Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Ingatan
Aku terbangun dengan mata yang terasa berat, dan dunia di sekitarku terasa kabur. Bau antiseptik yang menyengat segera memenuhi hidungku, membuatku mual. Aku terbaring di ranjang rumah sakit, dengan lampu neon yang berkedip-kedip di langit-langit. Pakaian pasien yang longgar dan dingin menutupi tubuhku, menambah perasaan tak nyaman yang menghantuiku.
Di sekitarku, bayangan-bayangan bergerak di antara tirai-tirai putih yang menjulang, menciptakan siluet yang mengerikan. Suara mesin medis berdenging dan berdenyut, seolah-olah meniru detak jantungku yang semakin cepat. Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku terasa berat, seakan-akan ada beban yang menahanku di tempat.
"Di mana aku?" gumamku, suara serak dan nyaris tak terdengar.
Pintu di sudut ruangan terbuka perlahan, dan seorang perawat dengan wajah yang tersembunyi di balik masker masuk. Matanya tajam, hampir tanpa ekspresi. Dia mendekatiku dengan langkah yang tenang namun mengintimidasi.
"Tenang saja, Dr. Fikri," kata perawat itu dengan suara datar yang membuat bulu kudukku meremang. "Kau berada di tempat yang aman."
"Apa yang terjadi padaku?" tanyaku, berusaha mengingat bagaimana aku bisa sampai di sini. Ingatan-ingatan kabur dan terpecah-pecah menghantui pikiranku. Nazam, Fanny, badai, dan Colt M1911 yang kupegang di tangan.
Perawat itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia memasang beberapa alat di tubuhku, dan sensasi dingin logam yang menyentuh kulitku membuatku merinding. Aku melihat sekeliling, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang terjadi. Di dinding, ada jam besar yang bergerak mundur, dan di cermin yang tergantung, bayanganku sendiri tampak mengabur dan berubah bentuk.
Aku begitu takut, sangat takut dan menjerit sekuat-kuatnya.
Aku tiba-tiba terbangun karena cahaya matahari yang menyinari wajahku. Aku memicingkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan terang yang tiba-tiba itu. Ketika penglihatanku mulai jernih, aku melihat Michelle duduk di sebelah ranjangku, menatapku dengan tatapan aneh.
"Dr. Fikri, kamu baik-baik saja?" tanyanya.
Aku duduk dan mengangguk pelan, mencoba mengingat kembali mimpi buruk yang baru saja kualami. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya mimpi buruk."
Michelle tersenyum sedikit. "Kau pasti mengalami banyak tekanan akhir-akhir ini. Kita harus fokus menemukan Fanny."
Aku mengangguk lagi, setuju dengannya. "Ya, kita harus mencari petunjuk lebih lanjut. Mungkin pasien lain tahu sesuatu tentang keberadaan Fanny."
"Kamu ingin menanyai pasien lain tentang keberadaan Fanny?" tanya Michelle.
Aku mengangguk. "Iya, mungkin saja mereka tahu dan melihat Fanny sebelum Fanny melarikan diri," Kataku.
Michelle tampak setuju dengan ideku. Kami segera bersiap-siap dan menuju ruang terapi, di mana beberapa pasien sedang berkumpul. Mereka tampak gelisah, mungkin akibat dari alarm darurat dan badai semalam. Kami memilih salah satu pasien, seorang pria dengan tatapan kosong dan tangan yang terus-menerus gemetar.
"Siapa nama pria itu?" tanyaku ke Michelle.
"Ah dia Rizal," jawab Michelle.
Aku menghampiri Rizal perlahan. "Hei Rizal, bisakah kami berbicara sebentar?" tanyaku dengan suara tenang, berusaha tidak menakutinya.
Rizal mengangguk perlahan, dan kami membawanya ke ruang interogasi kecil di sudut bangunan. Aku duduk di depan Rizal, sementara Michelle berdiri di belakangku, memberikan dukungan yang tenang.
"Dia ingin terbang seperti blackbird dalam lagu The Beatles," kata Rizal dengan suara pelan, hampir berbisik. Tatapannya menerawang seolah mengingat setiap kata yang pernah diucapkan Fanny.
Aku mengerutkan kening, ingatan aneh tiba-tiba muncul, sepertinya aku pernah bernyanyi bersama dengan Fanny. Lagu blackbird. "Apa yang dia maksud dengan terbang? Apakah dia merencanakan sesuatu?"
Rizal menggelengkan kepala, tampak bingung. "Aku tidak tahu. Dia hanya selalu bilang ingin terbang, pergi dari sini. Seperti dalam lagu itu."
Michelle menatapku dengan penuh kebingungan. "Terbang? Mungkinkah itu petunjuk tentang di mana dia bersembunyi?"
Aku berpikir sejenak, mencerna informasi yang baru kami dapatkan. "Mungkin. Kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan."
Aku menatap Rizal dengan tajam, mencoba menggali lebih dalam. "Rizal, apakah Fanny pernah menyebutkan tempat spesifik? Sesuatu yang mungkin tidak kita ketahui?"
