapi hantaman Morvanis begitu kuat hingga menghancurkan perisai tersebut, membuat Gale terpental beberapa meter hingga tubuhnya menghantam pohon. Gale tergeletak, lemah dan nyaris tidak bisa bergerak.
Heather langsung bereaksi, mengeluarkan peluit kecil dari sakunya. Ia meniup peluit itu yang menghasilkan suara seperti siul nyaring, dan dari kegelapan hutan muncul suara langkah cepat yang berat. Sekelompok anjing besar dengan bulu hitam mengkilap dan mata merah menyala berlari mendekat. Anjing-anjing itu terlihat ganas, dengan taring yang tajam dan tubuh berotot.
Heather berteriak kepada Alvaro, "Bawa Gale kembali ke kabin! Aku akan mengulur waktu!"
Alvaro ragu sejenak, tatapannya berpindah antara Gale yang tak berdaya dan Heather yang sudah bersiap menghadapi Morvanis bersama anjing-anjingnya. "Heather, kau yakin bisa menanganinya sendiri?"
Heather menoleh, sorot matanya penuh keyakinan. "Aku tidak punya pilihan lain. Gale dalam kondisi kritis, dan kau satu-satunya yang bisa membawanya pergi. Cepat pergi sebelum cacing ini memakan kalian!"
Tanpa membuang waktu, Alvaro berlari ke arah Gale. Ia mengangkat temannya yang lebih tinggi darinya dengan susah payah, menyelipkan salah satu tangan Gale di bahunya. "Kau harus bertahan, Gale," bisiknya sambil mulai bergerak menjauh.
Di belakang mereka, Heather melangkah maju bersama anjing-anjingnya. Ia mengarahkan tangannya ke Morvanis, dan dari telapak tangannya muncul lingkaran cahaya yang bersinar redup. Ia menggeram, "Kau pikir bisa melahap kami begitu saja? Aku bukan mangsa mudah."
Morvanis meluncur ke arahnya, tetapi anjing-anjing Heather menyerbu dengan kecepatan luar biasa, menggigit dan mencakar tubuh keras cacing itu. Pertarungan sengit berlangsung di belakang Alvaro yang berusaha membawa Gale secepat mungkin kembali ke kabin.
Suara dentuman dan raungan Morvanis menggema di hutan, membuat Alvaro terus menoleh ke belakang dengan cemas. Tapi ia tahu bahwa jika mereka bertahan di sini lebih lama, mereka semua akan mati.
"Ayo, Gale, jangan pingsan sekarang," gumam Alvaro sambil mempercepat langkahnya, membelah kegelapan hutan dengan tekad yang kuat.
***
Hujan deras mengguyur Hutan Hitam, membawa suara gemuruh konstan yang menambah suasana kelam di sekitar kabin. Alvaro berdiri di dekat jendela kecil, tatapannya tajam memandang ke luar, menunggu Heather. Sementara itu, Gale duduk di bangku kayu, wajahnya masih pucat dan lemah.
“Berapa lama lagi, menurutmu?” Gale bertanya dengan suara serak, meskipun ia tahu Alvaro tak punya jawaban pasti.
Alvaro hanya menghela napas, matanya tetap tertuju ke kegelapan hutan. Ia merasa berat meninggalkan Heather sendirian, tapi Gale juga dalam keadaan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Rasa bersalah dan cemas berkecamuk di dalam dirinya.
Tiba-tiba, bayangan muncul di tengah hujan. Heather, basah kuyup, berjalan perlahan menuju kabin dengan dua anjing hitam yang tersisa mengikutinya. Bulu mereka kusut dan kotor, tubuh mereka bergerak lambat, seperti menyiratkan kelelahan luar biasa.
Alvaro langsung membuka pintu, menyambutnya dengan kekhawatiran. “Heather! Kau baik-baik saja?”
Heather tidak menjawab. Wajahnya datar, tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia berjalan masuk tanpa sepatah kata, hanya melewati Alvaro begitu saja dan melepaskan jubahnya yang berat karena air hujan. Kedua anjingnya langsung merebahkan diri di sudut kabin, tubuh mereka gemetar karena kelelahan.
Gale, yang sebelumnya hanya duduk diam, mencoba bangkit meski tubuhnya masih lemah. “Heather... apa kau terluka? Apa yang terjadi?”
Heather menoleh perlahan ke arah mereka, tatapan matanya kosong. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, suaranya datar dan tanpa kehidupan.
Tapi Alvaro tahu itu kebohongan. Ia menatap anjing-anjing Heather, lalu memperhatikan bahwa jumlah mereka telah berkurang. Hanya dua yang kembali bersamanya. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang mulai membuncah.
“Heather,” Alvaro memulai, suaranya pelan namun tegas. “Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kau tidak perlu berpura-pura kuat.”
Heather hanya menunduk, membelakangi mereka. Bahunya sedikit bergetar, tapi ia tidak menangis. “Aku melakukan apa yang harus dilakukan,” katanya akhirnya, masih dengan nada yang sama datarnya. “Mereka bertarung dengan baik. Mereka... melindungiku.”
Gale dan Alvaro terdiam. Tidak ada yang perlu dikatakan lagi. Mereka memahami rasa kehilangan yang Heather rasakan, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. Keheningan di dalam kabin hanya diiringi oleh suara hujan di luar.
Heather kemudian duduk di lantai, bersandar pada dinding kayu. Ia menatap kosong ke lantai, seperti kehilangan sebagian dirinya. Setelah beberapa saat, ia berkata, hampir seperti berbisik, “Ini bukan pertama kalinya aku kehilangan mereka. Tapi... ini tidak pernah menjadi lebih mudah.”
Kata-katanya menggantung di udara, berat dan penuh rasa sakit. Gale mencoba mencari sesuatu untuk diucapkan, tetapi tidak ada kata yang tepat. Sementara itu, Alvaro hanya bisa berdiri di sana, menggenggam tangan di sisinya dengan kepalan yang erat.
Kabin itu kini terasa lebih sunyi meskipun hujan deras terus mengguyur di luar. Heather, dengan wajah datar dan sorot mata yang kosong, tetap duduk di sana, membawa atmosfer kelam yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun di ruangan itu.
***