Melody Mikayla gadis berusia 18 tahun terpaksa harus menikah dengan Alvaro Evano seorang pria yang jauh lebih tua darinya, bukan usia yang menjadi persoalannya, tetapi Alvaro adalah orang asing baginya dan sudah memiliki kekasih. Alvaro mau menikah dengan Melody karena terjerat masalah di masa lalu, masalah apa yang membuat Alvaro tidak bisa menolak pernikahan itu padahal mempunyai kekasih? Lantas, bagaimanakah kisah pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ailah Sarii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Gara-Gara Alvaro?
Melody dan keluarga Alvaro sedang sarapan bersama, tiba-tiba saja ayah mertuanya menanyakan tentang kuliah Melody sontak saja membuat semua yang ada di sana terfokus pada pria tersebut.
"Semuanya baik-baik saja dan saya juga sangat senang bisa menempuh pendidikan di sana," jawab Melody.
"Papa ikut senang kalau kamu senang, semoga kamu dapat belajar dengan baik."
"Papa apa-apaan, sih? Melody ini Mama sengaja dianggap sebagai keponakan dan seharusnya manggil Papa itu om bukan malah Papa."
Suaminya berkata kalau ia seperti menganggap anak pada Melody. Namun, istrinya melarang bagaimanapun juga Melody harus memperlakukannya sebagai Tante dan omnya bukan orang tuanya.
"Apa salahnya, Ma? Lagian, di sini gak ada orang luar juga."
"Pa, gimana kalau dia gak sengaja manggil dengan sebutan itu di hadapan Serena? Apa yang akan dia pikirkan? Gimana kalau dia mikir Melody ini anak Papa dari istri lain, mau kayak gitu?"
Pria itu menganggap istrinya terlalu berlebihan hanya karena masalah kecil, lagian bisa diperbaiki karena memang tidak ada orang asing ini yang dengar. Melody merasa karena dirinya sepasang suami istri itu bertengkar, sehingga ia minta maaf.
"Kamu gak salah Melody, ini salah Om."
"Pa, kenapa malah belain dia?" tanya istrinya dengan raut wajah kesal.
"Kan memang Papa yang dari awal bikin kesalahan, Melody gak salah sama sekali."
Wanita tersebut meletakkan sendok ke piring dengan kasar sehingga berbunyi nyaris keras. Suaminya mengikuti istrinya mencoba meredam emosi. Alvaro bangkit dari duduknya sambil menunjuk wajah Melody kalau mereka bertengkar karenanya. Jika sampai mereka tidak akur lagi maka Alvaro tidak akan mengampuni Melody.
Pria berkulit putih itu meninggalkan meja makan, Ardiaz menatap Melody yang ada di hadapannya. Ia berkata padanya untuk tidak mendengarkan ucapan mereka karena Melody memang tidak salah, hanya saja ibunya yang menyalahkan Melody.
Melihat gadis yang sedang sedih, Ardiaz membawanya pergi. Melody sempat menolak karena tidak enak oleh yang lainnya, sedang ada masalah malah pergi. Ardiaz minta tidak perlu memedulikan itu, ia memaksanya pergi bersama.
Mereka tiba di taman, Ardiaz membeli dua es krim satu untuknya dan satunya untuk Melody. Di tengah-tengah menikmati itu, Ardiaz berkata kalau dirinya teringat beberapa kenangan di tempat tersebut.
"Kenangan? Apakah Mas Ardiaz teringat seseorang yang sangat berarti?"
"Ya benar, dulu saya sering banget datang ke sini hanya untuk makan es krim ini."
"Lalu kenapa sekarang tidak melakukannya lagi?" tanya Melody sambil kembali menikmati es krim rasa strawberry.
"Semuanya hanya tinggal kenangan," jawabnya sembari sedikit merenung.
Melody meliriknya dengan tatapan heran, Ardiaz kembali berbicara kalau dirinya dan orang itu sudah tidak ada hubungan apapun jadi tidak mungkin akan ada cerita baru di antara keduanya.
"Apakah Mas Ardiaz masih mengharapkannya kembali?"
Pertanyaan itu telah membuat Ardiaz terdiam sejenak, lalu berkata kalau ia sudah tidak mengharapkannya lagi hanya saja ketika berjumpa dengannya teringat waktu bersama. Menurut Melody itu wajar karena pasti kalau sebelumnya punya hubungan yang cukup dekat ketika bertemu kembali teringat masa lalunya walaupun hanya sedikit.
