Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
Keesokan harinya, Dylan mempersiapkan dirinya untuk wawancara dengan seorang wartawan perempuan dari Vogue, seorang jurnalis terkenal bernama Naomi Blake. Liputan itu akan berfokus pada perjalanan bisnis Dylan yang sukses membangun perusahaan dari nol, termasuk inovasi yang membuat perusahaannya menonjol di pasar internasional.
Ketika Naomi tiba di kantor Dylan, ia disambut dengan keramahan khas yang profesional. Rose, yang bertugas memastikan semua kebutuhan logistik wawancara terpenuhi, menyapa Naomi dan mengantarnya ke ruang rapat.
“Terima kasih, Rose,” kata Naomi dengan senyum ramah, memperhatikan bagaimana Rose tampak begitu cekatan.
“Dengan senang hati, Bu Naomi,” jawab Rose sopan, sebelum kembali ke mejanya.
Di dalam ruang rapat, Dylan memperkenalkan dirinya dengan santai, mencoba mencairkan suasana. Namun, Naomi, yang terkenal karena kemampuannya membaca orang, langsung menangkap sesuatu yang berbeda dalam diri Dylan.
“Jadi, tuan Dylan,” Naomi membuka wawancara sambil mengatur alat rekamannya. “Dari semua cerita sukses yang pernah aku dengar, punyamu termasuk yang paling menarik. Bisnis yang kau bangun ini bukan hanya soal angka, tapi juga soal nilai-nilai. Bagaimana kau menjaga keseimbangan itu?”
Dylan tersenyum tipis. “Bagi saya, bisnis harus selalu punya dampak. Bukan hanya soal laba, tapi juga bagaimana menciptakan ekosistem yang mendukung semua orang di dalamnya, dari klien hingga karyawan.”
Naomi mengangguk, mencatat jawaban Dylan dengan antusias. Namun, di tengah wawancara, matanya sempat tertuju ke luar ruangan, di mana Rose sedang berbicara dengan salah satu kolega.
“Omong-omong,” Naomi berkata, menggeser topik. “Aku sempat melihat foto dari acara keluargamu beberapa hari lalu. Rose, bukan? Dia bekerja di sini, kan?”
Dylan sedikit kaget dengan perubahan arah pembicaraan itu. “Iya, dia salah satu karyawan saya. Kenapa, kalau boleh tahu?”
Naomi tersenyum penuh arti. “Hanya penasaran. Foto kalian berdua terlihat menarik—harmonis, aku rasa. Apakah kalian sering menghadiri acara bersama?”
Dylan menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Itu kebetulan. Saya meminta Rose menemani saya karena situasi mendesak. Tidak ada yang lebih dari itu.”
“Benarkah?” tanya Naomi, nadanya menggoda. “Dari ekspresi di foto, aku kira kalian memiliki hubungan yang lebih… dekat.”
Dylan mengeraskan rahangnya, tidak suka bagaimana arah wawancara ini berubah. “Fokus kita hari ini adalah soal bisnis, bukan kehidupan pribadi saya.”
Naomi mengangkat tangan, meminta maaf sambil tersenyum kecil. “Tentu saja. Maaf kalau terlalu lancang. Mari kembali ke topik.”
Namun, setelah wawancara selesai, pertanyaan Naomi terus menghantui pikiran Dylan. Ia keluar dari ruang rapat dan melihat Rose masih sibuk di mejanya. Ada sesuatu dalam cara Rose bekerja yang membuatnya merasa campur aduk—kagum, bingung, dan mungkin, tanpa ia sadari, sedikit protektif.
Rose yang sedang mengetik tiba-tiba menyadari keberadaan Dylan. Ia mendongak dan tersenyum. “Bagaimana wawancaranya, Pak?”
“Lancar,” jawab Dylan singkat, tapi suaranya sedikit melunak. “Terima kasih sudah membantu persiapannya.”
“Bukan masalah, itu bagian dari pekerjaan saya,” balas Rose dengan nada santai, lalu kembali fokus ke layarnya.
Dylan berdiri di sana sejenak, ragu-ragu apakah harus mengatakan sesuatu lagi. Namun, ia akhirnya memilih untuk pergi, menyadari bahwa perasaannya semakin sulit dipahami.
Sementara itu, Naomi, yang masih di kantor, sengaja mendekati Rose sebelum pergi.
“Kau Rose, kan?” tanya Naomi dengan senyum ramah.
Rose mengangguk, sedikit bingung. “Iya. Ada yang bisa saya bantu?”
Naomi menggeleng. “Tidak, aku hanya ingin bilang, kau terlihat sangat profesional. Dylan beruntung punya tim seperti kamu.”
Rose tersenyum sopan, meski merasa ada maksud tersembunyi di balik pujian itu. “Terima kasih, Bu Naomi. Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik.”
Naomi tertawa kecil. “Kalau begitu, terus lakukan itu. Aku yakin kita akan mendengar lebih banyak tentangmu di masa depan.”
Setelah Naomi pergi, Rose merasa sedikit aneh dengan interaksi itu, tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Namun, jauh di dalam dirinya, ia mulai merasa bahwa sesuatu sedang berubah, baik di tempat kerja maupun dalam hubungannya dengan Dylan.
