NovelToon NovelToon
Nekat Ngelamar Gus Tamvan

Nekat Ngelamar Gus Tamvan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.

"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"

apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

suara hati dan restu

 

Alya sudah tahu bahwa Afnan akan datang ke rumahnya hari ini. Namun, membaca pesan singkat darinya tetap saja membuat jantung Alya berdetak lebih cepat.

"Alya, aku akan ke rumahmu. Do'ain aku. Jangan dibalas... dibaca aja!"

Deg. Entah kenapa, pesan sederhana itu membuat hatinya berdebar tak karuan. Seolah Afnan sedang mempersiapkan sesuatu yang besar, sesuatu yang belum siap Alya hadapi.

Belum selesai ia mencerna perasaannya, sebuah pesan dari mamah muncul lagi di layar ponselnya.

"All... kapan cowok pilihan kamu datang? Kali aja dia nggak sesuai ekspektasi mamah, kamu langsung dinikahin aja secepatnya. Nggak pake tunangan lagi!"

Alya menatap pesan itu dengan mata membulat. Mamah memang selalu punya rencana-rencana mendadaknya. Dengan cepat, Alya membalas.

"Iya, Mah. Mamah tenang aja kok."

Namun, tangannya terasa gemetar ketika mengetik. Ia tahu Afnan datang bukan untuk main-main. Kedatangan ini bisa jadi penentu segalanya.

Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Hari ini akan menjadi panjang. Dan semuanya dimulai dengan satu langkah besar dari Afnan.

#

teng nong...

suara bel berbunyi dari kediaman kedua orang tua Alya. menampilkan sosok pemuda mengenakan kemeja biru tua. tampilan nya sangat rapi. "assalamu'alaikum, " ucap afnan dan agam yg mulai melangkah kan kaki hendak masuk.

" waalaikumsalam, masuk... " ucap abiy (Ahmad) kepada afnan

"silahkan duduk" ucap iqbal kakak sepupunya Alya sekaligus serodho (se persusuan).

"iya" jawab afnan dan agam.

"jadii... apa maksud kedatangan kalian kemari? " ungkap abiy Ahmad kepada mrka.

..."saya ingin bermaksud baik om, saya ingin menkhidbath anaknya om, Alya" ucap nya dgn gemetar....

"Mmm...ntar dulu, kamu sebenarnya tahu dari mana alamat rumah kami? " ucap abiy Ahmad bingung.

"jadi gini om, sepertinya kartu santri punya anaknya om terjatuh saat dia berlari mendatangi temannya, dari situlah saya dpt om. saya serius dgn Alya om, saya pertama kali memandang nya .... ada perasaan yg beda dihati saya terhadap dia ... om" ucap afnan.

"Teng nong..."

Suara bel kembali menggema, memecah keheningan di kediaman orang tua Alya. Pintu yang dibuka memperlihatkan sosok pemuda mengenakan kemeja biru tua, tampak rapi dan sopan.

Di sampingnya, berdiri seorang teman bernama Agam, yang turut menemani langkahnya dengan sikap tenang.

"Assalamu'alaikum," suara Afnan terdengar jelas, disusul langkah mereka yang masuk ke dalam rumah.

"Wa'alaikumsalam, masuk..." ujar Ahmad, abiy Alya, sambil memberi isyarat agar mereka duduk.

Dari ruang tengah, Iqbal—kakak sepupu Alya sekaligus saudara persusuannya—ikut menyambut mereka. Dengan suara ramah, ia mempersilakan keduanya duduk.

"Silahkan duduk," ucap Iqbal, ekspresinya datar namun matanya tetap memperhatikan kedua tamu itu dengan teliti.

"Iya, terima kasih," jawab Afnan dan Agam hampir bersamaan. Mereka berdua lalu duduk berhadapan dengan abiy Ahmad dan Iqbal. Suasana hening sesaat, membuat ketegangan semakin terasa.

