NovelToon NovelToon
Love Or Tears

Love Or Tears

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putu Diah Anggreni

Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ingin membantu

Malam telah larut ketika Dimas terbangun, merasakan pergerakan gelisah di sampingnya. Kegelapan kamar hanya ditembus oleh sinar bulan yang redup, menciptakan bayangan-bayangan samar di dinding. Udara terasa berat dan mencekam, seolah ada energi tak terlihat yang mengambang di sekitar mereka.

Dimas menoleh, mendapati Rani terduduk di tepi tempat tidur, bahunya bergetar pelan. Isakan lirih lolos dari bibirnya, nyaris tak terdengar namun cukup untuk memecah keheningan malam.

"Kenapa kau menangis?" tanya Dimas, suaranya datar dan dingin, kontras dengan kehangatan malam musim panas yang merayap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit.

Rani tersentak, baru menyadari bahwa Dimas telah bangun. Dia buru-buru menghapus air matanya, berusaha menenangkan diri. "Maaf, aku... aku tidak bermaksud membangunkanmu."

Dimas bangkit dari tempat tidur tanpa berkata apa-apa, berjalan ke arah jendela. Dia membukanya lebih lebar, membiarkan angin malam yang lembab menyapu wajahnya. Dari kejauhan, terdengar deru samar kendaraan yang lewat, mengingatkan bahwa dunia luar masih bergerak meski waktu seolah berhenti di kamar ini.

"Mimpi buruk?" tanya Dimas akhirnya, masih membelakangi Rani.

Rani menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Ya... semacam itu. Tapi juga... tidak sepenuhnya buruk."

Dimas berbalik perlahan, matanya bertemu dengan Rani. Ada kilatan aneh di sana, campuran antara rasa ingin tahu dan kewaspadaan. "Apa maksudmu?"

Rani menggigit bibirnya, ragu-ragu. Bagaimana dia bisa menjelaskan mimpinya tanpa menyebut nama yang dia tahu akan memicu reaksi keras dari Dimas?

"Aku... aku bermimpi tentang seseorang," Rani memulai dengan hati-hati. "Seseorang yang... yang penting bagimu."

Tubuh Dimas menegang seketika. Matanya menyipit, seolah berusaha membaca pikiran Rani. "Siapa?" tanyanya tajam.

Rani menggeleng pelan. "Bukan siapanya yang penting, Dimas. Tapi apa yang dia katakan."

Dimas mendengus, berjalan menjauh dari jendela. Dia berhenti di tengah ruangan, punggungnya menghadap Rani. "Dan apa yang 'dia' katakan dalam mimpi konyolmu itu?"

Nada sinis dalam suara Dimas membuat Rani tersentak, tapi dia memaksakan diri untuk melanjutkan. "Dia... dia ingin kau bahagia, Dimas. Dia ingin kau kembali menjadi dirimu sendiri."

Tawa getir Dimas memecah keheningan, suaranya terdengar menyakitkan dan hampa. "Bahagia? Menjadi diriku sendiri? Omong kosong macam apa ini, Adinda?"

Rani bangkit, mencoba mendekati Dimas. Namun Dimas mengangkat tangannya, gestur yang jelas mengatakan 'jangan mendekat'.

"Ini bukan omong kosong, Dimas," Rani berkata lembut. "Aku tahu kau terluka. Aku tahu kau merasa terjebak. Tapi kau tidak sendirian dalam hal ini."

"Kau tidak tahu apa-apa," desis Dimas, matanya berkilat berbahaya. "Kau tidak tahu beban yang harus kutanggung. Kewajiban yang harus kupenuhi."

Rani menelan ludah, merasakan ketegangan yang semakin menebal di udara. "Aku mungkin tidak tahu semuanya, Dimas. Tapi aku di sini. Aku ingin memahami, aku ingin membantumu."

"Tidak ada yang bisa kau lakukan!" Dimas membentak, suaranya menggema di dinding-dinding kamar. "Tidak ada yang bisa siapapun lakukan!"

Keheningan yang menyakitkan menyelimuti mereka. Rani bisa merasakan dinding tak kasat mata yang Dimas bangun, begitu tinggi dan tebal hingga rasanya mustahil untuk ditembus.

"Dimas," Rani mencoba lagi, suaranya nyaris berbisik. "Aku tahu tentang janji pada ayahmu. Tentang... harapan mereka. Tapi apakah itu benar-benar yang kau inginkan?"

Pertanyaan itu seperti memicu sesuatu dalam diri Dimas. Dia berbalik cepat, matanya menyala-nyala dengan emosi yang sulit dibaca.

"Kau tidak mengerti," Dimas berkata, suaranya rendah dan berbahaya. "Ini bukan tentang apa yang kuinginkan. Ini tentang apa yang harus kulakukan."

Rani mengambil langkah maju, memberanikan diri. "Tapi apa harganya, Dimas? Kebahagiaanmu? Masa depanmu?"

Untuk sesaat, topeng dingin Dimas retak. Ada kilasan kerentanan di matanya, begitu cepat hingga Rani nyaris meragukan penglihatannya.

"Aku tidak punya pilihan," bisik Dimas akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Rani mengulurkan tangannya, ingin menyentuh Dimas, ingin menghapus rasa sakit yang terpancar dari setiap pori-pori tubuhnya. Tapi Dimas menghindar, kembali membangun pertahanannya.

"Kau selalu punya pilihan, Dimas," ujar Rani lembut. "Dan tidak apa-apa untuk memilih kebahagiaanmu sendiri."

Dimas menggeleng keras, berjalan melewati Rani menuju pintu kamar. "Kau salah," katanya dingin. "Tidak semua orang punya kemewahan untuk memilih kebahagiaan."

Dengan itu, Dimas keluar dari kamar, meninggalkan Rani sendirian dengan sejuta pertanyaan dan kekhawatiran yang tak terjawab.

Rani berdiri di tengah kamar, merasakan kehampaan yang Dimas tinggalkan. Air matanya kembali mengalir, kali ini bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Dimas dan semua luka yang dia sembunyikan di balik topeng dinginnya.

Di luar, langit mulai berubah warna. Fajar akan segera menyingsing, membawa hari baru yang entah akan membawa apa. Rani tahu perjalanan mereka masih panjang dan berliku.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!