Ditindas dan dibully, itu tak berlaku untuk Cinderella satu ini. Namanya Lisa. Tinggal bersama ibu dan saudara tirinya, tak membuat Lisa menjadi lemah dan penakut. Berbanding terbalik dengan kisah hidup Cinderella di masa lalu, dia menjelma menjadi gadis bar-bar dan tak pernah takut melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh keluarga tirinya.
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anim_Goh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelelahan
Arina melirik ke arah pintu saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Setelah itu dia berdehem, memberi kode pada pemilik langkah tersebut kalau dia telah lama menunggunya.
"Aku pulang." Lisa tetap tenang meski tahu kekejaman telah menanti. Dengan yakin dia memutar knop pintu kemudian melangkah masuk ke dalam.
"Selamat datang kembali ke rumah, Lis. Mengapa begitu lama? Aku khawatir kau akan tersesat," ucap Arina sambil tersenyum. Senyum jahat lebih tepatnya.
"Tidak perlu memasang senyum seperti itu, Bu. Kau jadi terlihat semakin menakutkan."
"Bicaramu terlalu terus-terang, Nak. Hati-hati, nanti jadi boomerang,"
"Apa itu boomerang?"
Kedua tangan Arina terkepal kuat melihat sikap Lisa yang sangat tenang. Enggan mengulur waktu, dia segera meraih tongkat kayu yang telah dia siapkan sejak tadi. Arina lalu menghampiri Lisa sembari memainkan tongkat tersebut di tangannya, mencoba mengintimidasi dan berharap gadis ini akan segera bersujud meminta maaf.
"Oh, pakai tongkat sihir lagi ya?" ejek Lisa. Bayangan rasa sakit yang akan segera mendera sekujur badan seketika memenuhi pikiran. Dibalik sikap Lisa yang tenang, ada gejolak rasa takut yang teramat dalam. Namun, dia berusaha keras menutupi agar penyihir ini tidak besar kepala.
"Lis, aku tahu kau sebenarnya sedang ketakutan sekarang. Tetapi karena rasa gengsimu yang begitu besar, ketakutan itu kau alihkan dengan cara memprovokasiku. Benar?"
"Haruskah aku menjawab?"
"Terserah. Yang jelas malam ini kau hanya boleh tidur setelah emosiku mereda."
Tongkat terayun ke arah lengan Lisa begitu Arina selesai bicara. Disusul oleh pukulan yang kedua, tapi ditepis oleh gadis tersebut. Arina meradang. Tak tinggal diam, dia kembali melayangkan pukulan ke arah pinggang yang mana berhasil membuat gadis tersebut memekik kesakitan.
"Akhhh! Sakit, Bu. Hentikan!" teriak Lisa sambil berusaha menghadang pukulan yang bertubi-tubi. Tubuhnya sudah over kelelahan, belum lagi dengan luka-luka yang pagi tadi dia dapatkan. Itu membuat Lisa kewalahan untuk sekadar melawan. Dia lemah.
"Apa kau bilang? Sakit?"
Arina gelap mata. Tak menghiraukan rintihan Lisa, dia kembali melakukan pemukulan hingga membuat gadis ini jatuh dan meringkuk di lantai. Untuk seperkian detik Arina sempat merasa heran dengan sikap Lisa yang terkesan pasrah dan lemah. Biasanya gadis ini akan menyerang balik dan melukainya, tapi sekarang?
(Alah, ini pasti trik yang sengaja dimainkan Lisa untuk mengelabuiku. Dia inikan jelmaan rubah yang sangat licik. Aku tidak boleh sampai terpedaya)
"Bangun, bodoh! Jangan kau kira aku akan merasa iba dengan kau berpura-pura lemah seperti ini. Cepat bangun dan terima hukumanmu!" teriak Arina berapi-api.
"Aku lelah." Lisa bicara lirih. Dia tak menangis, hanya berharap penyiksaan ini akan berakhir lebih cepat. "Tidak bisakah dilanjut besok saja? Aku sudah tidak punya tenaga untuk melawanmu."
"Enak saja. Setelah penghinaan yang kau lakukan, sekarang dengan seenaknya kau ingin aku mengalah dan menghentikan hukuman ini? Mimpimu terlalu tinggi, Lisa. Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau dapatkan. Dasar anak tak tahu diri."
Lisa pasrah memejamkan mata saat ibu tirinya terus mengayunkan tongkat memukuli. Menahan rasa sakit, dia sedikit bersyukur karena Hanum tidak ikut menyiksanya. Perlakuan mereka akan jauh lebih kejam lagi jika disatukan. Dia selamat meski tetap terluka.
(Andai Ayah atau Ibu masih hidup, hidupku pasti tidak akan setragis ini. Setidaknya ada yang melindungiku di saat-saat genting begini. Nasib-nasib jadi cinderella. Ternyata rasa sakitnya tak main-main)
Kekejaman Arina baru terhenti saat terdengar suara deru mobil memasuki halaman depan. Lisa yang melihat hal itu pun bersyukur dalam diam. Dia lalu menatap nanar luka membiru di area kaki, kemudian mengelus pinggangnya yang terasa sangat luar biasa sakit dan juga perih.