"Jadi... apa maksud kedatangan kalian kemari?" tanya abiy Ahmad akhirnya, dengan nada tegas namun tetap santun.

Afnan menarik napas panjang. Tangannya yang semula gemetar ia genggam erat di pangkuan. Dengan suara sedikit bergetar, ia akhirnya membuka maksud kedatangannya.

"Saya datang dengan maksud baik, Om. Saya ingin mengkhitbah anak Om, Alya," ucapnya jujur, meski raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berusaha keras mengendalikan kegugupan.

Ahmad terdiam sesaat. Ia menyipitkan mata, seakan tengah mencerna kata-kata Afnan. Namun kemudian, sebuah pertanyaan muncul dari bibirnya, menandakan kebingungannya.

"Mmm... tunggu dulu. Kamu sebenarnya tahu dari mana alamat rumah kami?" tanyanya, penasaran dengan cara Afnan bisa sampai di sini.

Afnan menundukkan kepala, lalu menjelaskan dengan hati-hati.

"Jadi begini, Om... Sepertinya kartu santri milik anak Om terjatuh saat dia berlari menemui temannya. Saya menemukannya, dan dari situ saya tahu alamat ini. Tapi bukan hanya itu, Om," Afnan berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan lebih mantap.

"Saya serius dengan Alya, Om. Sejak pertama kali ,saya tak sengaja memandangnya... ada perasaan berbeda di hati saya terhadap dia. Saya benar-benar ingin memuliakan dia dengan cara yang baik," ucapnya tulus.

Suasana kembali hening. Abiy Ahmad melirik Iqbal sejenak, seakan meminta pendapat dari saudara muda itu.

Namun, Iqbal hanya membalas dengan anggukan kecil—sebuah isyarat bahwa Afnan tampaknya cukup bisa dipercaya.

Ahmad menghela napas panjang, wajahnya masih belum menunjukkan keputusan apa pun.

"Silakan diminum minumannya," ucap mamah Maryam lembut, mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang.

Namun, Iqbal yang sedari tadi menatap Afnan dengan pandangan penuh tanya akhirnya bersuara. "Mmm... Sepertinya aku pernah lihat kamu, tapi di mana yaaa?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi, berusaha keras mengingat-ingat.

Agam, yang duduk di sebelah Afnan, terkekeh kecil. "Di TV atau di HP mungkin, Kak, hehe," jawabnya santai, berusaha mencairkan suasana.

Mendengar itu, Iqbal tiba-tiba membulatkan mata dan menepuk tangannya seperti baru mendapatkan pencerahan. "Ouhhh iya, baru aku ingat! Bener banget di Instagram biasanya ya?!" serunya penuh semangat, membuat semua mata langsung tertuju padanya.

Afnan hanya tersenyum kecil, agak canggung namun tetap ramah. "Hehehe, iya, Kak. Mungkin sering lihat saya di situ," jawabnya singkat.

Mamah Maryam, yang tak begitu mengerti arah pembicaraan, akhirnya bertanya ke Iqbal. "Siapa sih, Bal? Kok kamu heboh sendiri?"

Iqbal menoleh ke mamah Maryam sambil menahan senyum. "Gus Afnan, Mah," jawabnya mantap.

Mamah Maryam terdiam sejenak, lalu pandangannya beralih ke Afnan dengan sedikit terkejut namun tetap terkendali. Sementara itu, Iqbal melanjutkan penjelasannya dengan suara lebih santai.

"Afnan ini cukup dikenal, Mah. Sering ceramah di acara kajian dan viral di Instagram. Makanya tadi aku ngerasa familiar banget," jelas Iqbal sambil mengangguk-angguk puas karena akhirnya ingat.

Mamah Maryam hanya tersenyum tipis, takjub sekaligus heran. Sementara itu, suasana mulai terasa lebih cair meskipun tetap formal.

Alya melamun di pagi hari itu, menyantap soto ayam kesukaannya, kali ini dia makan di warung.