Rizal tampak gugup, tangannya gemetar sedikit. "Tidak... tidak ada yang spesifik. Hanya tempat aman. Dia selalu bilang dia ingin terbang dari sini."
"Apakah dia pernah menyebutkan nama seseorang? Seseorang yang mungkin membantunya?" tanyaku, mencoba menahan rasa frustrasi yang semakin membesar.
Rizal menggigit bibirnya, tampak semakin gelisah. "Aku... aku tidak tahu. Dia tidak pernah menyebutkan nama. Tapi dia sering bicara tentang 'penerbangan.' Mungkin itu kode atau sesuatu."
Aku berpikir keras, mencoba menghubungkan titik-titik ini. Penerbangan... tempat aman... Blackbird. Semua ini seolah-olah teka-teki yang harus dipecahkan. "Apakah ada sesuatu yang aneh yang pernah kamu lihat di sini, Rizal? Sesuatu yang tidak biasa?"
Rizal menggoyangkan kepalanya. "Semua di sini aneh, Dokter. Ini rumah sakit jiwa."
"Tapi sesuatu yang lebih dari biasanya," kataku tegas. "Sesuatu yang mungkin berkaitan dengan Fanny. Bagaimana jika itu Nazam?"
Rizal menatapku dengan tajam, matanya melebar penuh ketakutan. "Aku tidak mau bertemu dengannya lagi, aku tidak mau!"
Aku merasa kaget dengan reaksi tiba-tiba itu, namun aku tetap berusaha tenang. "Rizal, siapa yang kamu maksud dengan 'dia'? Apakah Nazam?"
Rizal mulai menggigil, wajahnya memucat. "Dia... dia... Nazam. Dia selalu datang ke sini. Menginterogasi semua orang, termasuk aku. Dia tidak pernah puas dengan jawaban yang kami berikan."
Michelle menatap Rizal dengan cemas. "Apa yang Nazam lakukan pada kalian?"
Rizal menghindari tatapan kami, menundukkan kepala. "Dia selalu bertanya tentang Fanny, tentang tempat yang aman. Dia... dia membuat kami takut. Jika kami tidak menjawab dengan benar, kami dihukum."
"Apa yang terjadi jika seseorang tidak menjawab dengan benar?" tanyaku, mencoba mengendalikan nada suaraku agar tetap tenang.
Rizal menggigit bibirnya, tampaknya sulit untuk berbicara. "Dia... dia memaksa kami untuk melakukan hal-hal yang sangat buruk. Terkadang kami harus memencet testis kami sendiri." Suaranya mulai bergetar, dan matanya dipenuhi dengan ketakutan yang mendalam.
Tiba-tiba, Rizal mengamuk. Dengan kekuatan yang tampaknya tidak proporsional, dia membanting kursi dan meja di sekelilingnya. Barang-barang berserakan, dan suara benturan metalik membuat suasana semakin kacau. Para perawat yang berada di luar ruangan bergegas masuk untuk menenangkan Rizal.
"Tenang, Rizal! Jangan lakukan ini!" teriak salah satu perawat, sambil mencoba meraih Rizal dan menahannya. Namun, Rizal melawan dengan kuat, menunjukkan betapa dalamnya rasa ketakutannya.
Aku menatap Michelle dengan wajah penuh kecemasan. "Lihat itu, Michelle! Nazam ada di sini! Kalian menyembunyikan Nazam!"
Michelle tampak terkejut, mulutnya terbuka seolah-olah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja kukatakan. "Dr. Fikri, tidak ada Nazam di sini. Kamu harus tenang!"
Tetapi pandanganku tetap pada Rizal yang terus berjuang melawan perawat-perawat yang berusaha menenangkannya. Aku merasa kecurigaan semakin menguat, sementara Michelle berusaha untuk mendapatkan kontrol atas situasi.
"Kita harus mendapatkan jawaban dari Rizal," kataku dengan nada mendesak. "Dia jelas tahu sesuatu yang penting."
Michelle mengangguk, berusaha menjaga ketenangan meskipun situasi menjadi semakin tegang. "Kita perlu menghentikan kerusuhan ini terlebih dahulu. Setelah semuanya tenang, kita bisa mencoba mendapatkan informasi lebih lanjut."
Beberapa perawat dengan cepat berhasil menenangkan Rizal menggunakan obat penenang, dan ruangan akhirnya kembali menjadi tenang. Rizal terbaring di tempat tidur, matanya tertutup dan napasnya teratur, meskipun ekspresinya masih menunjukkan ketakutan mendalam.
Michelle melangkah mendekat, meraih tanganku dengan lembut. "Dr. Fikri, kita perlu melanjutkan pencarian kita. Rizal tampaknya sangat ketakutan, tetapi kita tidak bisa hanya mengandalkan apa yang dikatakan Rizal."
Aku hanya diam, Michelle keluar ruangan dan aku mengikuti Michelle dari belakang. Michelle menuju ruangan Dr. Irma. Sesampainya di ruangan Dr. Irma, beliau memberikan kabar baik.
"Fanny sudah ditemukan." kata Dr. Irma.
aarrrrgh~~~