"Kira-kira ginjalku pindah posisi tidak ya? Penyihir itu sangat brutal saat memukuliku. Semoga saja ginjalku tidak rusak," gumam Lisa sembari beringsut menjauh. Ibu tirinya keluar, kesempatan untuk melarikan diri ke kamar. Tetapi karena terlalu lelah dan juga sakit, akhirnya Lisa melarikan diri dengan cara mengesot seperti orang c*cat.
Sementara itu di luar rumah, senyum Arina tampak mengembang lebar melihat Hanum datang bersama Richard. Tatapannya lekat, sarat akan suatu kebanggaan.
"Selamat malam, Bibi. Apa kabar?" sapa Richard sopan. Tak lupa dia memberikan paper bag berisi oleh-oleh kecil untuk wanita tersebut.
"Kabarku sangat baik. Dan akan selalu baik kalau kau rajin membawakan hadiah untukku," sahut Arina penuh suka cita. "Terima kasih banyak ya. Kau benar-benar calon mantu idaman."
Dusta. Awalnya Arina memang menginginkan Richard menjadi menantu. Tetapi setelah bertemu langsung dengan Tuan Lionel, keinginan tersebut pun musnah. Keserakahan akan kenyamanan hidup membuatnya teriming-imingi kekayaan. Richard akan dia buang setelah berhasil menyatukan Hanum dengan Tuan Lionel.
"Bu, ada apa? Ibu begitu berkeringat. Apa sesuatu telah terjadi?" tanya Hanum heran melihat wajah ibunya basah keringat. Was-was dia membatin.
(Apa jangan-jangan Lisa menyerang Ibu saat aku sedang tidak ada di rumah? Tapi gadis itukan sedang terluka, masa iya punya kekuatan untuk melawan)
"Di dalam sangat panas, Num. Makanya Ibu jadi berkeringat begini," Arina berkilah. Sejauh Richard belum tahu soal keberadaan Lisa. Dia sengaja merahasiakan karena tak ingin terbebani rasa malu.
"Panas?"
Hanum mengerutkan kening. Sejak kapan rumahnya menjadi panas? AC terpasang rata di setiap ruangan, kecuali gudang tempat Lisa tidur. Aneh sekali.
"Apa AC di rumah ini rusak?" tanya Richard. Jiwa sosialnya seketika tergerak melihat keadaan ibunya Hanum yang kepanasan. "Pesan saja yang baru dengan kualitas terbaik, nanti biar aku yang membayar. Kondisi cuaca sekarang cukup ekstrim. Harus ada pendingin supaya kalian biss istirahat dengan nyaman."
"Oh tidak usah repot-repot. AC di rumah kami baik-baik saja kok. Hanya tadi aku sedikit beraktivitas dan lupa menyalakan pendingin, makanya kepanasan," jawab Arina sambil mengibaskan tangan. AC? Yang benar saja.
"Bibi jangan sungkan. Aku sudah menganggapmu seperti keluarga sendiri."
Hanum terpesona oleh pengakuan Richard yang begitu tulus. Betapa beruntungnya dia bertemu dengan laki-laki yang sudah mapan secara materi dan kedewasaan.
"Em ini sudah malam, aku harus segera kembali untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Masalah AC, biar Hanum saja yang urus. Nanti aku tinggal mentransfer uang pembayaran. Ya?" Richard berniat pamit. Nyonya Kinara memintanya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
"Buru-buru sekali. Tidak mau masuk dulu ke dalam?" tanya Hanum tak rela kekasihnya pulang begitu cepat.
"Lain kali saja, sayang. Ini sudah menjadi tanggung jawabku. Kalau tidak segera pulang, bagaimana dengan nasib masa depan kita nanti? Memangnya kau mau punya suami pengangguran?"
"Tentu saja aku tidak mau."
"Kalau begitu aku pulang dulu ya. Nanti kalau ada waktu senggang aku akan mengajak kalian pergi berbelanja bersama. Oke?"
Mata Arina dan Hanum langsung berbinar binar saat Richard berjanji akan mengajak mereka pergi berbelanja. Sebagai wanita normal, ajakan ini jelas begitu menggiurkan. Setelah itu mereka melepas kepergian pria tersebut dengan penuh suka cita. Tak ada akar rotan pun jadi. Belum bisa mendekati Lionel, Richard pun tak masalah.
"Bu, katakan yang sebenarnya padaku. Kenapa tadi Ibu begitu berkeringat? Lisa memberontak lagi apa bagaimana?"
"Ibu baru saja menghukumnya, makanya berkeringat."
"Oh, aku kira kenapa. Ya sudah ayo kita masuk ke dalam. Tadi Richard membelikan barang kesukaan Ibu. Bukalah."
Di saat Hanum dan Arina bersenang-senang dengan hadiah pemberian Richard, di ruangan lain ada Lisa yang sedang menggigil kedinginan. Fisik yang dipaksa bekerja tanpa henti, juga dengan penyiksaan yang diterimanya hari ini, membuat Lisa demam tinggi. Dia mengigau, merintih memanggil nama ayah dan ibunya meminta pertolongan. Miris.
"Sakit Bu. Ayah, tolong aku .... "
***
Apa kau adalah saudara tirinya Lionel?
lisa adalah definisi pasrah yang sebenernya. udah gk takut mati lagi gara2 idup sengsara