Alya tiba-tiba teringat masa kecilnya—waktu-waktu saat ia sering ditinggal mamah bekerja.

Tante Ririn-lah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang, bahkan menyusuinya saat ia menangis kelaparan. Hubungannya dengan Iqbal, Falma, dan Zafran memang sudah seperti saudara kandung.

Mereka semua adalah saudara persusuan Alya.

Mamah Maryam pun tahu betul ikatan kuat itu. Wajar jika Iqbal begitu terbuka dan nyaman berbicara di hadapan tamu seperti Afnan dan Agam.

  

Suasana di ruang tamu itu terasa sedikit tegang namun hangat. Afnan duduk tegak di hadapan kedua orang tua Alya—Abiy Ahmad dan Ibunda Maryam—serta kakak Alya, Iqbal.

“Jadi, bagaimana menurut Om dan Tante?” tanya Afnan dengan suara mantap, memecah keheningan.

Ibunda Maryam menatapnya lembut tetapi ragu. “Jujur, Nak Afnan, kami belum tahu pasti tentang ini. Tapi… apa orang tuamu sudah tahu?” tanyanya hati-hati.

Afnan tersenyum tipis, berusaha meredakan suasana. “Belum, Tante, tapi tenang saja. Mereka tahu saya ke Kalimantan untuk melamar. Mereka setuju kok dengan pilihan saya.”

“Serius kamu, Gus Afnan?” Ibunda Maryam memastikan sekali lagi, sorot matanya mencari kejujuran dalam tatapan Afnan.

Afnan tertawa kecil, berusaha mencairkan ketegangan. “Iya, Tante, saya serius. Jangan panggil ‘Gus’ lagi ya, Tante. Di sini saya Afnan saja, orang biasa. Panggil Afnan saja, Om, Tante, Kak Iqbal.”

Ibunda Maryam tersenyum samar, mulai lebih santai. “Baiklah, Afnan. Tapi kamu benar-benar serius dengan Alya? Bukan karena terpaksa, kan?”

Afnan menegakkan tubuhnya, nadanya kini lebih tegas. “Nggak, Tante. Saya datang jauh-jauh ke sini karena saya serius. Kalau tidak serius, untuk apa saya melangkah sejauh ini?”

Abiy Ahmad yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi… apa yang membuat kamu tertarik dengan Alya? Banyak perempuan lain di luar sana yang lebih cantik, lebih sederajat seperti ning-ning di Jawa.”

Afnan menatap Abiy Ahmad lekat, lalu menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Om, Alya itu beda dari yang lain. Pertama kali melihatnya, saya langsung paham kenapa Allah membuat rencana yang begitu indah. Allah mempertemukan seorang perempuan yang berani datang kepada saya dengan lugas, tanpa caper sedikit pun. Dia langsung to the point, berani, dan tulus. Saya salut dengan sikap itu, Om.”

Ibunda Maryam menoleh pada suaminya, memberikan senyum kecil yang penuh arti. Abiy Ahmad mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih tampak berpikir.

“Hmm… kalau memang begitu, kita lihat saja nanti. Tapi, Afnan, ingat, ini bukan perkara main-main. Perjalanan kalian masih panjang,” ucap Abiy Ahmad dengan nada penuh pertimbangan.

...“InsyaAllah, Om. Saya siap,” jawab Afnan dengan penuh keyakinan....

...Maryam menatap Afnan dengan sorot mata penuh harap sekaligus cemas....

“Nak Afnan, boleh kita bicara empat mata sebentar?” ucap Maryam lirih namun tegas.

Afnan menarik napas pelan lalu menjawab, “Oh, iya, Tante. Baik.”

Ia mengikuti langkah Ibunda Maryam yang kini berdiri berhadapan dengannya. Wajah wanita itu terlihat sedikit lelah, mungkin karena beban pikiran yang selama ini dipikulnya.

