Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Ardini merasakan tubuhnya berat saat ia mencoba meregangkan otot-ototnya yang kaku saat bangun tidur. Ardini terjingkat melihat tangan kekar melingkar di perutnya. Pantas saja tubuhnya terasa berat, ternyata ada tangan seseorang memeluknya.
“Ahhkkk!!!” Ardini menjerit lalu menyingkirkan dengan kasar tangan tersebut dan mendorong tubuh laki-laki yang ada di sebelahnya.
Brugh!!!
“Ahhww!” pekik Vi yang jatuh dari tempat tidur.
“Astaga, Tuan? A—aku ....”
“Kamu ini apa-apaan, Adin? Kenapa kamu mendorong saya?!” pekik Vi yang tubuhnya merasakan sakit.
“Ma—maaf, Tuan. Saya kaget melihat Tuan, apalagi Tuan memeluk saya,” jawabnya dengan menunduk.
“Huh ....” Vi membuang napasnya dengan kasar. Vi memaklumi, mungkin ini yang pertama kali Ardini tidur sampai pagi dengan seoarang laki-laki.
“Tuan, apa sakit?”
“Kamu pikir saja sendiri?” ucap Vi dengan berusaha bangun dari lantai. Sedikit sakit pinggangnya, tapi Vi tidak masalah, asal bukan Ardini yang jatuh dari tempat tidur.
“Saya bantu, Tuan,” ucap Ardini sambil beranjak dari tempat tidurnya.
“Tidak usah, nanti malah jatuh bareng! Aku ini berat tubuhnya, kamu sedang hamil, kamu yang harus hati-hati, ada anakku di perutmu,” ucap Vi.
Ardini mengangguk, meski sedang galak begitu, Vi tetap perhatian dengan Ardini. Ardini hanya duduk di atas tempat tidur, dengan memandangi Vi yang baru saja bangkit dari jatuhnya.
“Huh!” Vi kembali menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.
“Kenapa malah tidur lagi, Tuan? Tuan gak pulang? Bukankah harus ke kantor hari ini?”
Vi melirik Ardini dengan tatapan yang cukup tajam, yang membuat Ardini menunduk. Bisa-bisanya Ardini malah menyuruh Vi pulang, karena sudah pagi. Bukannya senang dirinya masih ingin tinggal di rumahnya.
“Kamu mengusir saya?”
“Eh enggak begitu, Tuan. Nanti Mbak Sirta nyari Tuan?”
“Gak usah mikirin dia, Adin! Biar dia merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Dia saja bisa meninggalkan saya hura-hura ke luar negeri sampai sebulan, kenapa saya tidak bisa meninggalkan dia beberapa malam untuk di sini? Kamu juga istriku? Salah aku di sini?” ucap Vi.
“Ya gak salah sih, Tuan. Tapi, Tuan harus adil,” ucap Ardini.
“Ini sudah adil. Sudah tidur lagi, masih terlalu pagi untuk bangun,” perintah Vi.
“Gak baik Tuan, jam segini tidur lagi. Lebih baik saya ke dapur saja, saya juga tidak biasa jam segini tidur lagi,” ucap Ardini.
“Mau apa ke dapur?”
“Masak, kan ada Tuan. Masak untuk sarapan,” jawab Ardini.
“Ada Bi Siti, ngapain kamu harus repot-repot masak. Kamu jangan kecapekan, kamu masih hamil, Adin!”
“Lalu saya disuruh tidur-tiduran begini, Tuan? Saya tidak bisa jam segini tidur-tiduran, Tuan. Saya sudah biasa masak setiap pagi, kalau begini yang ada badanku capek semua,” jelas Ardini.
Vi mendengkus kesal. Ardini memang sedikit keras kepala, apa yang sudah biasa ia lakukan, wajib ia lakukan, selama kandungannya baik-baik saja. Jadi, Vi melarangnya pun Ardini tetap turun dari tempat tidurnya, ia merapikan rambutnya dan menjepitnya dengan jepitan rambut anti badai.
“Kamu benar mau keluar kamar, Adin?” tanya Vi.
“Iya, Tuan, haus mau minum,” jawabnya.
Ardini meninggalkan Vi yang masih di kamar, yang masih ingin bermalas-malasan di dalam kamar. Sebetulnya Vi menahan hasratnya, apalagi semalam permainannya belum tuntas dengan Sirta. Dan tadi, melihat pesona natural Ardini bangun tidur membuat si adik kecil langsung berdiri tegak.
“Sial! Malah tegak gini sih? Tegak banget lagi! Adin malah ninggalin aku keluar! Tapi, kalau pun di sini, aku masih belum berani menyentuhnya lagi, aku takut ditolak Adin, dan lebih takutnya kandungan Adin, aku takut kandungan Adin kenapa-napa kalau aku menyentuhnya sekarang. Apa aku konsultasi dengan dokter kandungan saja, ya? Boleh tidak menyentuh Adin di usia kandungan yang segitu? Eh ... enggak-enggak! Kesannya aku kok ngebet sekali sama Adin?” Vi berperang dalam batinnya.
