“Glady, tolong gantikan peran kakakmu ! “ ujar seorang pria paruh baya tegas kepada putri semata wayangnya.
Glady Syakura, berusia 17 tahun harus menggantikan peran kakak angkatnya yang pergi begitu saja setelah menikah dan melahirkan kedua anaknya.
“Peran kakak ? “ tanya Glady bingung yang saat itu hanya tahu jika dirinya hanya membantu kakaknya untuk mengurus Gabriella yang berusia 6 bulan dan Gabriel yang berusia 4 tahun.
***
“APA ?! KAMU INGIN BERCERAI DENGANKU DAN MENINGGALKAN KEDUA ANAK KITA ?! “ teriak seorang pria tampan menggelegar di seluruh ruangan. Saat istrinya menggugat dirinya dengan alasan yang tak masuk akal.
“KAMU AKAN MENYESAL DENGAN PERBUATANMU, PATRICIA ! “
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kata savage Junik
Glady duduk di tepi tempat tidurnya, pandangannya melayang jauh keluar jendela. Malam itu terasa sangat sunyi, hanya sesekali terdengar suara nyanyian jangkrik dari kebun di belakang rumah. Di sebelahnya, Gabriella sudah tertidur pulas, napas kecilnya terdengar ritmis dan menenangkan. Di kamar sebelah, Gabriel juga sudah tertidur setelah seharian merajuk dan menuntut sesuatu yang mustahil bagi Glady saat ini.
Sejak perbincangannya dengan Gama sore tadi, pikiran Glady tidak bisa tenang. Permintaan Gabriel yang polos namun berat itu membuatnya merasa terombang-ambing di antara rasa tanggung jawab dan perasaan pribadinya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi mantan kakak iparnya sendiri? Itu bukan hanya melanggar norma, tetapi juga terasa begitu salah di hatinya.
Namun, disisi lain, dia juga merasakan beban yang begitu besar untuk menjaga keponakannya. Sejak perceraian Gama dan Patricia, anak-anak itu kehilangan sosok ibu yang seharusnya mendampingi mereka setiap hari walau Patricia tidak pernah mau menyentuh kedua anaknya dari lahir.
Gabriel dan Gabriella, dua anak yang masih begitu kecil, membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang tulus. Glady selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka, tetapi dia tahu bahwa ada kekosongan yang tidak bisa dia isi sendirian.
Malam itu, pikiran Glady melayang ke masa lalu. Dia teringat akan masa-masa ketika Patricia dan Gama masih bersama, saat semuanya terlihat begitu sempurna. Patricia, kakak perempuannya, dulu adalah sosok yang tegas namun penuh kasih sayang. Namun, entah sejak kapan, hubungan mereka mulai retak. Perselisihan demi perselisihan muncul, dan akhirnya berujung pada perceraian yang tidak bisa dihindari.
Glady menarik napas panjang, mengusir bayangan-bayangan kelam itu dari benaknya. Dia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah masa depan Gabriel dan Gabriella. Dia harus membuat keputusan yang tepat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak-anak yang sudah menganggapnya sebagai figur ibu.
Telepon dari Gama tadi sore kembali terngiang di telinganya. "Apa pendapatmu tentang menikah?" pertanyaan itu terkesan begitu mendadak dan mengejutkan. Glady tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Dia butuh waktu untuk berpikir, untuk merenungkan segala kemungkinan dan konsekuensi yang akan datang.
"Menikah dengan, bang Gama..." gumam Glady pelan, mencoba merasakan kata-kata itu di bibirnya. Rasanya aneh, tetapi juga tidak sepenuhnya buruk. Gama adalah pria yang baik, ayah yang penyayang, dan teman yang bisa diandalkan. Namun, apakah dia bisa melihatnya lebih dari itu? Bisakah dia mencintainya seperti seorang istri mencintai suaminya?
Glady menggigit bibirnya, merasa gundah. Dia selalu percaya bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral, sebuah komitmen yang harus diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Dia tidak ingin menikah hanya karena merasa kasihan atau demi kenyamanan semata. Pernikahan harus didasarkan pada cinta yang tulus dan keinginan untuk bersama sepanjang hidup.
Pikiran itu membuatnya semakin bingung. Dia mencintai Gabriel dan Gabriella seperti anaknya sendiri, tetapi apakah cinta itu cukup untuk membangun sebuah pernikahan dengan Gama? Apakah dia bisa mengesampingkan perasaan ragu dan ketidakpastian demi kebahagiaan anak-anak ini?
Di tengah kegalauannya, Glady meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Dia melihat foto-foto Gabriel dan Gabriella yang tersenyum bahagia.
“Kalian sudah mulai besar, sayang. Bibi senang bisa melihat tumbuh kembang kalian selama ini,” Senyum mereka selalu membuat hatinya hangat dan penuh harapan. Mereka adalah alasan utama dia berusaha begitu keras setiap hari.
Glady menyadari bahwa dia perlu berbicara dengan seseorang tentang perasaannya. Dia tidak bisa terus memendam semuanya sendirian. Dengan tangan gemetar, dia menelepon sahabat terbaiknya, Nadia.