“Kamu… benar-benar serius dengan Alya, kan?” suara Maryam terdengar bergetar. “Bukan hanya karena kamu ingin menolong dia dari perjanjian perjodohan itu?”

Afnan menatap Ibunda Maryam dalam-dalam, berusaha meyakinkannya dengan ketulusan. “Nggak, Tante. Saya serius ingin menikahi Alya.”

Maryam masih tampak ragu. “Lalu kenapa awalnya kamu menolak permintaan Alya?” tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.

Afnan tersenyum tipis, sorot matanya melembut. “Awalnya, saya memang menolak, Tante. Tapi setelah hari itu… entah kenapa saya terus kepikiran sosok Alya. Saya jadi gelisah, merasa nggak tenang."ucap afnan dengan penuh kesungguhan.

"Alya itu… beda, Tante. Dia datang ke saya dengan keberanian yang nggak semua perempuan miliki. Dia jujur, to the point, tanpa dibuat-buat. Dan itu yang bikin saya… semakin memikirkannya.”

Maryam terdiam, mencerna setiap kata Afnan.

“Setelah itu, saya berusaha mencari Alya lagi. Saya bicara sebentar dengannya. Dan saat itu, saya tahu satu hal—Alya hampir putus asa dengan cita-citanya. Dia merasa terjepit oleh keadaan,” lanjut Afnan, suaranya kini lebih tegas dan penuh keyakinan.

“Saya nggak tega, Tante. Saya tahu betul Alya punya impian yang besar, harapan yang belum sempat dia capai. Dan saya ingin jadi orang yang membantu mewujudkan semua itu. Saya berjanji, Tante… saya akan memperjuangkan Alya, bagaimana pun caranya.”

Maryam menatap Afnan, sorot matanya kini berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka pemuda ini begitu serius dan tulus terhadap putrinya.

“Kesianilah Alya, Tante,” ujar Afnan dengan suara lembut namun penuh keyakinan. “Jika Tante benar-benar ingin menikahkan Alya dengan Rafi hanya karena perjanjian lama itu… saya khawatir Alya tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. " ucap afnan khawatir.

"Dia mungkin akan merasa tertekan. Karena itu, saya mohon, berilah Alya kebebasan menentukan hatinya. Dan jika ada kesempatan untuk saya, saya akan menunggunya. Saya tidak akan memaksa, Tante. Biarlah waktu yang menjawab, sampai Alya benar-benar siap.”

Mamah Maryam terdiam. Tatapan matanya menerawang, seolah mengulang kembali keputusan-keputusan masa lalu yang kini terasa begitu berat. Udara di ruangan itu terasa sunyi, hanya napas pelan yang terdengar.

Astaghfirullah…,” lirihnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang telah begitu egois… Selama ini, Tante terlalu banyak mengatur hidup Alya, bahkan untuk urusan jodoh sekalipun, yang seharusnya tak bisa dipaksakan. Semua hanya karena Tante ingin melihatnya hidup berkecukupan. Tapi... apa gunanya semua itu kalau akhirnya Alya tidak bahagia?”

Suaranya bergetar, penuh penyesalan. “Maafkan Mamah, Nak…”

Afnan tersenyum tipis, mencoba meredakan perasaan bersalah yang tergambar jelas di wajah perempuan itu.

“Tante, ini bukan salah Tante sepenuhnya,” ujarnya lembut.

“Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Tak ada satu pun orang tua yang ingin melihat anaknya hidup dalam kesusahan. Tapi Tante harus tahu, Tante sudah berhasil mendidik Alya menjadi sosok yang kuat dan berani. Alya itu istimewa—tegas, mandiri, dan jauh dari sikap pura-pura mencari perhatian. Itu semua berkat Tante.”

Mamah Maryam menatap Afnan dengan mata berkaca-kaca, sedikit terkejut dengan kata-katanya yang menyejukkan.

Sejenak, ia merasa ada beban berat yang perlahan-lahan terangkat dari hatinya.