Namun, walaupun demikian tidak semua orang ingin kembali ke masa itu justru malah ada yang berpikir seharusnya kejadian itu tidak terjadi. Bagi Ardiaz itu benar, ia juga tidak mau kembali bersamanya karena pada dasarnya orang itu sudah menjadi milik orang lain dan memilih pria lain ketika bersama Ardiaz.
"Semua orang pasti pernah mengalami masa yang pahit, tugas Mas Ardiaz sekarang adalah bangkit dari masa itu."
"Iya, ayo kita makan es krim lagi. Kalau kamu mau nambah bilang aja biar saya beli lagi," jelas pria itu.
"Gak usah, Mas. Ini juga masih banyak, kok."
Ardiaz mengangguk pelan, sedangkan di rumah sepasang suami istri masih saja ribut. Istrinya berkata kalau ia tidak mau jika sampai suaminya bersikap berlebihan pada Melody.
"Papa gak berlebihan, Ma. Apa salahnya kalau Papa anggap dia kayak anak sendiri," kata suaminya.
Mereka terus debat membuat Alvaro yang mendengarnya merasa muak. Pria itu minta mereka untuk berhenti membicarakan hal tersebut karena yang seharusnya marah adalah Alvaro.
"Kenapa kamu harus marah? Lagian, pernikahan ini terjadi gara-gara kamu juga."
"Lho, maksud Papa apa? Kenapa Papa malah nyalahin Alvaro?!"
"Ya, kan memang benar itu gara-gara dia."
Istrinya marah besar karena tidak seharusnya pria itu menyalahkan Alvaro secara sepihak. Hanya karena Melody justru malah menyudutkan anak sendiri.
"Bukan gitu, Ma."
"Udahlah, Papa itu cuma papanya Melody bukan papanya Alvaro!" tegasnya sembari pergi.
"Lihatlah Mama kamu, apa-apa marah kerjaannya."
Alvaro hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, ia pergi keluar tidak melihat mobil adiknya, ia juga merasa kalau Melody tidak ada di rumah sejak pertengkaran tadi. Apa mungkin mereka pergi bersama? Memang Ardiaz itu selalu saja memihak Melody.
Alvaro pergi menemui kekasihnya di rumahnya, ia disambut dengan pelukan kecil oleh wanita berambut cokelat itu. Serena juga sempat menyentuh kedua lengan kekasihnya sambil mengatakan kalau ia sangat beruntung karena memiliki kekasih sebaik Alvaro.
"Sayang, apapun yang kamu mau pasti aku kabulkan."
"Beneran?"
"Iya, kamu boleh minta apapun."
Serena tersenyum senang, lalu mereka pergi bersama. Dikarenakan sarapan di rumah tidak kenyang membuat Alvaro merasa harus mengisi perutnya. Ia pergi ke kafe di sana ada Alex dan dua orang teman laki-lakinya. Ia melihat Serena, tetapi tidak melihat siapa yang sedang bersamanya.
"Lex, gimana kamu sama cewek yang kamu suka itu?" tanya salah satu temannya membuat Alex melihat ke arahnya.
Alvaro melihat Alex, ia merasa kalau pria itu yang pernah bersama dengan Melody. Pandangannya kembali pada Serena karena menawarkan menu makanan.
"Aku gak tahu, tapi yang jelas dia itu punya dua sodara laki-laki yang aku pikir agak susah buat jalan sama dia."
"Maksudnya kakaknya?"
"Anak tantenya, sih."
"Ya ampun, kenapa harus ribet, sih?"
"Masalahnya kakaknya pernah bawa Melody pas lagi makan sama aku," jawabnya.
"Sudah, sih."
Setelah selesai menikmati makanan di sana, Serena dan Alvaro pergi membeli mobil baru. Mereka melihat beberapa jenis mobil di sana, Serena memilih mobil yang berwarna merah. Ia merasa sangat senang yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata lagi karena dengan mudahnya bisa mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa memaksa Alvaro.
Alvaro ini orangnya memang royal pada orang yang dicintainya, ia bisa membelikan apapun untuk orang tersebut, hanya saja jika sudah kecewa ia tidak mau menolong orang itu walaupun hanya sedikit. Ia tidak akan peduli lagi pada orang tersebut, dianggapnya orang tersebut sudah tidak berarti. Mau apapun yang terjadi padanya itu urusannya bukan lagi urusan Alvaro. Jadi sebaiknya orang seperti ini jangan sekali-kali membuatnya kecewa karena ketika pintu hatinya tertutup tidak akan bisa masuk lagi.