Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pikirkan Bagaimana Kamu Membayarku
Menatap ponsel di tangannya—yang selama ini hanya mampu ia lihat ditangan orang, Egi berdebar. Ini benar-benar hasil dirinya menjual diri.
Egi mengalihkan pandangan keluar. Hatinya gamang. Seakan semua ini tidak seharusnya dia dapat secepat ini. Egi ingin kembali ke masa dimana dia kesana kemari bekerja, dimaki-maki, diludahi, bahkan direndahkan karena pekerjaannya yang hina.
"Mau daftar sekolah, tidak?" Vincent menaruh dua nampan burger dan kentang goreng di depan Egi.
Egi melipat bibirnya dalam. Mengalihkan seluruh perhatian ke meja yang berisi makanan mewah dimatanya selama ini.
"Selama menunggu El sembuh, kamu sebaiknya mengisi waktu dengan cara yang positif. Bukankah tidak baik berlarut-larut meratapi musibah?"
Mata Egi bergerak naik hingga bertemu tatap dengan mata Vincent. Mata itu rasanya begitu teduh dan mengayomi saat memandangnya. Tak ada kesan arogan, bengis, maupun dingin di sana, membuat Egi bingung. Sikap Vincent bisa berubah secepat itu.
"Makan! Lalu cobalah pakai ponselmu!" Vincent sendiri mulai menggigit burgernya dalam gigitan besar hingga saus belepotan di bibinya. "Hmm."
Semua itu masih Egi pandangi dengan perasaan berdebar.
Muka yang begitu dingin itu lenyap, berganti aura meneduhkan yang seperti mampu memecah kebekuan di hati Egi. Perlahan ia mulai makan burger yang sedikit lebih kecil dari ukuran Vincent.
"Dokter—"
"Kamu kecil, makanmu juga sedikit! Habiskan saja itu dulu, nanti makan yang lain, yang lebih bernutrisi!"
Egi menggeleng. "Apa seusiaku pantas untuk bersekolah? Aku masih harus sekolah di SMP jika memang Dokter mau jadi orang tua asuhku."
Vincent tertawa. "Orang tua?"
Egi syok melihat pria dingin ini tertawa. Ia mengambil ponsel dan merekam pria yang sibuk menutup mulut dan memukul meja saking menganggap lucu kata-kata Egi.
"Apa ada orang tua asuh di dunia ini yang sudah meniduri anak asuhnya?"
Egi ingin pingsan rasanya. Kata-kata Vincent menampar keras wajahnya. Sudah seminggu lamanya dia tidur di kamar Vincent dan mereka tidak melakukan apa-apa, jadi dia nyaris melupakan malam itu.
Vincent meminum colanya, kemudian mengetuk meja. "Kamu layak disebut pacar asuh."
Wajah Egi merah dan panas. Kenapa dia salah tingkah begini? Dengan gerakan cepat demi menyembunyikan wajahnya, Egi memakan burgernya cepat.
Melihat itu, Vincent menghela napas. Anak manis begini siapa yang menyangka hidupnya begitu keras.
"Wah, kamu lumayan rakus juga."
Egi tersedak.
"Aku menghinamu, kenapa tersedak?" Vincent menyerahkan sodanya ke Egi yang langsung disambar begitu saja. Dia tersenyum kemudian mengambil ponsel Egi. Vincent mengambil foto mereka kemudian mengirimkan foto itu ke ponselnya sendiri. Dia memang berencana sejauh itu dengan Egi.
Sampai Egi tenang dan kembali makan dengan wajah berpaling, Vincent baru menghadap Egi lagi.
"Jika kamu mau, aku bisa mendaftarkan kamu ke sekolah khusus bagi yang sempat putus sekolah. Atau kamu mau homeschooling? Itu lebih mudah, nanti tau-tau kamu langsung bisa daftar kuliah."
Egi semula ingin minum, tetapi urung begitu memikirkan berapa lama lagi berada di posisi yang sangat menyesakkan di rumah Vincent.
"Dokter ...." Egi menatap kembali Vincent. "Kurasa sebaiknya Dokter membayarku setiap kali kita habis melakukan itu."
Tatapan Vincent mulai mendingin perlahan.
Egi bisa melihatnya. "Sudah beberapa hari kita bersama, tapi kita tidak melakukan apa-apa."
"Kamu lagi terangsangg?"
Egi menggeleng cepat. "Tidak! Tapi jika Dokter membayarku setelah itu, aku bisa sekolah sendiri. Aku bisa menganggap diriku bekerja."
Sudahlah! Egi memikirkan ini begini saja. Toh dia tidak sengaja jatuh kesini. Dia sedang menjual jasa. Mari berpikir demikian agar tidak terlalu menyesakkan.
"Aku tidak mau!" Vincent seketika menjadi Vincent yang lalu-lalu. "Apa kau berniat menjual dirimu ke pria lain? Apa kebaikan yang kuberi kurang? Apa uang satu miliar itu sedikit untuk ukuran anak seperti kamu?"
Egi menggeleng.
"Jadi diam dan ikuti saja aturan mainku!"
"Tapi, Dok—"
"Jangan terlalu tinggi menilai dirimu, Virgi!" tukas Vincent saat menatap tajam Egi. "Bersyukurlah ketika ada yang mau membelimu semahal itu! Selain aku, kamu sudah dilecehkan sangat buruk saat menjual barangmu!"
Hati Egi terkoyak-koyak. Matanya memanas. Jika boleh, bagian ini diskip saja dari proses keras hidupnya. Sungguh dia tidak sanggup.
"Sudah selesai?"
Egi mengangguk dan berdiri. Kepalanya menunduk. Semua ini ternyata harus dibayar mahal. Sangat mahal sampai jiwanya pun rasanya ikut terjual.
Vincent melangkah keluar. Kakinya yang panjang dan langkahnya yang lebar membuat Egi jauh tertinggal.
Ia sampai berlari kecil agar bisa menyusul Vincent.
Egi melihat pria itu masuk ke toko Dior. Kemudian menunjuk beberapa barang untuk dikemas tanpa banyak bicara, kemudian menyerahkannya Egi.
Sejenak ia menatap Egi, kemudian pergi ke toko lain tanpa berkata-kata. Ia memilihkan slingbag yang sesuai untuk usia dan style Egi. Dengan kata lain, Vincent ingin mendandani Egi sebaik mungkin.
Egi begitu syok melihat toko-toko yang Vincent masuki. Itu merk-merk yang asing di telinganya.
Vincent membawa semua barang bawaan yang begitu banyak ke mobil. Egi dibelakang memegang slingbag yang harganya membuat Egi terus memegangnya erat.
"Dokter—"
Vincent menoleh, menatap Egi licik. "Pikirkan jika aku membayarmu satu juta setelah satu bercinta, lalu kamu punya hutang sebanyak ini padaku. Bukankah kamu mati bahkan sebelum kamu bisa pamer barang-barang mewahmu ini?"
Egi berhenti begitu saja. Dia berdiri tapi jiwanya sudah ambruk dan hancur tak bersisa.
"Nanti aku kirimkan detail belanjaan kita hari ini." Vincent berbalik. "Lalu pikirkan berapa tarifmu, berapa lama kamu membayarnya, dan layanan ekstra apa yang mampu kamu beri padaku! Aku ingin kamu kreatif dan tidak kaku seperti sebatang kayu."