“Kamu benar, Gus Afnan…” Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih tenang kali ini. “Eh, maksud Tante… Afnan. Kamu memang anak yang baik. Tante percaya pada niat tulus kamu. Kalau memang ada peluang, kamu punya kesempatan untuk mendapatkan hati Alya. Tapi ingat, jangan pernah memaksanya. Biarkan dia memilih dengan hatinya sendiri.”

“Terima kasih, Tante. Saya janji akan selalu menghormati keputusan Alya,” balas Afnan dengan penuh ketulusan.

Keduanya terdiam, namun keheningan itu tak lagi terasa canggung.

Di antara mereka, ada pemahaman baru yang terbentuk—pemahaman tentang kebahagiaan Alya yang tak bisa dipaksakan oleh siapa pun. Dalam hati, Afnan berjanji akan menepati ucapannya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi demi kebahagiaan Alya yang sungguh-sungguh ia jaga.

Setelah beberapa saat berada di luar, Afnan kembali masuk ke ruang tamu bersama Mamah Maryam.

Suasana di dalam ruangan terasa lebih santai dan akrab dari sebelumnya. Obrolan ringan pun mengalir di antara mereka, membahas berbagai hal mulai dari keadaan keluarga di bondowoso, kabar Ummi dan Abuya, hingga cerita kecil tentang perjalanan Afnan selama di kalimantan kemaren.

Setelah cukup lama berbincang, Afnan menatap jam di pergelangan tangannya. Ia menarik napas pelan dan berkata, “Tante, sepertinya sudah waktunya saya pamit. Agam juga harus istirahat, besok kami ada janji pagi-pagi.”

Mamah Maryam tersenyum hangat, meski tampak sedikit enggan melepas tamunya pergi. “Oh, iya, Nak Afnan. Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa sampaikan salam Tante buat Ummi dan Abuya.”

“Iya, Tante. Insya Allah, saya sampaikan salamnya. Oh, hampir lupa…” Afnan kemudian mengambil dua bingkisan dari tasnya. “Ini ada hadiah dari Ummi dan Abuya untuk Tante dan Om. Dan ini ada oleh-oleh dari Surabaya.”

“Masya Allah, makasih banyak, Nak Afnan, Agam. Ini nggak usah repot-repot, loh,” ujar Mamah Maryam tulus, menerima bingkisan itu dengan kedua tangan.

“Iya, Tante. Senang bisa berbagi,” balas Afnan sambil tersenyum sopan.

Om yang sedari tadi ikut mendengarkan menimpali, “Nanti mampir-mampir lagi ke sini. Jangan sungkan, ya.”

“Iya, Om. Insya Allah nanti saya main lagi. Saya pamit, Tante, Om, Kak Iqbal,” ujar Afnan sambil berdiri. Agam mengikuti gerakannya dengan lambaian kecil pada mereka.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Mamah Maryam dan yang lainnya hampir bersamaan.

Afnan dan Agam pun melangkah keluar dengan tenang, meninggalkan kesan yang baik dan mendalam.

Di belakang mereka, Mamah Maryam memandangi kepergian mereka dengan senyum lembut. Dalam hati, ia berbisik, “Afnan memang anak yang baik… Semoga ini jadi awal dari kebahagiaan Alya? "

1
nana_eth
suka bangettt sama part yang ini, soalnya ada poin yang bisa diambil
Rudi Rudi
aku sukaaa bgt cerita kok, yaa kadang aku ketawa" sendiri 😍😭
Rudi Rudi
semangat kk buat novelnya/Smile//Drool/
DZX_ _ _@2456
ahhhhhhh
baper
Edgar
Mengurangi stress dengan membaca cerita ini, sukses thor!
Trà sữa Lemon Little Angel
Mantap banget ceritanya, thor! Bener-bener bikin gue terhanyut!
Kieran
Makin seru aja, gak kerasa udah baca sampai akhir!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!