Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.
Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.
Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.
Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13: Lama Tidak Bertemu, Olivia
“Sebenarnya untuk apa semua ini, Tuan?”
“Hm?” Simon hanya bergumam atas pertanyaan Benedict padanya.
Melihat sang duke yang ia layani tetap bergeming dan masih mengerjakan bermacam tugas di gawai tabletnya, ia berjalan mendekat.
Di sofa berukuran besar, Simon terbaring lemas, kesehatannya menurun sejak beberapa hari ini.
Pria itu selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dan Benedict telah diam-diam memutuskan untuk menghubungi salah satu dokter keluarga Ainsworth untuk datang dan merawat sang duke.
“Tuan. Tolong dengarkan saya kali ini. Beristirahatlah dahulu,” pinta Benedict risau. Ia telah mempertaruhkan kariernya dengan menyuruh-nyuruh seorang duke, tapi waktu yang dihabiskannya bekerja di bawah sang duke selama hampir satu dekade telah menumbuhkan rasa hormat dan simpatinya.
Simon memejamkan kedua mata dan menaruh sebelah lengan di atas kepalanya. Ia menghela pelan. “Kepala saya sudah sangat pusing, Benedict. Jangan buat saya bertambah kacau dengan omelanmu itu.”
Sontak perkataan Simon membuat Benedict tertegun dengan jantung yang sekarang berhenti berdetak untuk sesaat. Ia menunduk cukup dalam dan segera meminta maaf.
“Sudahlah. Kamu bisa pergi dari ruangan saya sekarang.” Simon masih dengan kedua mata terpejam menyuruh si sekretaris untuk segera meninggalkannya.
Saat suara langkah laki pria itu tidak terdengar lagi, barulah Simon perlahan membuka kedua matanya.
Ia menatap lurus ke arah atap tinggi bergaya modern dari kondominiumnya. Semuanya berwarna putih, atap itu, juga kebanyakan interior tempat tinggalnya di Amerika ini, semuanya begitu. Namun, entah bagaimana ia dapat melihat cukup jelas potongan ingatannya akan mimpi waktu itu.
“Bibirnya begitu merekah, hampir berwarna maroon saat kusentuh,” bisik Simon. Ia kembali membayangkan wajah Olivia yang menghiasi mimpinya.
Menyadari betapa kacau dirinya dibuat oleh sebuah mimpi, Simon mendecak dengan dahi yang berkerut.
“Olivia...”
Simon menutup kedua matanya dengan erat. Selain napasnya yang terasa panas akibat demam ringan yang ia idap, saat ini udara terasa semakin aneh, membuatnya harus menghirup dalam sebelum akhirnya bisa bernapas dengan benar.
Selama ini ia telah berhasil mengatur perasaan juga hasratnya terhadap Olivia.
Waktu yang sangat padat telah ia lalui, menghadiri kelas dan membuat penelitian, serta mengkonfirmasi setiap keputusan penting menyangkut Ainsworth Groups dan sesekali menghadiri rapatnya. Semua itu dilakukannya demi menghilangkan pengaruh Olivia terhadapnya untuk ukuran sekecil debu sekali pun.
Meskipun pertahanan yang ia bangun begitu kuat itu harus runtuh begitu saja di saat dirinya paling lengah.
Sejak mimpi itu, sudah berulang kali Simon terbangun dari tidurnya dengan ingatan yang sama.
“Inilah harta sialan yang kamu tinggalkan untukku, Olivia.” Simon menghela frustrasi. “Hanya sebuah mimpi yang bahkan tidak menggambarkan setengah dari keinginanku atas dirimu.”
Saat Simon hampir kembali mengumpat kata-kata serapah sebagaimana sebelumnya, sebuah notifikasi yang ia terima membuat perhatiannya teralih.
Ia mengangkat kembali gawai tabletnya dan membaca notifikasi yang masuk itu. Sebuah email dari kampusnya yang berisikan jadwal sidang doktoral yang akan segera ia ikuti. Ia telah menyelesaikan tugas akhir yang jauh lebih awal dari seharusnya.
Simon melihat ke arah meja kerjanya, pandangannya terfokus pada jam pasir yang terpajang begitu elegan di sana.
Sebuah senyum tipis terbit di wajahnya menyadari bahwa salah satu rencananya berhasil, yaitu menyelesaikan studinya dan kembali pulang dalam waktu cepat.
Telah berlalu satu tahun enam bulan ia habiskan tanpa kehadiran Olivia, atau yang lebih tepat adalah dialah yang melarikan diri dari perasaannya sendiri terhadap gadis itu.
♧♧♧
"Ayah menyuruhmu libur hari ini supaya kamu bisa istirahat, tapi kamu malah akan bersepeda,” omel Aditomo mendapati Olivia mendorong sepeda salah satu staf.
Olivia tertawa meringis. “Hitung-hitung olahraga, Ayah.” Ia memberhentikan sepedanya di samping mansion, di mana Aditomo sedang mengelap mobil.