***
Minggu pagi yang cerah, Dylan mengendarai mobilnya menuju sebuah peternakan di pinggiran kota. Tempat itu milik sahabat lamanya, Mr. Harold, seorang pria tua berusia tujuh puluhan yang telah menjadi seperti mentor baginya sejak ia remaja. Mr. Harold dikenal bijaksana, sedikit usil, tapi selalu penuh perhatian.
Ketika Dylan tiba, ia disambut dengan suara pelan kuda yang meringkik di kejauhan dan aroma segar dari rumput yang baru dipotong.
“Dylan! Sudah lama kau tidak ke sini!” seru Mr. Harold dari teras rumahnya, mengenakan topi koboi lusuh yang sudah menjadi ciri khasnya.
Dylan tersenyum dan melambaikan tangan. “Saya sibuk, Mr. Harold. Tapi saya pasti selalu ingat ke sini untuk sedikit melarikan diri.”
Mr. Harold terkekeh sambil menepuk punggung Dylan. “Baguslah. Kau butuh melarikan diri dari dunia kerja. Ayo, kudamu sudah siap.”
Mereka berjalan bersama ke arah kandang, di mana seekor kuda cokelat tua bernama Apollo sudah menunggu. Dylan sering berkuda di peternakan ini sejak masih muda, dan Apollo selalu menjadi pilihannya.
Setelah beberapa saat menikmati ketenangan sambil berkuda, mereka berhenti di sebuah bukit kecil dengan pemandangan lembah yang indah. Mr. Harold, seperti biasanya, mulai menggoda Dylan dengan pertanyaan yang tidak terduga.
“Dylan, kau tahu, setiap kali kau datang ke sini, kau selalu sendiri. Kau ini kapan akan membawa seseorang bersamamu? Seorang wanita, mungkin?”
Dylan tertawa kecil sambil menepuk leher Apollo. “Mr Harold, kau tahu saya tidak suka membicarakan soal itu.”
Mr. Harold mengerutkan kening, pura-pura tidak mendengar. “Ah, omong kosong. Aku mendengar sesuatu dari beberapa teman di kota. Katanya kau punya seseorang yang menarik perhatian akhir-akhir ini. Siapa namanya… Rose, bukan?”
Dylan langsung menegang, tidak menyangka nama itu keluar dari mulut sahabat tuanya. “Dari mana kau tahu soal itu?”
Mr. Harold mengangkat bahu dengan santai. “Kau tahu, gosip berjalan cepat di kalangan orang tua. Salah satu tamu di acara keluargamu mengenalku. Katanya gadis itu sangat anggun, pintar, dan cocok untukmu.”
Dylan menghela napas, merasa percakapan ini mulai keluar jalur. “Rose hanya karyawan saya, Mr. Harold. Tidak lebih dari itu.”
Mr. Harold mengangkat alis, jelas tidak percaya. “Oh, benar? Kalau begitu, kenapa kau terlihat sangat defensif?”
“Bukan begitu,” Dylan mencoba menjelaskan, meski suaranya sedikit goyah. “Keluarga saya suka berekspektasi berlebihan. Dan sekarang, semua orang tampaknya berpikir Rose adalah sesuatu yang lebih dari yang sebenarnya.”
“Dan bagaimana menurutmu?” tanya Mr. Harold dengan nada serius, kali ini menatap Dylan dengan tajam.
Dylan terdiam, mencoba merangkai jawabannya. “Dia memang berbeda,” akhirnya ia berkata pelan. “Dia punya sesuatu yang… sulit dijelaskan. Tapi aku tidak mau membawanya ke dalam kekacauan yang sering terjadi di keluargaku.”
Mr. Harold tersenyum kecil. “Dengar, Dylan. Jika kau terus menunggu waktu yang ‘sempurna’, kau akan berakhir menunggu selamanya. Kadang, kau hanya perlu mengikuti hatimu. Siapa tahu, gadis itu bisa jadi jawaban dari semua hal yang kau pikirkan terlalu rumit.”
Dylan hanya menatap ke lembah di depan mereka, mencoba mencerna kata-kata Harold. Ia tahu sahabatnya tidak pernah berbicara tanpa alasan.
Ketika mereka kembali ke rumah utama, Mr. Harold menepuk bahu Dylan. “Dengar nasihatku, anak muda. Jangan terlalu banyak berpikir. Hidup ini terlalu singkat untuk tidak mengambil kesempatan.”
Dylan mengangguk, meski hatinya masih penuh keraguan. Ia tahu Rose bukan sekadar karyawan biasa baginya, tapi ia juga tidak yakin siap untuk mengubah hubungan mereka.
Sementara itu, di rumahnya, Rose sedang menikmati pagi yang tenang dengan secangkir teh hangat. Ia tidak tahu bahwa namanya sedang menjadi bahan diskusi di sebuah peternakan kecil. Namun, tanpa ia sadari, pikirannya sesekali melayang ke arah Dylan. Sesuatu tentang pria itu selalu membuatnya penasaran, meskipun ia tahu batasan yang harus ia jaga sebagai karyawan.
Namun, terkadang, hati punya rencana sendiri yang sulit ditebak.