Entah mengapa dia sangat tertarik dengan pesona Ardini pagi ini. Dia baru pernah melihat perempuan sepolos itu saat bangun tidur. Wajahnya benar-benar natural, meneduhkan, dan bikin adem dipandang.
“Biasanya aku lihat Sirta bangun tidur, tidak sepolos dan tidak senatural Adin. Adin begitu polos, begitu natural, adem sekali lihat wajahnya. Eh kok aku jadi bandingin Adin sama Sirta? Ya jelas bedalah! Bodoh sekali kamu, Vi!”
Vi memang masih sangat mencintai Sirta, akan tetapi cinta Vi terus dikecewakan oleh perbuatan Sirta yang tidak pernah mau berubah. Apalagi sampai detik ini Sirta tidak mau memiliki anak, dan itu membuat Vi sangat kecewa sekali. Hanya itu permintaan Vi pada Sirta, tapi Sirta tidak mau mengabulkannya. Padahal Vi selalu memberikan apa yang Sirta mau, bahkan rela memberikan uang berapa pun yang Sirta inginkan saat itu.
^^^
Ardini ke dapur, terliahat Bi Siti sedang mengiris sayuran. Ardini mendekatinya, sambil mengambil gelas lalu menuangkan air hangat untuk ia minum.
“Bibi masak apa?” tanya Ardini setelah selesai meneguk air putih hangat sampai tandas.
“Masak tumis brokoli, wortel, buncis, Nyonya,” jawabnya.
“Bibi ... jangan panggil Nyonya dong? Panggil Dini saja,” ucapnya.
“Huh ... tidak berani, Nyonya. Nanti Tuan marah?” jawabnya.
“Nanti kalau marah biar saya yang bilang, panggil Dini atau Adin boleh deh, sama kayak Tuan Vi?” ucap Ardini.
“Hmmm ... gak berani ah,” ucap Bi Siti.
“Ya sudah, Bi. Saya yang masak saja, bibi ngerjain yang lain saja, ya?” pinta Ardini.
“Eh jangan Nyonya, nanti Tuan marah lho?”
“Gak bakalan, biar saya yang masak saja. Mending bibi beres-beres lainnya, aku pengin masak, lagian aku mau apa kalau begini, Bi?”
“Ya duduk saja, Nyonya? Sudah lebih baik temanin Tuan Vi saja, Nyonya.”
“Bibi ... sudah ya, Bi? Biar saya yang memasak, ya?”
Bi Siti tidak berani menolak lagi, dia membiarnya Ardini memasak, sedangkan Bi Siti mengerjakan pekerjaan lainnya. Ardini sudah biasa bangun jam lima pagi, dan langsung memasak untuk nenek dan adiknya. Jadi dia sudah terbiasa, beruntung kandungannya bisa diajak kompromi, dia tidak ngidam sama sekali, tapi yang dia rasakan hanya porsi makan bertambah, pengin ngemil terus, dan pengin makan buah terus. Itu yang Ardini rasakan.
Vi mendengar suara dentingan dari arah dapur, belum lagi ia merasakan aroma sedap masakan yang membuat perut keroncongan secara tiba-tiba. Vi langsung beranjak dari tempat tidurnya, ia juga khawatir kalau Ardini benar-benar memasak, padahal ia sudah melarangnya. Vi langsung menuju dapur, tempat di mana Ardini sedang bertempur dengan peralatan dapur.
“Adin!” panggil Vi dengan keras.
“Astaga!” pekik Ardini saat mendapat panggilan dari Vi. Spontan Ardini mengangkat spatula dan memukul Vi dengan spatula itu.
“Awww ... Panas, Adin!” pekik Vi, karena wajahnya terkena bagian kepala spatula. Beruntung tidak terlalu keras, tapi Vi merasakan panas di bagian pipinya.
“Astaga ... Tuan ... maafkan saya, saya kaget, Tuan.” Ardini langsung meletakkan spatula ke dalam wajan, kemudian ia mematikan kompor. Ia langsung menuju wastafel dan menampung air di dalam wadah kecil. Dengan cepat Ardini mengusap wajah Vi dengan tangannya yang sudah basah. Ia takut wajah Vi melepuh karena perbuatannya.
“Maafkan aku, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja, saya kaget Tuan,” ucapnya dengan penuh penyesalan.
Vi terdiam menatap lekat wajah Ardini sedekat ini. Sedangkan Ardini masih terus berulang mengusap wajah Vi dengan air dengan menampakkan wajah yang sangat khawatir dan merasa bersalah.
“Maafkan saya, Tuan.” Ardini langsung menundukkan kepalanya, saat ia sadar kalau Vi sedang menatapnya dengan lekat. Entah tatapan apa yang Vi berikan. Ardini mundur manjauhi Vi, ia sangat takut dengan tatapan Vi yang seperi itu.
“Maaf saya sudah lancang, Tuan,” ucapnya lirih.