Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13 Pelampiasan
“Kania, aku–”
“Lain kali, jangan ajak aku ke sana lagi, Reno.” Kania memotong ucapan pria itu dengan nada tegas. Ia tak mau dianggap sebagai perebut suami orang. “Laras sudah salah paham. Sekarang dia pasti berpikir aku ingin merebut Adrian darinya. Dan Zio… Aku khawatir Laras akan melakukan sesuatu padanya.”
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Laras adalah tipe wanita yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, dengan cara apa pun. Sejak kecil, hidup Laras selalu berkecukupan, dimanjakan dalam kemewahan. Kehidupan Kania jauh berbeda—keras dan penuh perjuangan.
“Kenapa kamu berpikir begitu?” Reno mencoba menenangkan Kania. “Kalau Laras benar-benar berani menyakiti Zio, aku akan menjadi orang pertama yang melindunginya.” Reno mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Kania yang memerah. “Luka ini pasti sakit. Boleh aku mampir sebentar untuk mengobatinya?”
Kania menatap Reno, sejenak membiarkan kehangatan sentuhannya, hingga tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari kejauhan dengan pandangan yang tak kalah panas.
Ya, pria itu adalah Adrian. Ia menatap pemandangan di depannya dengan dada sesak, tangan terkepal erat.
“Sial!” Adrian memukul setir mobilnya, wajahnya mengeras. Ia tak bisa menahan diri melihat mantan istrinya bersama pria lain. “Tidak mungkin kan Reno menyukai Kania? Bagaimana kalau iya?”
Tanpa berpikir panjang, Adrian melajukan mobilnya, meninggalkan apartemen Kania dengan kemarahan yang membara.
Sementara itu, Kania tersadar dan segera menepis tangan Reno. “Tolong jaga batasan, Ren. Kita nggak seharusnya bersikap seperti ini.”
Kania menarik napas panjang, menenangkan dirinya, lalu turun dari mobil Reno. Tepat saat itu, terdengar suara kecil memanggilnya.
“Mama!” suara riang itu milik Zio, putranya.
“Zio?” Kania terkejut, melihat putranya berlari mendekat, lalu memeluknya erat.
“Kenapa Mama lama sekali? Zio kangen…”
Kania membalas pelukan itu, membelai lembut kepala Zio dan mencium pipinya. “Maaf, sayang. Tadi ada sedikit urusan.”
“Urusan apa?” tanya Zio dengan wajah polos.
“Ini urusan orang dewasa,” jawab Kania, mencoba menenangkan putranya.
“Bukan soal Om Tampan, kan?” Zio mengernyit, menatap Kania dengan serius.
Kania mengerutkan dahi. “Om Tampan?” Ia berlutut, memegang pipi Zio dengan lembut. “Maksud kamu siapa?”
Zio mengangguk antusias. “Om tampan datang tadi, Ma. Dia bawa banyak mainan sama makanan enak buat Zio.”
Kania mendesah, mencoba menyembunyikan kekesalannya. “Apa yang kalian bicarakan tadi, sayang?”
“Om tampan suka es krim coklat sama ayam goreng, kayak Zio!” jawab Zio dengan wajah penuh semangat.
Namun, mendengar kata-kata putranya, dada Kania terasa semakin sesak. Ia tahu siapa yang dimaksud Zio. Adrian—mantan suaminya, yang entah kenapa belakangan ini muncul kembali dalam hidup mereka.
“Seandainya Om tampan benar-benar Papa Zio… Zio pasti bahagia banget.” Zio tersenyum polos, tanpa menyadari air mata yang menggenang di sudut mata Kania.
“Cukup, Zio!” suara Kania terdengar tegas, bahkan nyaris membentak. “Jangan bicarakan dia lagi.”
Wajah Zio berubah, ketakutan. Ini pertama kalinya Kania berbicara seperti itu padanya.
“Kania, kenapa kamu seperti ini?” Reno menghampiri mereka dan menggendong Zio yang tampak ketakutan.
“Jangan ikut campur, Reno!” Kania merebut Zio dari pelukan Reno, namun Reno menahan tangannya.
“Kania, dia masih kecil. Kamu nggak seharusnya melampiaskan kemarahanmu padanya.” Reno berbicara dengan nada lembut namun penuh ketegasan.
“Aku yang akan membawanya masuk!” Reno mengangkat Zio dan membawanya ke dalam apartemen Kania, sementara Kania hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Di dalam apartemen, Zio masih sesenggukan dalam pelukan Reno.
“Zio baik-baik saja, kan? Mama hanya sedang kelelahan. Jangan diambil hati, ya.” Reno mencoba menenangkan bocah itu, mengusap punggungnya dengan lembut.
Zio mengangguk pelan. “Zio nggak papa, Om. Cuma… Zio kasihan sama Mama. Zio nggak mau lihat Mama sedih,” ucapnya.
Reno merasakan luka yang dalam dari kata-kata bocah kecil itu. Ada keteguhan dalam hatinya untuk mempersatukan keluarga kecil ini kembali.
“Maafkan Om, Zio,” ucap Reno dalam hati. “Om janji, Om akan mengembalikan kebahagiaan kalian, bagaimanapun caranya.”