NovelToon NovelToon
Nama Yang Salah Kulangitkan

Nama Yang Salah Kulangitkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Dosen / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ibnu Hanifan

Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tugas Kelompok Yang Merepotkan

Pagi itu aku duduk di kursi belakang kelas, mendengarkan Pak Afif yang sedang memberikan penjelasan tentang materi kuliah. Meskipun suasana kelas terasa biasa saja, ada sesuatu yang berbeda bagiku. Pak Afif, dosen yang sedang berbicara di depan kelas, bukan hanya sekadar dosen. Dia adalah suami dari mantanku, Salma. Namun, hari ini aku tidak lagi merasa canggung seperti sebelumnya. Perlahan-lahan aku mulai menerima kenyataan bahwa dia hanyalah dosenku, tidak lebih.

Ketika waktu kuliah hampir habis, Pak Afif tiba-tiba menutup bukunya dan berkata, “Baik, untuk materi hari ini, kita akhiri sampai di sini. Tapi sebelum kalian pulang, saya ada tugas kelompok untuk kalian.”

Kelas langsung dipenuhi dengan gumaman. Beberapa mahasiswa terlihat mengeluh, sementara yang lain mulai mencari-cari teman kelompok. Aku langsung melirik ke arah Dinda, yang duduk tidak jauh dariku. Tanpa banyak kata, kami saling bertukar pandang dan memberikan kode untuk satu kelompok. Rasanya sudah seperti rutinitas, karena Dinda selalu menjadi teman terbaikku untuk tugas apa pun.

Namun, sebelum aku sempat memastikan hal itu, suara Pak Afif kembali terdengar. “Monika, kamu dan temanmu nggak boleh satu kelompok.”

Monika, yang duduk di barisan depan, langsung menoleh dengan wajah kaget. “Loh, kenapa, Pak?”

“Bapak perhatiin, kalau kalian satu kelompok, tugasnya selalu ngasal. Jadi, mulai sekarang, kalian harus pisah,” jawab Pak Afif dengan nada tegas.

Aku hanya bisa menahan senyum kecil, membayangkan bagaimana Monika bereaksi. Tapi kejutan berikutnya datang dari Dinda.

“Dinda, kamu mau satu kelompok dengan siapa?” tanya Pak Afif tiba-tiba.

Dinda tampak bingung sejenak sebelum menjawab, “Paling sama Mas Alan, Pak.”

Aku yang mendengar itu hanya bisa mengangguk setuju. Namun, sebelum aku sempat merasa lega, Pak Afif berkata, “Monika, kamu ikut kelompok Alan saja.”

Sekejap suasana berubah canggung. Dinda langsung menolak, “Pak, saya nggak setuju. Nggak bisa ganti orang lain saja?”

Pak Afif tersenyum tipis, tapi tetap tegas. “Nggak bisa, Dinda. Bapak sudah putuskan. Kalian bertiga harus belajar bekerja sama.”

Dinda terlihat kesal, tapi akhirnya dia hanya bisa mengangguk pasrah. Aku juga tahu, Dinda memang tidak terlalu menyukai Monika, terutama setelah beberapa kejadian yang melibatkan aku dan Monika sebelumnya. Monika sendiri hanya tersenyum tipis, seperti merasa menang.

---

Keesokan harinya, kami bertiga berkumpul di balkon kampus untuk mulai mengerjakan tugas kelompok. Dari awal aku sudah merasakan suasana yang tidak enak. Dinda dan Monika duduk di sisi berlawanan meja, seperti sedang bersiap untuk adu argumen.

“Jadi, kita mulai dari mana?” tanyaku mencoba membuka diskusi.

“Kita mulai dari analisis data dulu,” jawab Monika cepat.

“Analisis data? Bukannya lebih baik kita tentukan kerangka teorinya dulu?” balas Dinda.

Aku langsung menghela napas panjang. Baru saja mulai, mereka sudah berbeda pendapat.

“Analisis data itu lebih penting! Kalau datanya jelas, teorinya bisa disesuaikan,” kata Monika dengan nada tegas.

“Tapi kalau teorinya nggak jelas, kamu mau analisis apa?” balas Dinda, tidak mau kalah.

Diskusi yang seharusnya produktif berubah menjadi debat yang memanas. Aku mencoba menengahi, “Oke, kita mulai saja dari langkah yang menurut kalian berdua paling mudah dulu. Kalau mau analisis data, ayo kita kumpulkan dulu datanya. Tapi kalau kerangka teori, kita bahas teorinya sambil berjalan.”

Namun, upayaku sia-sia. Mereka berdua terus saja berargumen, dan aku hanya bisa menggelengkan kepala, berusaha menahan pusing. Aku merasa seperti orang tua yang sedang melerai anak-anaknya yang bertengkar.

---

Hari semakin sore, dan perdebatan mereka belum juga berhenti. Bahkan untuk hal-hal kecil seperti format laporan pun mereka berdebat.

“Kita pakai format kolom aja, biar lebih rapi,” usul Monika.

“Nggak, mendingan pakai paragraf panjang. Format kolom itu ribet dibaca,” sahut Dinda.

Aku mencoba menyela, “Kenapa nggak kita coba dua-duanya dulu, nanti kita lihat mana yang lebih cocok?”

Dinda menatapku tajam. “Mas Alan selalu netral, ya. Tapi aku tetap nggak setuju sama idenya Monika.”

Monika mendengus. “Kamu aja yang keras kepala.”

Aku benar-benar sudah di ambang batas kesabaran. Rasanya seperti terjebak di medan perang tanpa ada jalan keluar.

---

Malam pun tiba. Setelah perjuangan panjang yang melelahkan, akhirnya tugas kelompok kami selesai. Tapi bahkan setelah itu, mereka berdua masih saja saling menyalahkan.

“Tugas ini selesai lama karena idemu yang nggak jelas, Monika,” kata Dinda sinis.

“Yang bikin lama itu kamu, Dinda. Kamu terlalu perfeksionis untuk hal yang nggak penting,” balas Monika.

Aku tidak tahan lagi. Dengan nada tegas tapi tetap sopan, aku berkata, “Oke, tugasnya sudah selesai. Terima kasih untuk kerja sama kalian. Aku pamit dulu.”

Mereka berdua terdiam, mungkin karena tidak menyangka aku akan pergi begitu saja. Tanpa menunggu jawaban mereka, aku segera membereskan barang-barangku dan meninggalkan balkon.

Di jalan pulang, aku menghela napas panjang. Ada perasaan lega yang luar biasa ketika akhirnya aku terbebas dari perdebatan mereka berdua. Meski begitu, aku tidak bisa menghindari fakta bahwa tugas kelompok ini telah menguras energiku, baik secara fisik maupun mental. Aku hanya berharap tugas berikutnya tidak akan sesulit ini.

1
_senpai_kim
Terpancar perasaan cinta penulis terhadap ceritanya.
Phoenix Ikki
Bukan main bagusnya.
Ibnu Hanifan: terima kasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!