Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Renaya tertegun, tubuhnya membeku dalam keterkejutan. Bibir Mario menekan bibirnya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan, berbeda jauh dari kelembutan yang biasa ia tunjukkan. Ia mencoba mendorong tubuh Mario, tetapi genggamannya terlalu kuat.
“D-Daddy, hentikan...” Renaya akhirnya berhasil berkata saat Mario melepas ciumannya, meskipun genggamannya masih berada di lehernya. Wajahnya merah, baik karena rasa malu maupun ketakutan.
Mario menatap Renaya dalam-dalam, matanya melembut sesaat setelah melihat ekspresi bingung dan terluka di wajah gadis itu. Ia menarik napas panjang, lalu perlahan melonggarkan genggamannya. “Maaf, Daddy cuma... nggak bisa membayangkan ada orang lain yang berani mendekatimu,” katanya lirih.
Renaya mundur selangkah, memegang lehernya yang sedikit sakit akibat cengkeraman tadi. Matanya berkaca-kaca. “Daddy, kamu nggak boleh memperlakukan aku seperti itu. Aku bukan milikmu yang bisa kamu atur sesukamu,” ucapnya dengan nada tegas, meskipun suaranya sedikit bergetar.
Mario mengusap wajahnya dengan frustrasi, sadar bahwa ia telah kehilangan kendali. “Maaf, Renaya. Aku nggak tahu apa yang merasukiku.”
Renaya tetap berdiri di tempatnya, menjaga jarak. “Aku perlu waktu sendiri, Daddy. Aku nggak tahu bagaimana harus menghadapi ini.”
Tanpa berkata lagi, Renaya berbalik dan masuk ke kamarnya, meninggalkan Mario berdiri di ruang tamu dengan rasa bersalah yang mendalam.
Mario mengambil ponselnya dengan gerakan cepat, wajahnya masih dipenuhi emosi yang belum mereda sepenuhnya. Dia menekan nomor Devon, asistennya yang paling andal, lalu menunggu sambungan terhubung.
Tak butuh waktu lama, suara tegas Devon terdengar di ujung telepon. “Ya, Tuan Mario?”
Mario langsung berbicara, nadanya penuh perintah. “Devon! Aku butuh kamu menyelidiki seseorang. Namanya Edwin. Dia mahasiswa baru di kampus tempat Renaya kuliah. Aku ingin tahu segalanya tentang dia. Latar belakangnya, keluarganya, bahkan apa yang dia makan pagi ini kalau perlu!”
Devon terdengar sedikit terkejut, tapi tetap profesional. “Baik, Tuan. Apakah ada detail tambahan yang bisa membantu pencarian saya?”
Mario mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia baru pindahan dari Jepang. Motor sport adalah kendaraannya. Cari tahu kenapa dia pindah ke sini, dan apa tujuannya mendekati Renaya.”
Devon terdiam beberapa detik, seperti mencatat semua informasi. “Saya mengerti, Tuan. Beri saya waktu, saya akan melaporkan segera setelah mendapatkan informasi.”
“Bagus,” ujar Mario, menutup telepon tanpa basa-basi.
Setelah menaruh ponsel, Mario berdiri diam sejenak, pandangannya mengarah ke luar jendela apartemennya yang memperlihatkan pemandangan kota. Dalam hati, ia bergumam, Tidak peduli siapa pun yang mencoba mendekati Renaya, aku akan memastikan mereka tahu tempatnya.
Renaya duduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar sementara air mata terus mengalir di pipinya. Ia memeluk lututnya erat, mencoba menenangkan diri, tapi rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada yang bisa ia tanggung.
"Kenapa Daddy bisa seperti ini...?" bisiknya pelan, hampir tidak terdengar.
Renaya mengusap wajahnya, mencoba menghentikan tangisannya, tetapi setiap kali ia mengingat cara Mario mencengkeram dan menciumnya dengan kasar, rasa takut dan kecewa kembali melingkupi dirinya.
