Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momen Mengharukan
Suara tak asing itu berhasil membuat Devano refleks balik badan menatap siapa yang ada di hadapannya saat ini.
"Aku akan sangat membencimu, Tuan. Jika sampai Tuan melakukan hal keji itu pada orang yang sudah menolongmu! Andaikan dia tidak menghentikan supir, mungkin aku sudah pergi dari tempat ini!"
Wajah Devano yang awalnya terlihat marah penuh emosi langsung bersinar. Senyumnya mengembang lebar bersama kedua mata yang berkaca-kaca, "Mi-misca? I-ini benar ka-kamu, 'kan? A-aku tidak salah lihat?"
Jantung Devano berdetak kencang melihat wanita yang dicintai tidak jadi pergi. Dia pikir semuanya sudah berakhir, ternyata tidak.
"Kenapa menahanku, Tuan? Bukankah aku tidak penting untukmu? Lantas, mengapa ... astaga, Tuan! Berdirilah, berdiri!"
Misca benar-benar syok melihat pria itu rela berlutut tepat di depannya dengan wajah pasrah. Ini kali pertamanya untuk Devano merendahkan harga diri hanya demi cinta.
Dia tidak peduli, meskipun sepanjang jalan semua orang menatap aneh sama apa yang dilakukan dia tetap tidak gentar memperjuangkan Misca. Hanya ini satu-satunya cara terakhir Devano menaklukkan hati gadis yang sudah berhasil menghidupkan kembali semangat yang telah pudar.
"Ma-maafkan aku, Misca. Selama ini aku selalu menyusahkanmu, bahkan menyakiti perasaanmu. Aku paham, kata-kataku waktu itu sangat melukai hatimu. Apalagi aku sampai memaksakan kehendakku untuk merenggut yang seharusnya tidak aku lakukan. Aku salah, Misca. Aku salah!"
"Pada saat itu, mungkin egoku terlalu tinggi untuk kamu dan Cia. Aku sempat berpikir kamu itu Manda dalam versi berbeda, tetapi aku salah. Orang yang sudah meninggal tidak mungkin hidup kembali. Ya, memang aku sangat mencintai Manda, sangat! Aku tidak bisa membohongi diriku tentang itu. Namun, aku sadar jika masa lalu tidak akan mungkin menjadi masa depan!"
Kedua tangan Devano menggenggam tangan Misca secara lembut. Mata yang bersinar terang memancarkan ketulusan dari pria itu, sehingga sang gadis tak sanggup mengatakan sepatah kata kecuali, terharu akan perjuangannya yang sejauh ini.
Padahal status mereka sangatlah berbeda. Devano dari keluarga kaya raya, bahkan presdir di perusahaannya. Akan tetapi, sang pria mampu melakukan hal itu untuk meyakinkan Misca jika cintanya tidak main-main. Kali ini dia benar-benar serius mengutarakan tentang perasaan tanpa adanya paksaan.
"Dulu, aku berpikir jika seseorang hanya akan merasakan jatuh cinta sekali seumur hidup, begitu pun dengan pernikahan. Namun, aku salah, Misca. Aku salah! Ternyata jatuh cinta itu bisa berkali-kali, asalkan tidak dengan orang yang berbeda-beda. Cinta pertamaku sudah habis di Manda, tetapi masa depanku ada di tanganmu. Entah kamu akan membalas cintaku atau tidak, aku tidak peduli. Biarkan aku yang mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri!"
"Sekali lagi maafkan aku, Misca. Aku salah! Sekarang aku menyadari bila titik tertinggi mencintai seseorang bukan takut akan kehilangannya, melainkan takut untuk menyakitinya. Dan aku? Ya, aku sudah menyakiti cintaku sendiri. Maafkan aku ... aku terlalu bodoh melukai hati wanita sebaik kamu hanya karena egoku yang tinggi. Cuma satu yang harus kamu tahu, Misca!"