“Baiklah. Hati-hati kalau begitu. Jangan ngebut,” wejang Aditomo. Olivia mengangguk dan tersenyum. Gadis itu mulai menaiki sepeda dan mengayuhnya meninggalkan sang ayah.
Di pagi hari ini, untuk pertama kali bagi Olivia, ia libur dari pekerjaan toko rotinya.
Setelah hampir dua minggu berturut-turut tanpa sekalipun menutup tokonya, di hari minggu kali ini ia harus terpaksa setelah mendapat saran sekaligus omelan dari Aditomo.
Jalan yang akan Olivia lalui berjarak hampir satu kilometer dari gerbang masuk. Di sepanjang jalan yang cukup jauh ini, area di sekitar mansion dihiasi mulai dari taman, gazebo, dan kebun dari berbagai jenis tanaman.
Oleh karena itu, pemandangan di sepanjang perjalanannya sungguh indah nan asri.
Olivia sangat bahagia sejak kepergian Simon dan saat ini adalah momen terbahagianya.
“Ah, iya, rasanya aku sudah bisa mencari dan menawar harga sewa tempat tinggal baru. Aku rasa tabunganku banyak bertambah,” gumam Olivia saat tidak sengaja teringat akan sosok Simon.
Bisa dikatakan bahwa Olivia berhasil menghilangkan pengaruh sang duke dari dirinya. Terbukti dengan sangat jarangnya ia kembali teringat akan pria itu ataupun kenangan yang pernah terjadi bersamanya.
Olivia sudah dapat melihat gerbang megah di depannya, ia lantas memutar balik untuk kembali ke mansion.
“Hei, tidak ada alasan untuk terlalu memikirkan duke itu ya.” Olivia mengingatkan dirinya dan mulai tersenyum merekah. “Aku masih punya beberapa bulan sebelum kedatangannya. Bahkan kalau ia datang pun, aku tidak akan berte—“
Ucapan Olivia tertahan tanpa bisa ia selesaikan saat sebuah mobil mewah yang sudah lama tidak dilihatnya.
Sungguh aneh, Olivia yakin telah berhasil melupakan semua ingatan yang ia punya akan Simon, tapi suara deru dan juga mobil yang baru saja melewatinya, ia ingat dengan jelas.
Mobil itu adalah yang selalu Simon naiki.
Olivia menurunkan kakinya dan dengan pikiran kosong menatap ke depan, mobil hitam itu melaju dengan kecepatan stabil.
“Le-lebih baik aku menepi dan menunggu dulu.” Olivia mendorong sepedanya ke tepi jalan. Ia akan menunggu beberapa saat sampai sekiranya ia tidak bisa dilihat dari mobil itu.
Olivia mendongak melihat ke arah lajunya mobil yang semakin hilang dari pandangan.
“Bisa saja itu bukan Tuan Duke. Bisa saja begitu.” Olivia menggigit bibir bawahnya. “Semoga begitu.”
Berlalu sekitar dua puluh menit untuk Olivia menunggu, akhirnya gadis itu kembali mengayuh sepedanya.
Di dalam benaknya, ia telah berhasil menghindari salah satu bencana terbesar di hidupnya. Namun, dengan ironi takdir malah berkata sebaliknya.
Olivia dapat melihat Simon tengah berjalan kaki tidak jauh di depannya. Napas serasa tercekat dan ia berhenti mengayuh sepadanya.
Tatapannya gemetar dan kedua lengannya melemas menemui fakta bahwa lagi-lagi semesta tidak berada di pihaknya jika menyangkut sang duke.
Simon di depan sana, setelah menyuruh sekretarisnya untuk meninggalkannya sendiri. Sembari menunggu gadis itu, ia berjalan sangat lambat.
Saat pendengarannya mulai menangkap suara yang berasal selain dari dirinya, ia berhenti.
Olivia dapat merasakan adrenalin yang berasal dari ketakutannya memuncak dengan sekejap. Maka, saat Simon berbalik dan menatapnya, bisa ia rasakan jantungnya seakan mencelus.
Berbeda dengan gadis itu, bagi sang pemilik kedua mata hijau emerald itu, ia sudah menunggu lama untuk dapat kembali menatap wajah favoritnya.
Simon tersenyum. “Lama tidak bertemu, Olivia.”
...♧♧♧...
^^^*** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.^^^
Tapi aku juga mau Paul berhak mendapatkan kehidupan yang adil, dan biarkan Simon yang menanggung karma atas perbuatan nya, contohnya seperti 'rencananya untuk memisahkan Olip dan Paul justru menjadi pedang yang telah ia tempah susah payah namun dia gunakan untuk menggorok lehernya sendiri'
ga peduli guwaa!!!
Jeez, of course she just sarcastic, my dear
ahh pake tanda sesuatu donggt/Grimace/
tapi lu kelewatan batas sampe raba2 ke atas bawah