"Selama ini Daddy selalu lembut," gumamnya sambil menatap kosong ke dinding. "Kenapa hari ini berubah?"
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi suara bentakan Mario tadi terus terngiang di telinganya. Bukan hanya ketakutan yang ia rasakan, tapi juga rasa sakit karena Mario, orang yang paling ia percaya, telah melukai hatinya.
Renaya berusaha memikirkan alasan di balik sikap Mario. "Mungkin dia hanya marah... Mungkin dia merasa cemburu..." Tapi, meskipun ia mencoba membenarkan tindakan Mario, luka di hatinya tetap tidak berkurang.
Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan ke arah jendela dan menatap kota yang berkilauan di bawah cahaya malam. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah hubungan mereka benar-benar seperti yang ia impikan selama ini, atau ada sisi Mario yang belum ia kenal sepenuhnya.
"Aku harus bicara dengan Daddy," pikir Renaya akhirnya. "Aku nggak bisa membiarkan ini terus berlanjut tanpa kejelasan."
Mario membuka pintu kamar perlahan. Cahaya lampu menerangi ruangan, menyoroti Renaya yang masih duduk di tepi ranjang dengan wajah basah oleh air mata. Hatinya mencelos melihat gadis yang dicintainya tampak begitu rapuh.
“Renaya...” panggil Mario lembut.
Renaya tidak menjawab, hanya mengusap air matanya sambil menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Namun, isakannya yang pelan tetap terdengar.
Mario berjalan mendekat dan tanpa ragu langsung berlutut di hadapannya. Ia meraih tangan Renaya, menggenggamnya erat. “Aku minta maaf, Baby,” ucapnya tulus, matanya menatap penuh penyesalan.
Renaya menoleh perlahan, tatapan matanya basah oleh air mata dan penuh dengan kekecewaan. “Kenapa Daddy begitu tadi?” tanyanya pelan, suaranya bergetar. “Daddy nggak pernah seperti itu sebelumnya...”
Mario menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai dirinya. “Aku kehilangan kendali,” jawabnya lirih. “Daddy cemburu... Dan aku terlalu takut kehilangan kamu. Tapi itu bukan alasan untuk menyakitimu.”
Ia mengangkat tangannya, mengusap lembut wajah Renaya, menghapus air mata yang mengalir. “Daddy janji, itu nggak akan terjadi lagi. Aku nggak akan pernah menyakitimu seperti ini lagi.”
Renaya diam, masih merasakan luka di hatinya. “Daddy tadi nggak seperti orang yang aku kenal,” gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.
“Aku tahu,” kata Mario. “Dan aku nggak akan membiarkan diriku menjadi seperti itu lagi. Daddy mencintaimu, Renaya. Lebih dari apapun. Aku terlalu bodoh karena membiarkan rasa takut itu menguasai aku.”
Ia memeluk Renaya erat, membiarkan gadis itu menangis di dadanya. “Kamu nggak pantas diperlakukan seperti tadi,” bisiknya. “Daddy janji akan jadi lebih baik untuk kamu.”
Renaya menghela napas panjang, meski hatinya masih terasa berat, ia merasakan ketulusan dalam kata-kata Mario. Perlahan, ia mengangkat tangannya, membalas pelukan Mario.
“Aku cuma nggak mau kita berubah, Daddy,” ujar Renaya pelan. “Aku mau kita seperti dulu, selalu saling menyayangi tanpa rasa takut atau marah.”
Mario mengecup puncak kepala Renaya lembut. “Kita akan baik-baik saja, Baby. Aku janji. Aku nggak akan membiarkan apapun merusak hubungan kita.”
Di dalam kamar yang sunyi, Mario masih memeluk Renaya erat, mencoba meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia mengusap lembut punggung Renaya, merasakan tubuhnya yang perlahan mulai rileks.
“Daddy sayang kamu,” bisik Mario di telinga Renaya, suaranya rendah namun penuh kehangatan. Ia menundukkan wajahnya, menatap dalam mata Renaya yang kini sudah mulai tenang, meski sedikit sembap.
