SYSTEM PERAWAN

"Eugh ..." sebuah lenguhan panjang terdengar dari mulut orang yang baru saja sadar dari pingsannya.Tubuh orang itu bergerak pelan dan matanya perlahan terbuka sembari mengerjap.

"Rafi, kamu sudah sadar?" suara seseorang terdengar di saat mata pemuda bernama Rafi mulai terbuka secara perlahan. Rafi memandang ke sekitar dan dia mendapati dirinya sedang dikerumuni beberapa orang yang dia kenal.

"Aku dimana?" tanya Rafi dengan suara yang lemah dan sedikit bergetar.

"Kamu ada di rumah, tapi kamu ditemukan pingsan tadi di pemakaman," jawab salah satu tetangga yang ikut berkerumun.

Mendengar jawaban dari tetangganya, kening Rafi sontak berkerut. dalam benaknya dia teringat kalau dia tadi tersambar petir saat berada di pemakaman orang tuanya. Rafi pun segera bangkit lalu duduk terus memperhatikan tubuhnya sendiri. Rasa terkejut langsaung menyeruak dalam benak Rafi karena dirinya ternyata baik baik saja. Rafi nampak begitu bingung. "Bagaimana bisa?"

"Apanya?" tanya salah satu ibu tetangga yang juga nampak kebingungan melihat sikap Rafi.

"Tadi aku merasa tubuhku tersambar petir, makanya aku pingsan. Tapi kenapa tubuhku baik baik saja?"

Orang orang yang ada disekitar Rafi makin bertambah bingung. Mereka saling pandang dengan kening yang berkerut. "Kamu mimpi? Orang dari tadi nggak ada petir sama sekali."

"Serius, Bu. Tadi ada petir yang menyambar pahaku, aku tadi pingsan gara gara tersambar petit itu," kekeh Rafi.

Semua yang ada di sana tentu tak percaya begitu saja. "Mungkin kamu sangat terpukul dengan meninggalnya bapak kamu. sudahlah, sekarang kamu lebih baik makan. Kata orang yang ikut sama kamu, kamu belum makan sejak sampai di rumah sakit."

"Orang yang ikut denganku? Siapa?"

"Orang yang katanya bekerja dengan bapak kamu, dia masih di luar."

Rafi lantas mengangguk. DIa memang belum makan sedikitpun sejak sampai di rumah sakit kemarin. Terakhir makan saat Rafi baru turun dari bis. Salah seorang tetangga membawakan Rafi makanan. Bersamaan dengan itu, orang yang bekerja dengan Bapak menghampiri Rafi. Karena sepertinya akan ada pembicaraan serius, para warga meninggalkan rumah Rafi yang keadannya semakin memprihatinkan.

"Bapak belum pulang?" tanya Rafi sambil menikmati hidangannya secara perlahan.

"Saya akan pulang setelah menyerahkan ini sama kamu," balas pria itu sambil menyerahkan amplop coklat yang cukup tebal dan meltakkannya di atas kasur busa dimana Rafi kini berada.

"Apa itu, Pak?"

"Uang pesangon milik bapak kamu. Keluarga Alexander minta maaf, karena tidak bisa hadir dalam acara pemakaman bapak kamu."

Rafi mengangguk pelan. Dia tahu kalau bos sang ayah juga sedang tidak baik baik saja. "Apa Tuan ALexander memiliki musuh? Aku yakin apa yang terjadi sama Bapakku, itu bukan perampokan biasa."

"Saya juga berpikirnya begitu, tapi kita tidak memiliki bukti yang kuat. Wajar jika Tuan Alexander memiliki banyak musuh. Banyak yang iri akan kesuksesan yang dia raih. Bahkan kakak dan adiknya juga sama sama iri dan saling menyerang. Dunia orang kaya memang mengerikan, Nak."

Rafi tersenyum kecut. Apa yang dikatakan orang itu benar adanya. Orang kaya memang suka bertindak semaunya . Bahkan orang kaya tak segan segan melakukan cara apapun agar tetap terlihat kaya. Tak peduli cara itu benar atau salah, yang penting mereka bertahan menjadi orang kaya. Orang kaya identik dengan keserakahan dan sifat berkuasa.

"Apa kamu di sini juga punya musuh, Nak? Saya dengar rumah kamu jadi berantakan begini karena diserang sekelompok orang?"

Rafi yang sedari tadi menunduk sembari menikmati makanannya yang tinggal sedkit, lantas mendongak, menatap pria yang ada di hadapannya. "Ini juga akibat ulah orang kaya, Pak. Hanya karena mereka kaya, mereka seenaknya menghinaku, merendahkan harga diriku. Di saat aku meluapkan amarahku karena hinaan mereka, mereka malah tak terima. Mungkin jika aku ada di rumah, aku sudah menjadi korban amukan orang kaya itu."

Bapak itu tersenyum masam. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"

"Belum tahu, Pak. Aku masih belum ada pemikiran ke arah sana."

Bapak itu nampak mengangguk beberapa kali. "Baiklah, karena tugas saya sudah selesai. saya pamit, Nak. Maaf karena saya tidak lama menemani kamu. kalau ada apa apa, hubungi saya aja. Siapa tahu saya bisa membantu. Nomer saya ada di ponsel bapak kamu dengan nama Budiman,"

"Baik, pak. Terimakasih atas bantuan Bapak dan maaf jika selama ini Bapak saya ada salah."

Bapak itu lantas tersenyum, tak lama kemudian dia pamit meninggalkan Rafi yang sudah selesai makan. Rafi termenung sendirian di kamar tersebut. Pikirannya kemali menerawang mengingat sosok ayahnya yang telah tiada. Tetesan bening pun kembali mengalir dari sudut mata pemuda itu.

Di saat Rafi sedang mengusap airmatanya, dia melihat amplop coklat yang tergeletak di depannya. Tangan Rafi bergerak, terulur meraih amplop itu dan membuka isinya. "Banyak sekali uang pesangon bapak."

DI saat bersamaan, ponsel Jadul Rafi yang masih berada di saku celananya bergetar, Rafi sontak mengambilnya dan ternyata ada pesan masuk. Begitu pesan dibuka, kening Rafi sontak berkerut saat membaca pesan tersebut.

...@@@@@@...