Devano menjeda sebentar ucapannya tanpa mengalihkan tatapan mata dari mata Misca. Perlahan air mata sang pria menetes di pipi membuat gadis itu semakin panik, tidak enakan, sampai cemas akibat semua orang sudah mulai mengerubungi sambil mengabadikan momen seru melalui jejak digital.
"Tu-tuan, ba-bangunlah! A-aku malu, semua orang mengira kalau aku---"
"Aku, Devano Alderan seorang Presdir tidak akan malu untuk mengakui, kalau aku telah mencintai dan menaruh hati kepada Misca yang notabennya seorang pembantu!"
"Aku memang tidak akan mau berjanji untuk selalu ada di sampingmu, bahkan tidak menyakitimu. Namun, aku bisa pastikan akulah satu-satunya orang yang akan memasang badan paling depan untuk melindungimu, melindungi Cia, dan melindungi keluarga kecil kita. Untuk itu, apakah kamu bersedia menghabiskan seumur hidupmu bersama duda menyebalkan, meresahkan, bahkan terlalu besar gengsinya ini?"
Pernyataan cinta Devano langsung diapresiasikan oleh semua orang sambil bertepuk tangan semeriah mungkin dan bersorak kencang.
"Terima, terima, terima!"
Teriakan orang-orang membuat Misca semakin malu dan tidak enak menatap wajah-wajah bahagia mereka yang mewakilkan isi hati Devano.
Senyum sang pria pun terlihat begitu manis bagaikan madu asli yang dicampur gula. Sampai beberapa wanita saja terhanyut atas pengungkapan cinta Devano yang terbilang sederhana, berjuta makna.
Memang cara Devano melamar Misca tidak mewah. Hanya saja mampu menyentuh perasaan saking indahnya perjuangan Devano yang rela menurunkan ego demi cinta supaya tidak pergi meninggalkannya.
Misca terdiam membisu. Bibirnya terasa kaku tak tahu harus menjawab apa. Satu sisi dia juga mencintai Devano. Di sisi lain ketakutan akan bersanding dengan pria sepertinya pasti akan ada pro dan kontra.
Apakah Misca sanggup menjalaninya? Atau semua orang malah menghakimi lantaran Misca tidak pantas menjadi Nyonya Devano? Entahlah, di saat dia ingin mengiyakan pikiran itu malah menyerangnya terus menerus.
Bukan Misca tidak ingin bersama dengan Devano. Dia hanya takut kehadirannya malah menjadi penghancur kesuksesan pria tersebut karena menikahi wanita yang tidak sepadan.
"Ma-maafkan aku, Tuan. A-aku tidak bisa!"
Misca menghempaskan tangan Devano, tanpa sadar membuatnya terjatuh dalam keadaan duduk di aspal. Dia langsung bergegas lari meninggalkan sang pria sambil menangis.
Sayangnya, kaki Misca terhenti saat mendengar suara Cia dan Nina yang tiba-tiba saja sampai di tempat itu entah bagaimana caranya.
"Mommy!"
"Bi Misca!
Teriakan kedua bocil itu benar-benar berpengaruh besar untuk menahan Misca. Dia berbalik menatap mereka yang sudah menangis sambil berlari memeluk pinggangnya.
"Mommy jangan tinggalin Cia. Cia sayang Mommy! Cia mohon jangan pergi. Daddy memang salah, Mom. Tapi, Cia yakin kali ini Daddy tidak akan membuat Mommy sedih lagi. Cia mohon jangan pergi hiks ...."
"Benar, Bi. Om Vano memang menyebalkan, cuek, dingin, galak, pokoknya semuanya buruk. Cuma Nina yakin, jika Bi Misca hidup bersama Om Vano pasti bahagia. Om Vano sebenarnya orang baik, Bi. Sayang aja kalau Bi Misca tolak bisa-bisa Om Vano gila. Terus bagaimana dengan Cia? Dia malah semakin di bully, banyak yang mengejeknya tidak punya Mommy, sekarang Om Vano yang gila pasti Cia makin sedih, Bi. Ayo, Bi, pulang! Ayo, hiks ...."