Awalnya, Nadia terkejut saat tahu jika Glady berada di kota J yang lebih mengejutkan lagi, Glady di bawa kedua orang tua mantan kakak iparnya dan sudah berada disana sudah seminggu lebih.
"Halo, Nad ?" suara Glady terdengar serak.
"Hai, Glady. Ada apa? Kenapa suaramu terdengar begitu sedih?" Nadia bertanya dengan nada khawatir.
Glady menghela napas panjang. "Aku butuh teman bicara, Nad. Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku."
"Baiklah, ceritakan padaku. Aku di sini untuk mendengarkan."
Dengan perlahan, Glady mulai menceritakan segala kegundahannya kepada Nadia. Dia bercerita tentang permintaan Gabriel, percakapan dengan Gama, dan perasaannya yang terombang-ambing antara tanggung jawab dan keinginan pribadi. Nadia mendengarkan dengan sabar, sesekali memberi komentar atau saran yang bijak.
"Glady, kamu tahu aku selalu mendukung apapun keputusanmu. Tapi yang terpenting adalah kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Apakah kamu benar-benar ingin menikah dengan Gama karena kamu mencintainya, atau hanya karena merasa itu yang terbaik untuk anak-anak?" kata Nadia dengan suara lembut.
"Itulah yang membuatku bingung, Nadia. Aku tidak tahu harus bagaimana," jawab Glady dengan suara bergetar.
"Kamu punya waktu untuk memikirkan semuanya. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Anak-anak butuhmu, itu benar. Tapi mereka juga butuh kamu bahagia. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Pastikan kamu melakukannya karena cinta, bukan karena kewajiban."
Kata-kata Nadia memberi sedikit kelegaan di hati Glady. Dia tahu, keputusan besar ini tidak bisa diambil dengan gegabah. Dia butuh waktu untuk merenungkan segalanya, untuk memastikan bahwa apapun yang dia putuskan adalah yang terbaik bagi semua pihak.
Malam itu, setelah berbicara dengan Nadia, Glady merasa sedikit lebih tenang. Dia kembali ke kamar dan melihat Gabriel dan Gabriella yang tidur dengan damai. Melihat mereka, Glady merasa ada harapan baru. Dia tahu, perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan cinta dan dukungan dari orang-orang terdekat, dia yakin bisa melalui semuanya.
"Besok akan menjadi hari baru," bisik Glady pada dirinya sendiri. "Aku akan menemukan jawabannya. Untuk Gabriel, untuk Gabriella, dan untuk diriku sendiri."
Dengan tekad yang lebih kuat, Glady berbaring di samping Gabriella, menarik selimut, dan memejamkan mata. Di dalam hatinya, dia berdoa semoga diberikan petunjuk dan kekuatan untuk mengambil keputusan yang terbaik. Malam itu, meski penuh kegundahan, Glady merasa ada cahaya harapan yang mulai menerangi jalan di depannya.
*
*
*
*
Jonathan tiba di rumah mertuanya dengan langkah penuh amarah. Video yang diunggah Junik, si selebjin, dua hari lalu telah membuatnya murka. Dia tidak bisa membiarkan keluarga istrinya dipermalukan begitu saja di depan publik. Patricia menyambutnya dengan senyum lebar, senang melihat suaminya pulang dari luar negeri dengan niat membela kehormatan mereka.
"Sayang, aku senang kamu kembali. Kita harus memberi pelajaran pada Junik," kata Patricia dengan semangat.
Jonathan mengangguk tegas, matanya bersinar penuh kemarahan. "Dia harus tahu akibatnya bermain-main dengan keluarga kita," jawabnya.
Mereka berdua segera menuju rumah Junik. Di depan pintu, Junik sudah menunggu dengan senyum santai, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Jonathan maju dengan langkah tegap, siap untuk mengkonfrontasi Junik.
"Kau pikir siapa dirimu menyebarkan video itu?" Jonathan membuka pembicaraan dengan nada dingin dan penuh ancaman.
Junik, dengan santainya, hanya mengangkat bahu. "Aku hanya menunjukkan apa yang benar. Orang-orang berhak tahu siapa Patricia sebenarnya."
Ucapan Junik membuat darah Jonathan mendidih. "Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi! Aku bisa menghancurkan karirmu dalam sekejap."
Namun, Junik tetap tenang. "Hancurkanlah, kalau kau bisa. Tapi ingat, kebenaran akan selalu muncul. Dan aku tidak takut pada ancamanmu."
Kata-kata savage Junik membuat Jonathan terdiam, kena mental oleh kepercayaan diri Junik yang tak tergoyahkan. Jonathan tersadar bahwa dia telah meremehkan lawannya. Sementara itu, Patricia hanya bisa melihat dengan ketidakpercayaan, menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seseorang yang lebih kuat dari yang mereka kira.
“Pantas saja dia menjadi seleb jin, khodamnya sangat kuat ! “ cicit Patricia dalam hati.