Renaya mengangguk pelan. “Aku tahu, Daddy,” jawabnya lirih. Ada jejak luka dalam suaranya, tapi juga kepercayaan yang kembali tumbuh.
Mario mengangkat tangannya, menyentuh wajah Renaya dengan lembut. Ia menelusuri garis pipinya dengan jari-jari yang hangat, seperti meminta maaf tanpa kata-kata. Bibirnya mendekat, menyentuh kening Renaya dengan kecupan lembut. “Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat aku,” gumamnya.
Renaya terdiam, membiarkan Mario menghapus sisa air mata dari wajahnya. Rasa nyaman mulai mengalir kembali di hatinya. Ketika Mario menatapnya lagi, ada kehangatan dan rasa cinta yang tulus dalam tatapan itu.
Mario perlahan mendekatkan wajahnya, mencium bibir Renaya dengan lembut, seolah ingin menghapus semua kesedihan yang tadi melingkupi gadis itu. Ciumannya penuh kasih, bukan sekadar hasrat. Renaya, yang awalnya ragu, akhirnya mulai membalas, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Mario.
Mario menarik tubuh Renaya lebih dekat, memeluknya dengan perlahan tapi penuh intensitas. Tangannya dengan lembut mengusap punggung Renaya, memberikan rasa aman yang dibutuhkan gadis itu. “Aku ingin kamu tahu,” katanya di sela ciuman, “Daddy nggak akan pernah menyakitimu lagi.”
Renaya hanya menjawab dengan pelukan yang lebih erat, membiarkan Mario menuntunnya melewati malam itu, penuh dengan kehangatan dan cinta yang menenangkan.
**
**
**
Di sebuah kamar hotel yang mewah namun terasa dingin, Edwin duduk di sofa sambil menatap seorang wanita anggun yang berdiri di depan jendela besar. Wanita itu tampak tenang, mengenakan gaun hitam elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, sementara jemarinya memegang segelas anggur merah.
“Aku butuh waktu lagi,” kata Edwin dengan nada serius, matanya menatap wanita itu dengan harapan. "Mendekati Renaya bukan sesuatu yang mudah. Dia bukan tipe gadis yang langsung percaya begitu saja."
Wanita itu berbalik, menatap Edwin dengan mata tajam. Bibirnya melengkung menjadi senyum tipis, tapi senyumnya itu lebih menyerupai ancaman daripada keramahan. “Waktu? Aku sudah memberimu waktu, Edwin. Aku tidak mau mendengar alasan,” katanya dengan nada dingin.
Edwin menggigit bibirnya, jelas merasa tertekan. “Dia punya seseorang yang sangat protektif terhadapnya. Mario Martino Jatana. Anda tahu siapa dia, kan?”
Wanita itu menghela napas, lalu berjalan mendekati Edwin, memandangnya dengan sikap dominan. “Tentu saja aku tahu. Itulah sebabnya aku menyuruhmu melakukan ini. Aku ingin tahu sejauh mana dia peduli pada gadis itu. Dan lebih penting lagi... aku ingin melihat bagaimana caranya Mario bertindak jika kehilangan sesuatu yang dia cintai.”
“Ini bukan tugas yang sederhana!” Edwin berseru, frustasi. “Mario bukan orang yang mudah dijangkau, apalagi dihadapi. Kalau aku salah langkah, aku—”
“Tidak ada ruang untuk kesalahan,” wanita itu memotong dengan tajam. Ia membungkuk sedikit, menatap Edwin tepat di matanya. “Jika kamu gagal, kamu tahu konsekuensinya, kan?”
Edwin menundukkan kepala, tangannya mengepal di atas lututnya. “Baiklah,” katanya dengan suara pelan. “Saya akan lakukan. Tapi saya butuh waktu sedikit lagi untuk memastikan semuanya berjalan lancar.”
Wanita itu mengangguk, kembali berdiri tegak dan melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh, “Ingat, Edwin. Jangan kecewakan aku.”