Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13 (Malam yang Hangat di Vila)
Malam perlahan menyelimuti vila, menyingkirkan sinar matahari yang hangat. Langit di luar gelap pekat, dihiasi bintang-bintang yang tampak berkerlip dari balik jendela. Di dalam vila, suasana terasa nyaman dan akrab.
Clara dan Andin duduk santai di depan TV di ruang tengah. Tawa mereka pecah setiap kali adegan lucu muncul di layar. Aldrin, yang sudah mandi lebih dulu, berbaring di sofa dengan selimut menutupi tubuhnya, matanya mulai terpejam. Sementara itu, Awan sibuk memeriksa pesan-pesan di ponselnya di meja makan.
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 19.00. Sasa berdiri di dapur, membuka kulkas untuk melihat bahan makanan yang tersedia. “Clara, Andin, kita masak aja, ya? Biar lebih seru makan malam bareng,” ujarnya.
Clara melirik ke arah dapur sambil tertawa kecil. “Oke, tapi lo yang mimpin, Sa. Gue cuma bantu-bantu doang.”
Sasa mengangguk. Ia mulai mengeluarkan bahan makanan: ayam, sayuran, bawang putih, dan beberapa bumbu dapur. Andin akhirnya ikut bergabung, membantunya mencuci bahan-bahan itu di wastafel.
“Gue bantu juga, ya,” suara Algar tiba-tiba terdengar dari arah pintu dapur. Ia melangkah masuk dengan santai, menggulung lengan bajunya.
Sasa mendongak, sedikit terkejut. “Lo? Bantu masak? Jangan-jangan cuma mau ngerecokin,” godanya sambil tersenyum.
“Ya minimal gue bisa ngupas bawang,” jawab Algar sambil mengambil pisau dan bawang putih.
Tak lama kemudian, Awan menyusul ke dapur. “Gue bantu goreng-goreng aja, ya. Jangan suruh motong bawang, ntar nangis lagi,” katanya dengan nada bercanda, membuat yang lain tertawa.
Dapur vila itu berubah menjadi tempat penuh kehangatan. Mereka bekerja sama sambil bercanda, suara panci dan sendok kayu bercampur dengan tawa mereka. Clara, yang akhirnya ikut juga, sibuk meracik salad sederhana. Sesekali, Algar berusaha mencicipi masakan yang sedang dimasak Sasa, tapi tangannya langsung ditepis dengan spatula.
“Al, sabar dikit dong! Ini belum mateng,” ujar Sasa sambil melotot.
“Ya kan cuma nyicip,” balas Algar dengan senyum nakal.
Setelah hampir satu jam, akhirnya makanan siap. Ada ayam goreng mentega, tumis sayur, dan sup jagung yang hangat. Mereka membawa hidangan itu ke meja makan yang berada di ruang tengah. Clara bahkan menyalakan lilin kecil di tengah meja untuk menambah suasana.
Mereka semua berkumpul di meja makan, tawa dan canda memenuhi ruangan. Aldrin yang tadinya mengantuk pun langsung semangat ketika melihat makanan tersaji.
“Gila, kalian hebat banget. Gue cuma tidur sebentar, udah jadi makanan sebanyak ini,” pujinya.
“Ya elah, lo yang enak, tidur-tiduran doang,” sahut Awan sambil menuangkan sup ke mangkuknya
"Yang lain mana ni, panggil dulu dong wa baru nanti makannya bareng-bareng" ucap Sasa yang melihat yang lainnya tidak berada di meja makan, tapi ia mala melihat awan yang sudah siap dengan sup nya
Setelah semua berkumpul dimeja makan, percakapan mereka berlangsung hangat. Mereka membahas pengalaman hari itu, pemandangan indah yang mereka lihat, hingga rencana esok hari. Algar sesekali melontarkan lelucon, membuat yang lain tertawa lepas.
Saat itu, Sasa, yang terlalu bersemangat makan ayam goreng, tiba-tiba keselek. Ia langsung terbatuk-batuk keras, membuat yang lain panik.
“Sa, lo nggak apa-apa?” tanya Andin dengan nada khawatir.
Sebelum ada yang sempat bergerak, Algar dengan sigap menuangkan air dari kendi ke gelas dan menyerahkannya ke Sasa. “Minum ini,” katanya tegas sambil menyodorkannya ke tangan Sasa.
Sasa segera meminumnya, dan perlahan batuknya reda. Ia meletakkan gelas di meja, masih terengah-engah. “Makasih, Al,” ujarnya pelan, merasa sedikit malu karena semua perhatian tertuju padanya.
Algar hanya tersenyum kecil. “Makannya pelan-pelan, jangan buru-buru.”
Andin menatap Algar dengan kagum. “Wah, lo pahlawan malam ini, Al.”
“Ya iyalah, kan gue yang jagain kalian semua,” jawab Algar santai, membuat meja makan kembali dipenuhi tawa.