Tangisan Nina dan Cial semakin membingungkan keputusan Misca. Apakah dia harus memilih bertahan untuk memulai semuanya kembali bersama Devano atau pergi menjauhi demi melindungi mereka dari caci makin orang yang pasti akan menyerang dengan ketidaksukaan melihat keduanya bersatu.
Sampai akhirnya Devano berdiri dengan wajah yang tidak bisa diekspresikan sehancur apa hatinya sekarang. Dia sudah berjuang sejauh ini, tetapi Misca berulang kali mematahkan semangat hidup yang awalnya bersinar kembali padam.
"Biarkan dia pergi, Misca, Nina. Itu sudah keputusan dia untuk meninggalkan kita. Setidaknya kita sudah berjuang sejauh ini untuk membuktikan sebesar apa kita menyayanginya. Semakin kalian tahan wanita itu, semakin besar egonya untuk menyakiti hati kita!"
"Daddy tahu, Daddy salah. Salah besar! Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan, bukan? Jika memang Daddy tidak mendapatkannya ya, sudah. Daddy sadar, kesalahan seseorang pasti akan lebih dominan ketimbang kebaikannya. Sama seperti cinta, hanya rasa sakit yang diingat bukan cinta yang dirasakan. Kembalilah, Misca, Nina! Kita pulang sekarang. Daddy menyerah!"
Kalimat yang sangat menyakitkan terpaksa Devano keluarkan dari bibirnya, meskipun berat mengucapkan bahkan sampai bergetar dia tetap pada pendirian.
Jika perjuangannya tidak dihargai sama sekali, maka pergi adalah jalan terakhir daripada hatinya semakin sakit seperti tertusuk ribuan duri.
Nina dan Cia melepaskan pelukannya, menatap Devano yang terlihat sangat datar. Kemudian kembali menatap wajah Misca yang terus menatap lurus ke arah sang pria tanpa berkedip.
"Ma-maafkan Cia, Mom. Cia sudah memaksa Mommy buat bersama Daddy. Cia memang sayang sama Mommy, tapi Cia tidak mau kalian sakit. Cukup Cia yang sakit selalu diejek tidak punya Mommy, daripada Cia punya Mommy tapi tidak bahagia. Cia sayang Mommy!"
Cia berlari ke arah Devano, menggenggam tangannya sambil menatap ke arah Misca. Sementara Nina pun melihat wajah pembantunya dengan tulus.
"Bi-bi Misca yakin? Bi-bibi tidak akan menyesal meninggalkan orang sebaik mereka? Nina memang sayang sama Bi Misca, tapi Nina tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Nina hanya berharap semoga Bi Misca tetap bahagia tanpa kita. Nina sayabg Bi Misca!"
Nina berlari mendekati Devano dan Cia. Mereka bertiga menatap sedih ke arah Misca. Sampai akhirnya berbalik melangkah menuju mobil, di mana sang gadis menangis melihat kepergian mereka.
"A-apakah aku terlalu egois pada mereka? Apa aku kejam sama mereka? Mereka sudah baik, bahkan Tuan Devano terang-terangan menyatakan cinta padaku. Terus apa yang aku takutkan? Apa!"
Persetanan dengan logika dan hati semakin meluapkan rasa dilema yang kuat. Hanya dengan hitungan menit, Nina dan Cia sudah naik di dalam mobil, kini tinggal Devano.
Wajah pria itu kembali menoleh sekilas menatap Misca sebelum masuk ke dalam mobil. Berharap ada keajaiban dari semua yang sudah terjadi.
"Aku harap, aku tidak benar-benar kehilanganmu, Misca!" batin Devano.
Baru juga Devano melangkahkan satu kaki masuk ke dalam mobil, dengan suara lantang dan nyaring Misca berteriak keras hingga senyuman di wajah mereka terukir indah.
"Aku mencintaimu, Devano Aldebaran! Aku sangat mencintaimu!"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
" aku membencimu"