Setelah kejadian itu, suasana kembali ceria. Makan malam mereka berlanjut dengan penuh kehangatan dan kebersamaan. Momen sederhana di meja makan itu terasa begitu berarti, menguatkan persahabatan mereka di tengah malam yang semakin larut.
Usai makan malam, semua orang pindah ke ruang tengah. Piring-piring kosong dan sisa makanan dibiarkan di meja, “ntar aja dicuci bareng-bareng,” begitu kata Clara.
Di ruang tengah, sofa besar sudah penuh oleh mereka yang merebahkan tubuh usai kenyang makan. Clara sibuk memilih film di aplikasi streaming, sementara Andin membantu mempersiapkan camilan ringan, seperti keripik dan minuman soda. Algar duduk di sudut sofa, menyandarkan kepala sambil memainkan remote, sementara Sasa duduk di karpet dengan posisi bersila.
“Film horror aja, biar tegang,” usul Andin sambil meletakkan mangkuk keripik di meja kecil.
“Eh jangan horror dong, gue mau tidur nyenyak ntar,” Clara protes sambil memilih genre drama komedi.
“Ayolah, sekali-kali seru-seruan,” Andin bersikeras, tapi akhirnya menyerah karena mayoritas memilih drama komedi. Algar pun ikut setuju.
Lampu ruang tengah dipadamkan, hanya menyisakan cahaya remang-remang dari layar TV. Suasana menjadi lebih intim dan nyaman. Clara dan Andin langsung menyandarkan diri ke sofa, sementara Awan asyik dengan ponselnya sambil sesekali menonton. Aldrin sudah mulai terkantuk-kantuk, tapi tetap duduk di ujung sofa.
Sasa yang tadinya duduk di lantai, merasa pegal dan mencoba berdiri. Saat itulah Algar menepuk ruang kosong di sebelahnya di sofa. “Sini aja duduk, Sa, ada tempat,” katanya dengan nada santai.
Sasa awalnya ragu, tapi akhirnya bangkit dan duduk di samping Algar. Ruangannya sempit, membuat jarak mereka hanya beberapa inci. Sasa berusaha bersikap biasa, tapi pipinya sedikit memanas karena sentuhan bahu mereka yang tak terelakkan.
Film pun dimulai. Kisahnya ringan dan penuh humor, membuat tawa kecil terdengar dari kelompok itu. Tapi di beberapa adegan emosional, ruang tengah menjadi hening.
Di salah satu momen film, saat seorang karakter utama berbicara tentang kehilangan, suasana menjadi sunyi. Algar, yang duduk dengan sikap santai, tiba-tiba menoleh ke arah Sasa. “Sa, lo nangis?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.
Sasa menggeleng cepat, meskipun matanya memang berkaca-kaca. “Enggak, gue cuma... ya, keinget sesuatu aja,” jawabnya.
Algar tersenyum kecil, lalu tanpa berkata apa-apa, ia menyentuh punggung tangan Sasa dengan lembut. Gerakan itu membuat jantung Sasa berdetak lebih cepat. Ia menoleh, menatap Algar dengan bingung.
“Kalau ada yang ganggu pikiran lo, cerita aja. Gue dengerin,” katanya, suaranya terdengar tulus.
Sasa terdiam, merasa bingung dengan rasa hangat yang merayap di dadanya. Ia akhirnya mengangguk kecil tanpa menjawab apa-apa.
Clara, yang duduk di ujung sofa, menoleh ke arah mereka dan mengerling jahil. “Eh, eh, jangan mesra-mesraan di sini dong. Kita nonton film, bukan drama percintaan!” katanya dengan nada menggoda.
Sasa langsung menjauhkan dirinya dari Algar, wajahnya memerah. “Siapa juga yang mesra-mesraan,” bantahnya cepat.
“Ya udah, kalau nggak, jangan baper, Sa,” tambah Awan sambil tertawa kecil.
Algar hanya terkekeh. “Kalian ini, bikin rusuh aja.” Tapi senyumnya tetap terukir, membuat Sasa diam-diam merasa nyaman.
Film selesai sekitar pukul 11 malam, dan suasana vila semakin sunyi. Mereka satu per satu kembali ke kamar masing-masing, kecuali Algar dan Sasa yang masih duduk di sofa, menghabiskan sisa-sisa camilan.
“Sa,” panggil Algar pelan saat semua sudah pergi.
“Hm?” Sasa menoleh, menatapnya.
“Lo tuh terlalu gampang malu. Santai aja, nggak ada yang bakal salah paham kalau lo tenang.”
Sasa mendengus kecil, tapi senyum tipis menghiasi bibirnya. “Gue cuma nggak biasa, itu aja.”
Algar tertawa pelan, lalu berdiri sambil meregangkan tubuh. “Udah malem, tidur yuk. Besok pasti ada hari yang panjang.”
Sasa mengangguk, mengikuti Algar yang berjalan ke arah menuju kamar masing-masing. Meskipun tidak ada kata-kata lebih yang terucap, keheningan malam itu seolah menyimpan sesuatu yang hanya mereka berdua pahami.